|
Tak ada yang
melarang jika seseorang mengoreksi, melakukan otokritik terhadap apa yang
dinyatakan atau dilakukannya pada masa lampau. Justru kesadaran kepada self
criticism itulah yang menjadi salah satu keunggulan manusia sebagai
makhluk kebudayaan. Tanpa sikap dan cara berpikir kritis kepada diri sendiri,
hanya menciptakan sejenis sikap narsisus dan akan terperangkap ke dalam sikap
megalomanian.
Namun, tentu
saja ada beda antara seseorang yang melakukan otokritik melalui suatu
pernyataan yang mengungkapkan bahwa dirinya melakukan sejenis kekeliruan atau
ketidaktepatan di dalam memandang masalah pada zaman lampau dan dia memasuki
lubang kegelapan sehingga tak mampu menelisik secara jelas apa masalah yang
paling mendasar yang ada di hadapannya. Keterbatasan saat berhadapan dengan
sejumlah masalah adalah hal yang biasa dan wajar. Seperti juga keterbatasan
suatu teori yang memiliki kaitan dengan ruang, waktu, dan lingkup sosialnya.
Kadang kita
menyaksikan sikap seseorang yang dengan gampang membalik dan memantati masa
lampaunya lalu menepuk diri seolah-olah masa lampau hapus begitu saja dan
dirinya menganggap seolah orang lain tak memiliki ingatan. Dan ironisnya lagi
dengan sejenis sikap menepuk dada bahwa kini dirinya berada di jajaran paling
depan dalam berhadapan dengan berbagai masalah yang ada di lingkungannya.
Hipokrisi, itulah yang kita saksikan.
Dan hal itulah
rasanya yang paling terasa jika kita membaca sejumlah berita di media cetak
tentang peringatan Pekan Hari Puisi Indonesia di Graha Bhakti Budaya, Taman
Ismail Marzuki, pada 30 Juli 2013. (Kompas, 1 Agustus 2013). Sejumlah
penyair yang dianggap dedengkot dan yang menganggap prihatin kepada kaum muda,
kini mereka berusaha menggedor kaum muda agar memperhatikan kondisi negerinya.
Jika mereka melakukan kritik, tak keliru dan adalah kemestian sebagai warga
pembayar pajak dan adalah kewajiban bagi sastrawan, penyair, seniman untuk
membongkar kondisi jumud yang kini dihadapinya. Yang mungkin agak meleset
ketika mereka menuding kaum muda dan melecehkan kaum intelektual. Kita tahu
kehidupan akademisi dan intelektual kita berada di dalam krisis yang paling
dalam sejenis memasuki sikon fin de siècle, kondisi kronis dengan
kemuraman dan kebuntuan seperti terjadi di Eropa pada abad XIX, kita kini
merasakannya dan dengan belenggu lebih dari zaman lampau: di kerangkeng oleh
kapital.
Kerangkeng
Namun, bukan
cuma kerangkeng kapital saja yang membelenggu, melainkan juga kekuasaan
dan politik yang tampaknya kini tak lagi memiliki pijakan etik. Dalam
kondisi itulah kerakusan merajalela dalam semua lini kehidupan, puisi
dan sastra, yang dianggap sebagai kumbang yang tak mampu menyengat, dipaksa dan
terpaksa untuk bicara tentang zamannya. Sinisme terhadap sastra dan khususnya
puisi sebagai kumbang tak bersengat itu berada di balik apologi tentang
ketiadaan apresiasi terhadap kesenian, khususnya sastra di kalangan
elite politisi. Maka apologi ini sesungguhnya tak dibutuhkan benar. Sebab,
sastra, puisi, dan jenis kesenian lainnya tak perlu menunggu sampai kaum politisi
memiliki komitmen terhadap kehidupan kesenian. Upaya kaum
seniman dan sastrawan untuk menggugat zaman adalah panggilan. Sudah menjadi watak bagi sastra untuk tidak membiarkan zaman yang dikelola oleh elite politisi dengan cara sewenang-wenang. Dari hal itulah apa yang disebut sastra terlibat, sastra yang menggugat menjadi bagian kehidupan di lingkungan masyarakat.
seniman dan sastrawan untuk menggugat zaman adalah panggilan. Sudah menjadi watak bagi sastra untuk tidak membiarkan zaman yang dikelola oleh elite politisi dengan cara sewenang-wenang. Dari hal itulah apa yang disebut sastra terlibat, sastra yang menggugat menjadi bagian kehidupan di lingkungan masyarakat.
Dan hal itulah
yang ingin dinyatakan oleh kaum penyair ketika mereka hadir di atas panggung
Hari Puisi. Akan tetapi, kenapa mereka baru bicara sekarang, kenapa mereka
begitu sinis dan menggebu-gebu menggedor kaum intelektual dan politisi beserta
kekuasannya? Kenapa mereka tak sejak dulu, ketika di tahun 1980-an, dan
sebelumnya ketika Rendra bicara tentang berbagai segi negatif dari pembangunan yang
menciptakan jurang sosial dan ke arah pembangkrutan kehidupan peradaban, mereka
begitu sinis, dan menyatakan kumbang yang tak memiliki sengat, sebagaimana
mereka sinis kepada novel Korupsi karya Pramudya Ananta Toer?
Kenapa kini
mereka merasa berada di garda paling depan di dalam menggugat zaman? Sementara
itu, dalam kasus Sastra Kontekstual, mereka yang paling gigih menentang dan
bahkan cenderung mendeskreditkan melalui berbagai isu politik, menuding
pendukung Sastra Kontekstual sebagai Neo Lekra. Bahkan, tak segan dan tak
merasa malu menudingkan telunjuk seperti Kopkamtib bahwa pendukung Sastra
Kontekstual sebagai ”komunis baru” dan ada pula yang bersifat rasial.
Kondisi zaman
bisa menjadi guru yang baik dan zaman pula yang mampu dan dapat mengubah seseorang.
Sejak lama saya punya prediksi bahwa kondisi negeri ini, yang dikelola dengan
cara sewenang-wenang tanpa hati nurani dan menjadikan warga sebagai tong
sampah, serta keadilan kian menjauh dari kehidupan, maka mau tak mau siapa pun
akan tergugah pikiran dan hatinya. Dan untuk itulah apologi untuk Sastra
Kontekstual tak dibutuhkan benar. Yang ingin saya sampaikan di sini, hanya mau
menyatakan, ada baiknya para sastrawan dan penyair dari aliran, genre, atau
sekte apa pun untuk tak sewenang-wenang menghakimi.
Sebab, sekali
lagi, zaman yang akan menilai. Dan penilaian itu tak jauh benar dari pelupuk
mata: kita bersyukur kaum penyair masih menuliskan dan menggugat kondisi
lingkungannya, betapapun ironinya, seiring ironi pusat kesenian yang kian
menjadi akuarium. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar