Minggu, 18 Agustus 2013

Pulau Hari Kemarin

Pulau Hari Kemarin
Bre Redana ;   Kolumnis “Udar Rasa” Kompas
KOMPAS, 18 Agustus 2013

Harus tinggal di rumah saat Lebaran karena semua pekerja rumah tangga cuti, perasaan sebenarnya tersedot ke kampung halaman ketika melihat orang lain berbondong-bondong mudik. Melalui peranti teknologi komunikasi mutakhir, seorang teman secara terus-menerus melaporkan, mulai dari perjalanan sampai kegiatannya di desa kelahiran. Dia mengirim foto sawah di sekitar rumah, dangau tempat berteduh di kala kanak-kanak, sungai tempat bermain, dan lain-lain (ia cukup santun tak mengirim foto teman-teman perempuan semasa remajanya yang sekarang umumnya sudah berukuran XL dan lupa berdandan).
Ah, desa. Jika kota adalah gambaran masa depan, desa adalah gambaran masa lalu. Jika kota berasosiasi dengan perkembangan, kemajuan, dan modernisasi, desa adalah sesuatu yang statis, tidak maju, dan alami. Jika kota adalah atomisasi individu, desa adalah kehangatan kekerabatan. Jika kota berikut menjulangnya karier, toh, sebenarnya sesuatu yang menuju ke matahari tenggelam, desa adalah tempat masa kanak-kanak di mana harapan bersemai bersama matahari terbit. Dengan segala ilusi tadi, ketika liburan habis, harus kembali ke kota, orang mendesah: saatnya kembali ke realitas.
Mengharukan, tetapi kegelisahan akan kekinian dan keresahan akan masa depan sebenarnya melekat pada manusia sejak dulu kala, sejak bertumbuhnya peradaban urban itu sendiri. Novel-novel di Eropa, pada taruhlah abad ke-18 dan ke-19, banyak yang menceritakan ”pulau-pulau masa depan”—refleksi dari kegelisahan berikut impian bahwa nanti akan ada kehidupan yang lebih baik. Semacam impian mengenai ”tanah harapan”.
Nyatanya? Robinson Crusoe semata-mata terdampar di pulau yang tak memberinya harapan selain malah ketemu kaum kanibal. Dalam kehidupan nyata penjelajahan bangsa Eropa ke pulau-pulau tidak dikenal malah melahirkan kolonialisme. Tidak ada pulau masa depan itu.
Begitu pula desa-desa kita. Desa-desa itu memberikan impian sejenak, sesingkat kunjungan ketika Lebaran, bertemu sanak saudara, teman masa kecil, makan tumpang koyor di pasar hewan, dan lain-lain. Waktu liburan yang pendek tidak sempat membangunkan orang dari mimpi bahwa desa—sebagaimana kota—bukanlah sesuatu yang statis. Bahkan, apa yang terjadi di kota dalam beberapa hal berakar pada keresahan yang terjadi di desa-desa.
Di desa-desa sekarang berkecamuk kegelisahan sekaligus mimpi dari kehidupan yang digenangi atau bahkan dibanjiri citra visual seperti disebarkan televisi mengenai kehidupan yang mengandung ketergesa-gesaan. Proses alam menanti bersemainya bibit sampai memanen, yang berarti harus bersetia pada kesabaran bumi, sudah lama menjadi hal asing. Sekarang keluarga-keluarga mengimpikan anaknya jadi penyanyi, pemain sinetron, selebritas (jenis pekerjaan macam apa ini?), atau apa saja pokoknya bisa kaya mendadak.
Gotong royong, kekerabatan, kesederhanaan pandangan hidup termasuk dalam mencerna benar-salah, baik-buruk, telah lama mengalami perubahan. Dia berubah seiring derasnya manipulasi kekuasaan yang oleh citra visual sekarang juga disebar dimana-mana, termasuk di dalamnya gombal para pemimpin, praktik politik uang, sampai ke radikalisasi ajaran-ajaran tertentu yang menemukan tempat persemaian aman di desa-desa. Kalau Anda berkeinginan memobilisasi masyarakat desa untuk melakukan sesuatu sekarang, Anda harus siap menerima tantangan: wani piro?
Belum lagi arus konsumsi. Di desa ini anak-anak kecil yang kakinya masih sulit menapak sudah menaiki sepeda motor. Sama seperti seniornya pengendara motor di kota, mereka tak mengenal aturan. Pasar-pasar desa dengan relasi batin yang memungkinan orang tawar-menawar barang sambil merayu dan bercanda, sebentar lagi akan digantikan supermarket. Supermarket-supermarket kecil kini merambah desa-desa.

Saya pikir-pikir kemudian kelihatannya lebih menyenangkan melihat desa dari foto-foto yang dikirimkan oleh teman saja. Bagi saya, biarlah desa-desa itu tetap menjadi pulau hari kemarin—my island of the day before. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar