Minggu, 18 Agustus 2013

Indigo

Indigo
Sarlito Wirawan Sarwono ;   Guru Besar Fakultas Psikologi Universitas Indonesia
KORAN SINDO, 18 Agustus 2013


Saya sering ditanya oleh teman, atau orang tua tentang anak-anak mereka yang indigo. Bahkan saya pernah diajak berdialog melalui e-mail oleh seorang mahasiswa yang mengaku indigo, namanya saya sebutsaja Rudi(bukannama sebenarnya). 

Saya belum pernah bertemu darat (tatap muka) dengan Rudi ini. Tetapi, dari saling kirim surat elektronik yang intensif selama beberapa saat, saya berkesimpulan bahwa dia banyak membaca tentang psikologi. Maka dia me-nantang saya untuk berdiskusi tentang psikologi, yang awalnya saya layani dengan senang hati. Tetapi lama-lama saya capai sendiri, karena diskusinya tidak berujung pangkal. Semua yang saya sebutkan salah, dan argumentasinya ngawur. 

Kadang lari ke filsafat, terus lari ke agama, supranatural, juga ke politik, kemiskinan, korupsi. Wah, wah, wah, anak ini tidak fokus. Dalam psikologi klinis disebut flight of ideas (ide yang meloncat-loncat, tidak urut), yang merupakan salah satu indikator dari gangguan jiwa yang dinamakan schizophrenia. Sejauh yang saya tahu, memang ciri anak-anak indigo bicaranya tidak terarah dan cenderung menjadi flight of ideas. 

Ciri lainnya antara lain selalu gelisah, tidak bisa diam, susah tidur (katanya karena kebanyakan berpikir), berperilaku aneh, suka ngomong sendiri, dan mengigau, sehingga dijauhi teman-teman. Yang paling sering saya lihat, baik di ruang praktik maupun dalam kehidupan sehari-hari, adalah bahwa anak-anak indigo biasanya sudah lebih dulu didiagnosis ADD (atention defisit disorder) atau ADHD (atention defisit hyperactivity disorder) oleh psikiater atau psikolog, yaitu anak yang tidak bisa fokus perhatiannya pada suatu hal lebih dari satu menit, dan karenanya hiperaktif. 

Kalau di ruang praktik saya, anak ADD atau ADHD tidak bisa diam. Sebentar naik ke tempat tidur, nanti memainkan tensimeter, terus mengintip laptop saya, dimarahin mamanya, pindah ke wastafel, main air, terus mengajak ngobrol mamanya, padahal mamanya sedang bicara dengan saya, padahal kalau dia sendiri saya wawancarai, tidak sampai semenit sudah cari mainan lain untuk dioprek. Anehnya, banyak orang tua yang percaya bahwa omongan ngawur dari anak indigo (arti asli “indigo”: warna nilam/ ungu, karena konon anak indigo mengeluarkan aura/sinar dari tubuhnya yang berwarna nilam) adalah kata-kata spiritual yang bermakna ramalan. 

Karena itu anak indigo bukan anak sakit (terganggu) seperti penyandang ADHD, melainkan anak berbakat (gifted children). Anak indigo diklaim sebagai punya indra keenam, bisa melihat apa yang akan terjadi, dan IQ-nya tinggi. Tetapi mereka tidak suka terikat pada peraturan, sehingga semua dilawan. Akibatnya walaupun IQ tinggi, anak indigo selalu jelek nilainya di sekolah (selalu membantah, tidak mau belajar, tidak mengerjakan PR). 

Istilah indigo pertama kali dipopulerkan oleh seorang dukun spiritual (sekelas dengan Mama Lorenz atau Ki Gendheng Pamungkas) di Amerika Serikat (ternyata orang Amrik doyan juga perklenikan, ya) yang bernama Nancy Ann Tape di tahun 1970-an yang mengklaim bahwa dirinya sudah mengamati sejak tahun 1960-an banyak anak yang lahir dengan aura indigo yang punya kemampuan spiritual yang sangat luar biasa, yang dibawanya sebagai bakat sejak lahir. 

Pandangannya ini di tahun 1982 dituliskannya menjadi buku Understanding Your Live Through Color yang kemudian laku keras, lebih dari sekadar lakunya kacang goreng, melainkan lebih laku dari daging sapi yang walaupun harganya sangat melonjak, tetapi masih diburu orang. Bahkan dari ide tentang anak indigo ini pernah dibuat dua buah film, pernah beberapa kali diadakan seminar internasional tentang anak-anak indigo yang dihadiri oleh ratusan “pakar” atau pengamat indigo dan di Indonesia sendiri ada perkumpulannya yang dinamai Komunitas Anak Indigo Indonesia (KAII). 

Tetapi, bagaimanapun, indigo bukan konsep psikologi atau psikiatri. Dalam buku-buku pedoman diagnostik bagi psikiater dan psikolog, yaitu yang di AS disebut DSM V (2013, versi yang paling mutakhir) dan di Indonesia dinamakan PPDGJ, tidak ada disebutkan tentang anak indigo. Tentang ADD, ADHD dan schizophrenia ada, tetapi tentang Indigo, tidak ada. Jadi, kalau ada yang menyebut anak indigo, itu pastinya bukan psikiater atau psikolog yang disiplin pada ilmunya. 

Istilah indigo biasanya datang dari tetangga yang melihat anak ADHD, mendengar kicauannya danmenyebutnya sebagai indigo. Atau oleh orang tua anak itu sendiri yang kurang puas dengan diagnosa dokter (ADHD), dan lebih suka mendengarkan gosipan tetangga atau browsing internet tentang indigo. Setidaknya indigo itu positif, menunjukkan anak berbakat, calon orang penting/besar, bukan gangguan jiwa yang perlu dirawat dan minum obat. Malah ada yang mengomersialkan indigo, karena orang tua banyak yang gampang tertipu oleh bujukan-bujukan yang menarik tentang anak indigo. 

Kenyatannya, saya belum pernah melihat anak indigo jadi orang besar atau sukses ketika ia dewasa. Termasuk Rudi, kawan saya beradu argumentasi di e-mail beberapa tahun yang lalu. Ke mana dia sekarang? Saya pun tidak tahu, karena tidak pernah terdengar kabarnya lagi. 

Di sisi lain, saya belum pernah mendengar orang besar atau sukses yang dulunya adalah anak indigo: Jokowi, Chairul Tanjung, Soekarno, Jusuf Kalla, Chrisye, Titiek Puspa, Raffi Ahmad, Barack Obama, Osama bin Laden, Steve Jobs, Mohammad Ahsan/Hendra Setiawan, dan boleh sebut siapa saja orang top sedunia, bahkan para nabi sekalipun yang dikaruniai mukjizat oleh Allah SWT, tidak satu pun yang dulunya adalah anak indigo. 

Bahkan istilah indigo hanya berlaku untuk anak, tidak ada istilah orang Indigo bagi yang sudah dewasa. Jadi kalau anak Anda, atau Anda sendiri, dianggap indigo oleh orang lain, santai saja. Jalani hidup seperti biasa, belajar, berlatih, bekerja, berusaha karena hanya itulah cara kita berhasil. 

Tidak perlu membuktikan diri bahwa anak Anda atau Anda sendiri adalah anak indigo, bikin pusing yang tak berguna. Oh ya, jangan lupa minum obat, karena obat itu membuat pikiran Anda tenang untuk beberapa saat. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar