KOMPAS, 01
Agustus 2013
|
Demokrasi sebagai konsep tentu dapat
diperdebatkan. Kaum Fukuyamian melihatnya sebagai postulat akhir sejarah. Yang
sinis dengan dinamika global melihatnya sebagai hegemoni (Russet, 2011).
Bruce M Russet melihat bahwa setelah Perang Dingin, hegemoni
dan demokrasi berkembang bersamaan. Itulah yang menonjol dalam politik luar
negeri negara kuat. Demokrasi juga dikiritik sebagai tirani mayoritas (John
Adams,1788). Suara terbanyak menjadi tirani ketika mayoritas sewenang-wenang,
apalagi kebenaran di pihak minoritas yang kalah. Alex de Tocqueville (1835)
melihat itu dalam fakta demokrasi Amerika abad ke-19. Kritik Tocqueville
dikutip dan dipopulerkan John Stuart Mill dalam On Liberty (1859).
Benarkah demokrasi sebuah tirani? Tiap negara ada konteksnya.
Di Indonesia tren demokratisasi sesudah 1998 memunculkan tirani lain. Politik
bukan lagi monopoli kelas tertentu. Tiap orang berada pada jarak yang sama di
hadapan konstitusi. Intimidasi tak berlaku lagi. Pendekatan mobilisasi digeser
pendekatan persuasi. Alhasil, peran media menjadi krusial, terutama untuk
membangun citra. Iklan politik bertaburan. Mereka bicara bagus tentang apa yang
mereka tak bisa lakukan. Paradoks terjadi dalam berburu popularitas.
Jebakan keterkenalan
Implikasinya, politik terjebak dalam urusan keterkenalan.
Demokrasi berubah jadi tirani popularitas. Pertarungan elektoral sama dengan
pertarungan popularitas. Fakta ini diperkokoh hadirnya berbagai industri survei
yang bisa mendongkrak atau mengambrukkan figur dalam semalam. Kalaupun survei
berbeda tajam antarlembaga, toh itu cuma pandangan publik pada hari survei
diadakan.
Pada 16-24 Januari 2012, CSIS mengumumkan lima nama paling
populer untuk capres 2014. Megawati (91,6%), Jusuf Kalla/ JK (84%), Wiranto
(73,9%), Prabowo Subianto (65,9%), dan Aburizal Bakrie/ARB (61,4%). Agustus
tahun yang sama CSIS merilis hasil survei lagi. Prabowo (14,4%) menyalip tipis
elektabilitas Megawati (14,4%), disusul JK (11,1%) dan ARB (8,9%).
Februari 2012 Lembaga Survei Nasional (LSN) mengumumkan
survei serupa. Megawati di posisi teratas (18%), lalu Prabowo (17,4%), ARB
(17,1%), Wiranto (10%), dan Mahfud MD (7,3%).
Oktober 2012 LSN kembali merilis survei. Prabowo melompat ke
atas (20,1%), Megawati merosot ke tangga ketiga (8,8%), disalip Wiranto (12%).
Selanjutnya ARB (7,1%), Sultan HB (6,3%), Mahfud MD (5,8%), Jokowi (4,7%),
Surya Paloh (3,3%), Dahlan Iskan (2,6%), Hidayat Nur Wahid (1,7%), dan Hatta
Rajasa (1,2%).
Juni 2012 Lembaga Survei Indonesia (LSI) juga merilis survei.
Megawati dijagokan dengan 18,3%, Prabowo Subianto (18%), ARB (17,5%), Hatta
Rajasa (6,8%), dan Ani Yudhoyono (6,5%). Soe- geng Sarjadi Syndicate (SSS) pada
bulan yang sama mengeluarkan hasil survei lima nama. Prabowo teratas (25,8%),
Megawati (22,4%), JK (14,9%), ARB (10,6%), dan Surya Paloh (5,2%).
Tahun 2013 lembaga-lembaga ini kembali mengeluarkan survei.
Maret LSI menyebut lima nama. Megawati pada posisi teratas (20,7%). ARB (20,3
%) memotong Prabowo (19,2%). Urutan berikut Wiranto (8,2 %) dan Hatta Rajasa
(6,4%). April CSIS mengeluarkan hasil berbeda. Joko Widodo yang tak muncul
tahun 2012 kini bera- da di urutan pertama (28,6%), Prabowo (15,6%), ARB (7%),
Megawati (5,4%), JK (3,7%), Mahfud MD (2,4%), Hatta Rajasa (2,2%).
Sebulan setelah CSIS, LSN mengadakan riset. Prabowo masih
teratas (22,7%), bukan Joko Widodo, lalu ARB (16,3%), Wiranto (13,2%) Megawati
(13%), dan Hatta Rajasa (5,2%). SSS pada bulan yang sama merilis
hasil polling. Seperti LSN, Prabo- wo di tangga teratas (25,8%), lalu
Megawati (22,4%) yang di urutan keempat dalam hasil LSN. Lalu JK (14,9%), ARB
(10,6%), Surya Paloh (5,2%), Wiranto (4,5%), Sultan HB (3,7%), dan Hatta Rajasa
(2,1%).
Dalam rentang waktu berdekatan, bahkan dalam bulan sama,
lembaga survei mengeluarkan hasil yang berbeda tajam. Benarkah volatilitas itu
begitu kacau sehingga pandangan pemilih bisa berubah-ubah tak berpola? Ataukah
lembaga survei perlu dibaca dari aspek industri?
Apa pun itu, popularitas sudah jadi tirani. Ketika kehendak
rakyat dikonversi jadi urusan popularitas semata, inilah akhir dari demokrasi,
bahkan akhir yang sesungguhnya dari sejarah.
Max Lane (2008), sambil mengutip sejarawan Amerika, Alan
Brinkley (1992), mendeskripsikan Indonesia sebelum dan sesudah Soeharto
sebagai the unfinished nation. Membangun
demokrasi hari ini seharusnya dimaknai dalam konteks itu. Bahwa tujuan politik
adalah menyelesaikan proyek membangsa yang belum tuntas. Keindonesiaan harus
dibangun dan dimaknai dalam segala dimensi. Dibutuhkan pemimpin bermutu, bukan
sekadar populer—bermutu dalam prinsip dan tindakan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar