Jumat, 23 Agustus 2013

MEA 2015, Posisi Indonesia?

MEA 2015, Posisi Indonesia?
Emil Abeng ;   Anggota Komisi VI DPR RI
SUARA KARYA, 22 Agustus 2013


Sebagai pengusaha, saya paham bahwa bermitra usaha berarti saling memanfaatkan untuk kemaslahatan bersama. Misalnya, pemodal bersinergi dengan inovator, atau tokoh lama yang memiliki reputasi baik berkongsi dengan orang baru yang memiliki ide segar. Semua ini sah, karena para pihak dapat maju dan berkembang bersama. Bisnis menjadi tidak sehat apabila satu pihak hanya dimanfaatkan tanpa mendapatkan timbal balik yang memadai. Sebagaimana diajarkan oleh Islam untuk tidak bertindak licik dan menggunakan riba dalam berdagang.

Faktanya, hal inilah yang dialami oleh Indonesia dalam berhubungan ekonomi dan perdagangan bersama ASEAN. Indonesia dengan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya, dimanfaatkan oleh negara-negara ASEAN untuk menghadapi persaingan global, sementara kita sendiri tidak mampu memanfaatkan ASEAN untuk kepentingan ekonomi nasional. Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan perwakilan regional di forum G-20 negara-negara ekonomi terbesar di dunia. Kelas menengah Indonesia tumbuh dari 38 persen dari total populasi di tahun 2003, menjadi 57 persen di tahun 2010, atau sekitar 100 juta orang, dengan pertambahan hingga 7 juta kelas menengah tiap tahunnya. Keunggulan sumber daya alam Indonesia terbukti dari besarnya ekspor bahan mentah (minyak bumi, gas alam, batu bara, kelapa sawit) ke China, India, Eropa, Amerika Serikat (AS), dan mitra dagang lainnya.

Sayangnya, dengan kekuatan seperti ini, Indonesia masih gagal berperan dalam negosiasi ekonomi di kancah ASEAN. ASEAN sangat agresif untuk membuka diri melalui berbagai perjanjian ekonomi internasional, karena mereka hendak 'menjual' sumber daya dan kekuatan pasar Indonesia sebagai modal mereka bersaing dengan pelaku pasar internasional. Indonesia di sisi lain, termakan oleh argumen klasik liberalisasi ekonomi, tanpa adanya langkah konkret untuk menyiapkan industri domestik dan mengembangkan kapasitas ekonomi nasional.

Faktanya, tanpa disadari, ASEAN saat ini sudah menjadi pusat ekonomi dunia, seiring dengan melemahnya ekonomi Eropa dan mulai melambatnya ekonomi China. Integrasi ekonomi ASEAN sudah jauh berkembang semenjak ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) ditandatangani tahun 1992.

Pada tahun 2015, kawasan ASEAN melalui ASEAN Economy Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA) akan menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, di mana aliran barang, jasa, dan investasi akan bergerak bebas. Perlu dipahami bahwa MEA berbeda dengan perjanjian perdagangan sebelumnya yang juga kontroversial, yaitu Perjanjian Perdagangan Bebas antara ASEAN dan China (CAFTA). Dalam CAFTA, yang difokuskan adalah pengurangan hambatan tarif dan non-tarif di bidang perdagangan barang (trade in goods). Dalam MEA, tujuan yang hendak dicapai adalah penciptaan suatu pasar tunggal, yang mencakup perdagangan barang, perdagangan jasa (trade in services) termasuk tenaga kerja, maupun investasi.

Apabila dalam perdagangan barang saja Indonesia sudah sulit bersaing, apalagi dalam perdagangan jasa di mana kualitas tenaga kerja kita masih di bawah negara-negara utama ASEAN. Dalam sektor jasa andalan seperti transportasi, pariwisata, keuangan, dan telekomunikasi pun, Indonesia masih mengandalkan penyediaan basis konsumen, namun masih kalah bersaing dalam hal produksi jasanya. Singkat kata, MEA justru jauh lebih berbahaya karena lingkupnya yang sangat komprehensif.

Di sisi lain, ASEAN juga sudah menandatangani perjanjian dengan raksasa ekonomi dunia, yakni China (2004), Korea (2006), Jepang (2008), Australia dan Selandia Baru (2009), dan India (2009). ASEAN menjadi motor East Asian Summit (EAS), di mana negara anggota EAS yaitu ASEAN 10 + 8 Mitra Dialog (China, Jepang, Korea, Australia, Selandia Baru, India, AS, dan Rusia). ASEAN juga sedang dalam proses perumusan Regional Comprehensive Economic Partnership Agreement (RCEP) antara ASEAN dan enam negara mitra dagang utama, dan Comprehensive Economic Partnership Agreement (CEPA) dengan Uni Eropa. Bahkan RCEP (yang terdiri dari ASEAN plus 6) diproyeksikan akan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia, mengalahkan AS, Uni Eropa, China, dan India.

Dengan perkembangan ini, wajar apabila dikatakan bahwa tongkat kepemimpinan pasar bebas dan kapitalisme sudah beralih dari AS dan Eropa ke ASEAN. Pertanyaannya kemudian, di manakah peran Indonesia? Di manakah peran negara yang kabarnya merupakan kekuatan ekonomi terbesar ASEAN, dengan penduduk terbanyak, pasar terkuat, dan sumber daya alam terbesar? Padahal, produk domestik bruto Indonesia mencapai 846 miliar dolar AS (40.3 persen dari seluruh PDB di ASEAN). Jumlah penduduk sebanyak 231,3 juta jiwa (39 persen dari seluruh pendudukdi ASEAN). Sementara sangat sedikit pengaruh kita dalam diplomasi perdagangan ASEAN.

Melalui analisis data dan statistik, para teknokrat ekonomi Indonesia berpandangan bahwa Indonesia banyak mengambil manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN. Umumnya, mereka berpendapat perdagangan intra-ASEAN 2000-2008 tumbuh lebih kuat dari perdagangan ekstra-ASEAN sebelum tumbuh negatif 17,90 persen tahun 2009 karena krisis keuangan global. Perdagangan Indonesia ke ASEAN+6 mencapai 66 persen dari total ekspor, sehingga perdagangan Indonesia tidak begitu terpengaruh dengan krisis yang terjadi di Eropa maupun AS.


Namun, 'otak dagang' saya yang terbangun selama menjadi saudagar di Sulawesi Selatan mengatakan bahwa Indonesia hanya dimanfaatkan oleh para makelar yang memanfaatkan Indonesia sebagai pasar belaka dan sumber bahan mentah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar