|
Sebagai pengusaha, saya paham
bahwa bermitra usaha berarti saling memanfaatkan untuk kemaslahatan bersama.
Misalnya, pemodal bersinergi dengan inovator, atau tokoh lama yang memiliki
reputasi baik berkongsi dengan orang baru yang memiliki ide segar. Semua ini
sah, karena para pihak dapat maju dan berkembang bersama. Bisnis menjadi tidak sehat
apabila satu pihak hanya dimanfaatkan tanpa mendapatkan timbal balik yang
memadai. Sebagaimana diajarkan oleh Islam untuk tidak bertindak licik dan
menggunakan riba dalam berdagang.
Faktanya, hal inilah yang dialami
oleh Indonesia dalam berhubungan ekonomi dan perdagangan bersama ASEAN.
Indonesia dengan segala potensi dan sumber daya yang dimilikinya, dimanfaatkan
oleh negara-negara ASEAN untuk menghadapi persaingan global, sementara kita
sendiri tidak mampu memanfaatkan ASEAN untuk kepentingan ekonomi nasional.
Indonesia adalah negara dengan ekonomi terbesar di ASEAN dan perwakilan
regional di forum G-20 negara-negara ekonomi terbesar di dunia. Kelas menengah
Indonesia tumbuh dari 38 persen dari total populasi di tahun 2003, menjadi 57
persen di tahun 2010, atau sekitar 100 juta orang, dengan pertambahan hingga 7
juta kelas menengah tiap tahunnya. Keunggulan sumber daya alam Indonesia
terbukti dari besarnya ekspor bahan mentah (minyak bumi, gas alam, batu bara,
kelapa sawit) ke China, India, Eropa, Amerika Serikat (AS), dan mitra dagang
lainnya.
Sayangnya, dengan kekuatan seperti
ini, Indonesia masih gagal berperan dalam negosiasi ekonomi di kancah ASEAN.
ASEAN sangat agresif untuk membuka diri melalui berbagai perjanjian ekonomi
internasional, karena mereka hendak 'menjual' sumber daya dan kekuatan pasar
Indonesia sebagai modal mereka bersaing dengan pelaku pasar internasional.
Indonesia di sisi lain, termakan oleh argumen klasik liberalisasi ekonomi,
tanpa adanya langkah konkret untuk menyiapkan industri domestik dan
mengembangkan kapasitas ekonomi nasional.
Faktanya, tanpa disadari, ASEAN
saat ini sudah menjadi pusat ekonomi dunia, seiring dengan melemahnya ekonomi
Eropa dan mulai melambatnya ekonomi China. Integrasi ekonomi ASEAN sudah jauh
berkembang semenjak ASEAN Free Trade Agreement (AFTA) ditandatangani tahun
1992.
Pada tahun 2015, kawasan ASEAN
melalui ASEAN Economy Community (Masyarakat Ekonomi ASEAN - MEA) akan
menjadi pasar terbuka yang berbasis produksi, di mana aliran barang, jasa, dan
investasi akan bergerak bebas. Perlu dipahami bahwa MEA berbeda dengan
perjanjian perdagangan sebelumnya yang juga kontroversial, yaitu Perjanjian
Perdagangan Bebas antara ASEAN dan China (CAFTA). Dalam CAFTA, yang difokuskan
adalah pengurangan hambatan tarif dan non-tarif di bidang perdagangan barang (trade in goods). Dalam MEA, tujuan yang
hendak dicapai adalah penciptaan suatu pasar tunggal, yang mencakup perdagangan
barang, perdagangan jasa (trade in
services) termasuk tenaga kerja, maupun investasi.
Apabila dalam perdagangan barang
saja Indonesia sudah sulit bersaing, apalagi dalam perdagangan jasa di mana
kualitas tenaga kerja kita masih di bawah negara-negara utama ASEAN. Dalam
sektor jasa andalan seperti transportasi, pariwisata, keuangan, dan
telekomunikasi pun, Indonesia masih mengandalkan penyediaan basis konsumen,
namun masih kalah bersaing dalam hal produksi jasanya. Singkat kata, MEA justru
jauh lebih berbahaya karena lingkupnya yang sangat komprehensif.
Di sisi lain, ASEAN juga sudah
menandatangani perjanjian dengan raksasa ekonomi dunia, yakni China (2004),
Korea (2006), Jepang (2008), Australia dan Selandia Baru (2009), dan India
(2009). ASEAN menjadi motor East Asian Summit (EAS), di mana negara anggota EAS
yaitu ASEAN 10 + 8 Mitra Dialog (China, Jepang, Korea, Australia, Selandia
Baru, India, AS, dan Rusia). ASEAN juga sedang dalam proses perumusan Regional Comprehensive Economic Partnership
Agreement (RCEP) antara ASEAN dan enam negara mitra dagang utama, dan Comprehensive Economic Partnership Agreement
(CEPA) dengan Uni Eropa. Bahkan RCEP (yang terdiri dari ASEAN plus 6)
diproyeksikan akan menjadi blok perdagangan terbesar di dunia, mengalahkan AS,
Uni Eropa, China, dan India.
Dengan perkembangan ini, wajar
apabila dikatakan bahwa tongkat kepemimpinan pasar bebas dan kapitalisme sudah
beralih dari AS dan Eropa ke ASEAN. Pertanyaannya kemudian, di manakah peran
Indonesia? Di manakah peran negara yang kabarnya merupakan kekuatan ekonomi
terbesar ASEAN, dengan penduduk terbanyak, pasar terkuat, dan sumber daya alam
terbesar? Padahal, produk domestik bruto Indonesia mencapai 846 miliar dolar AS
(40.3 persen dari seluruh PDB di ASEAN). Jumlah penduduk sebanyak 231,3 juta
jiwa (39 persen dari seluruh pendudukdi ASEAN). Sementara sangat sedikit
pengaruh kita dalam diplomasi perdagangan ASEAN.
Melalui analisis data dan
statistik, para teknokrat ekonomi Indonesia berpandangan bahwa Indonesia banyak
mengambil manfaat dari integrasi ekonomi ASEAN. Umumnya, mereka berpendapat
perdagangan intra-ASEAN 2000-2008 tumbuh lebih kuat dari perdagangan
ekstra-ASEAN sebelum tumbuh negatif 17,90 persen tahun 2009 karena krisis
keuangan global. Perdagangan Indonesia ke ASEAN+6 mencapai 66 persen dari total
ekspor, sehingga perdagangan Indonesia tidak begitu terpengaruh dengan krisis
yang terjadi di Eropa maupun AS.
Namun, 'otak dagang' saya yang
terbangun selama menjadi saudagar di Sulawesi Selatan mengatakan bahwa
Indonesia hanya dimanfaatkan oleh para makelar yang memanfaatkan Indonesia
sebagai pasar belaka dan sumber bahan mentah. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar