Sabtu, 03 Agustus 2013

Antroposentrisme dalam Zakat

Antroposentrisme dalam Zakat
Aziz Syaifuddin  ;   PNS Kemenko Kesra RI
          SUARA KARYA, 02 Agustus 2013

         
Mencermati hasil riset mutakhir yang dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Islamic Development Bank (IDB) yang menemukan bahwa potensi zakat Indonesia mencapai Rp 217,3 triliun sungguh membuat kita tercengang. Ini setara kurang lebih 15,5 persen dari jumlah APBN negara kita (Data Kemenkeu, APBN 2013: Rp 1.726,1 triliun). Namun, pertanyaannya sekarang adalah, apakah potensi sebesar itu berkorelasi positif dengan manfaat yang diterima oleh para penerima zakat? Pertanyaan besar tersebut penting kita ajukan disaat muncul fakta bahwa jumlah masyarakat miskin di negeri ini masih cukup besar, bahkan cenderung bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin Indonesia per Maret 2013 mencapai 28,07 juta orang. Artinya, jumlah penerima zakat akan lebih besar lagi.

Menyitir kata-kata bijak Yusuf Qordawi dalam bukunya, Al-Ibadah fi-Islam bahwa zakat merupakan ibadah maaliyyah ijtimaiyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Dalam bahasa Kuntowijo (1998) dipadatkan lagi lewat konsep teosentrik-humanisme. Kongkretisasi zakat baginya akan hadir dalam diri Islam sebagai agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (teosentrik), namun mempunyai korelasi kuat dengan respektasi atas nestapa kemanusiaan (humanisme) dalam masyarakat.

Rasanya cukup kita melihat pelajaran yang selama ini terjadi, para pemberi zakat seringkali justru memosisikan diri sebagai sosok yang seolah bisa melakukan apapun dengan hartanya, termasuk aksi bagi-bagi ikan, bukan kailnya. Pembagian zakatpun seperti halnya "rutinitas" yang miskin nilai-nilai pengembangan sosial. Tidak ada program pemberdayaan di sana.

Ini artinya, ada dua sisi penting yang mesti dilihat dari perintah zakat. Pertama, sisi transenden (imanen) atau ubudiyah (vertikal). Ini hubungannya dengan Allah SWT. Membahas sisi transenden zakat telah jauh diterangkan dalam Al Qur'an dan teks-teks keislaman. Dalam Al Qur'an sendiri terdapat 82 ayat kata zakat yang beriringan dengan perintah kewajiban shalat. Ini menandakan betapa kualitas perintah zakat dan shalat di hadapan Allah SWT menjadi sama sifatnya. Bahwa zakat ini menjadi wajib bagi setiap muslim yang telah mempunyai harta cukup (nishab). Seperti laiknya konsep pajak, rukun zakat ini dipahami seperti konsep upeti (uddhiyah) yang disetorkan kepada raja (Tuhan). Ini sebagai bentuk ketaatan, keimanan (kepercayaan), loyalitas, serta komitmen keimanan. Kedua, sisi sosial atau meminjam istilah Qordawi, kesejahteraan umat. Di sinilah sisi unik perintah zakat. Ada spirit sosial yang menjadikan zakat itu menjadi perintah yang membebaskan. Adalah Farid Esack, intelektual muslim Afrika Selatan yang memberikan pelajaran berharga bagi pembebasan kelompok mustadhaf'in. Ia membawa background kelompok minoritas ini karena mereka didefinisikan sebagai masyarakat yang secara ekonomi, politik, sosial, dan budaya telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup).

Dengan teologi pembebasan Farid Esack tersebut, kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugerahkan Tuhan, Ia bawa untuk menciptakan sistem dalam masyarakat yang adil. Ini karena ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam. Keberadaan dan pemanfaatan harta tidak bisa tertumpu pada golongan tertentu. Inilah yang membedakannya dengan ideologi marxisme yang memahami pemerataan harta (menerima zakat) harus dilakukan dengan merebut/merampas hak kaum burjois (revolusi sosial).

Pemerataan harta menjadi monopoli dan manipulasi diktator proletariat. Dengan demikian konsep zakat justru menegasikan paham marxian tersebut, sehingga dalam wilayah ekonomi, setiap orang boleh mengerahkan segala usahanya dalam lini produksi-konsumsi, asal saja diimbangi oleh usaha serius dalam pengentasan kemiskinan di sekelilingnya.

Antroposentrisme

Oleh karena itu, menurut penulis ibadah zakat semestinya bisa membawa pelakunya tergerak untuk tidak sekadar menggugurkan kewajiban belaka, rutinitas dan menjalankan perintah agama, tanpa membawa pada arah yang lebih mengedepankan problem kemanusiaan yang lebih kompleks.

Artinya, ibadah zakat bukan saatnya hanya selalu dibawa pada wilayah rutinitas dan ibadah ritual (mahdah) bahwa setiap 15 Ramadhan hingga Idul Fitri harus mengeluarkan zakat, sehingga kehilangan pesan universalnya. Yang terjadi kemudian, penggunaan dana zakat hanya dapat diterima oleh masyarakat sejauh diarahkan untuk hal-hal yang mikro, bersifat santunan (karitas) belaka, dan eksklusif hanya untuk kalangan muslim. Untuk itu, sudah saatnya membawa ibadah zakat ini pada semangat antroposentrisme, yakni pengedepanan nilai-nilai luhur untuk mengangkat harkat dan martabat manusia setinggi mungkin. Yakni, dengan memanfaatkan zakat untuk menciptakan putaran dana yang lebih produktif, terutama bagi kalangan miskin dan kelompok yang lemah (mustadhafin).

Maksudnya, bagi-bagi rizki itu tentu baik. Namun, alangkah lebih baik jika pemberi zakat memosisikan diri sebagai orang yang butuh (bukan dibutuhkan) para penerima zakat. Sehingga jalan yang dilakukan adalah mendekati mereka yang perlu bantuan, perlu pendampingan dan program pembebasan. Dan jumlah dana segar itu dimanfaatkan untuk penciptaan modal para mustahik.


Bukankah dengan jalan ini, makna zakat secara bahasa yang berarti tumbuh atau berkembang lebih terarah, bukan menghilang, habis hanya untuk makan atau keperluan konsumtif lainnya. Di sinilah kelebihan kita memberikan kail pada mereka, bukan ikannya. Wallahu'alam. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar