|
Mencermati hasil riset mutakhir
yang dilakukan Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Institut Pertanian Bogor
(IPB) dan Islamic Development Bank (IDB) yang menemukan bahwa potensi zakat
Indonesia mencapai Rp 217,3 triliun sungguh membuat kita tercengang. Ini setara
kurang lebih 15,5 persen dari jumlah APBN negara kita (Data Kemenkeu, APBN
2013: Rp 1.726,1 triliun). Namun, pertanyaannya sekarang adalah, apakah potensi
sebesar itu berkorelasi positif dengan manfaat yang diterima oleh para penerima
zakat? Pertanyaan besar tersebut penting kita ajukan disaat muncul fakta bahwa
jumlah masyarakat miskin di negeri ini masih cukup besar, bahkan cenderung
bertambah. Badan Pusat Statistik (BPS) menyatakan, jumlah penduduk miskin
Indonesia per Maret 2013 mencapai 28,07 juta orang. Artinya, jumlah penerima
zakat akan lebih besar lagi.
Menyitir kata-kata bijak Yusuf
Qordawi dalam bukunya, Al-Ibadah fi-Islam bahwa zakat merupakan ibadah
maaliyyah ijtimaiyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan
menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan
kesejahteraan umat. Dalam bahasa Kuntowijo (1998) dipadatkan lagi lewat konsep
teosentrik-humanisme. Kongkretisasi zakat baginya akan hadir dalam diri Islam
sebagai agama yang memusatkan diri pada keimanan akan Allah SWT (teosentrik),
namun mempunyai korelasi kuat dengan respektasi atas nestapa kemanusiaan
(humanisme) dalam masyarakat.
Rasanya cukup kita melihat
pelajaran yang selama ini terjadi, para pemberi zakat seringkali justru
memosisikan diri sebagai sosok yang seolah bisa melakukan apapun dengan
hartanya, termasuk aksi bagi-bagi ikan, bukan kailnya. Pembagian zakatpun
seperti halnya "rutinitas" yang miskin nilai-nilai pengembangan
sosial. Tidak ada program pemberdayaan di sana.
Ini artinya, ada dua sisi penting
yang mesti dilihat dari perintah zakat. Pertama, sisi transenden (imanen) atau
ubudiyah (vertikal). Ini hubungannya dengan Allah SWT. Membahas sisi transenden
zakat telah jauh diterangkan dalam Al Qur'an dan teks-teks keislaman. Dalam Al
Qur'an sendiri terdapat 82 ayat kata zakat yang beriringan dengan perintah kewajiban
shalat. Ini menandakan betapa kualitas perintah zakat dan shalat di hadapan
Allah SWT menjadi sama sifatnya. Bahwa zakat ini menjadi wajib bagi setiap
muslim yang telah mempunyai harta cukup (nishab).
Seperti laiknya konsep pajak, rukun zakat ini dipahami seperti konsep upeti (uddhiyah) yang disetorkan kepada raja
(Tuhan). Ini sebagai bentuk ketaatan, keimanan (kepercayaan), loyalitas, serta
komitmen keimanan. Kedua, sisi sosial atau meminjam istilah Qordawi,
kesejahteraan umat. Di sinilah sisi unik perintah zakat. Ada spirit sosial yang
menjadikan zakat itu menjadi perintah yang membebaskan. Adalah Farid Esack,
intelektual muslim Afrika Selatan yang memberikan pelajaran berharga bagi
pembebasan kelompok mustadhaf'in. Ia membawa background kelompok minoritas ini
karena mereka didefinisikan sebagai masyarakat yang secara ekonomi, politik,
sosial, dan budaya telah tertindas oleh kelompok dzalim (korup).
Dengan teologi pembebasan Farid
Esack tersebut, kesetaraan terhadap pemanfaatan harta yang dianugerahkan Tuhan,
Ia bawa untuk menciptakan sistem dalam masyarakat yang adil. Ini karena
ketimpangan tidak mencerminkan makna intrinsik (asal) dari harta dalam Islam.
Keberadaan dan pemanfaatan harta tidak bisa tertumpu pada golongan tertentu.
Inilah yang membedakannya dengan ideologi marxisme yang memahami pemerataan
harta (menerima zakat) harus dilakukan dengan merebut/merampas hak kaum burjois
(revolusi sosial).
Pemerataan harta menjadi monopoli
dan manipulasi diktator proletariat. Dengan demikian konsep zakat justru
menegasikan paham marxian tersebut, sehingga dalam wilayah ekonomi, setiap
orang boleh mengerahkan segala usahanya dalam lini produksi-konsumsi, asal saja
diimbangi oleh usaha serius dalam pengentasan kemiskinan di sekelilingnya.
Antroposentrisme
Oleh karena itu, menurut penulis
ibadah zakat semestinya bisa membawa pelakunya tergerak untuk tidak sekadar
menggugurkan kewajiban belaka, rutinitas dan menjalankan perintah agama, tanpa
membawa pada arah yang lebih mengedepankan problem kemanusiaan yang lebih
kompleks.
Artinya, ibadah zakat bukan
saatnya hanya selalu dibawa pada wilayah rutinitas dan ibadah ritual (mahdah)
bahwa setiap 15 Ramadhan hingga Idul Fitri harus mengeluarkan zakat, sehingga
kehilangan pesan universalnya. Yang terjadi kemudian, penggunaan dana zakat
hanya dapat diterima oleh masyarakat sejauh diarahkan untuk hal-hal yang mikro,
bersifat santunan (karitas) belaka, dan eksklusif hanya untuk kalangan muslim.
Untuk itu, sudah saatnya membawa ibadah zakat ini pada semangat antroposentrisme,
yakni pengedepanan nilai-nilai luhur untuk mengangkat harkat dan martabat
manusia setinggi mungkin. Yakni, dengan memanfaatkan zakat untuk menciptakan
putaran dana yang lebih produktif, terutama bagi kalangan miskin dan kelompok
yang lemah (mustadhafin).
Maksudnya, bagi-bagi rizki itu
tentu baik. Namun, alangkah lebih baik jika pemberi zakat memosisikan diri
sebagai orang yang butuh (bukan dibutuhkan) para penerima zakat. Sehingga jalan
yang dilakukan adalah mendekati mereka yang perlu bantuan, perlu pendampingan
dan program pembebasan. Dan jumlah dana segar itu dimanfaatkan untuk penciptaan
modal para mustahik.
Bukankah dengan jalan ini, makna
zakat secara bahasa yang berarti tumbuh atau berkembang lebih terarah, bukan
menghilang, habis hanya untuk makan atau keperluan konsumtif lainnya. Di
sinilah kelebihan kita memberikan kail pada mereka, bukan ikannya. Wallahu'alam. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar