|
KOMPAS, 04 Juni 2013
Mungkin
ketika Bung Karno merenung di bawah pohon sukun di Ende, Nusa Tenggara Timur,
selama empat tahun pengasingan (1934-1938), ia tahu persis bahwa bangsa
Indonesia hanya bisa dirajut dengan satu roh. Roh itu adalah konstruksi ideal
kultural dari tanah, air, darah, dan tulang suku-suku bangsa Nusantara. Itulah
Pancasila.
Pemahaman
seperti itu menuntun seluruh bapak bangsa—meskipun secara lahiriah berkeadaan
compang-camping, kemilau pancaran roh itu hadir dalam setiap kerja politik
mereka. Mereka sadar betul, berpolitik adalah untuk mencapai ideal, yaitu
berdiri khidmat di bawah tiang bendera untuk menegakkan Ketuhanan Yang Maha
Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang
Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta
mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.
Ideal
seperti itu kini meredup. Para elite yang sekarang ini merasa terpanggil untuk
memimpin kebanyakan hanya tampil keren, tetapi miskin roh. Hal itu bisa dilihat
dari praktik politik yang berlaku. Korupsi, politik uang, konflik dalam
pemilihan kepala daerah, perusakan tempat ibadah, dan kekerasan atas nama
agama, untuk menyebut beberapa contoh, menjadi warna dominan dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara.
Di
sisi lain, pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah tidak berjangka
panjang. Semua serba responsif. Misalnya, tidak ada ketegasan dalam menghapus
subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, jelas-jelas uang subsidi tersebut
dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan mimpi besar bangsa, seperti pembangunan
infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.
Pemerintah
lebih suka tarik ulur dan memberikan kompensasi ”balsem” ekonomi, yaitu bantuan
langsung tunai untuk warga miskin. Dengan demikian, tidak tampak sama sekali visi
masa depan bangsa yang secara sadar dipersiapkan demi tegaknya kewibawaan
Republik Indonesia di depan bangsa-bangsa lain di dunia.
Hal
yang sama juga bisa dilihat dari lambannya pemerintah mengambil keputusan
mengenai perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Apabila produksi gas menurun,
sedangkan blok itu menyuplai lebih dari 30 persen kebutuhan gas nasional dan
memberikan andil 5 persen pada APBN, terlalu riskan untuk mengulur-ulur waktu.
Hal
itu berkaitan dengan realitas ekonomi dan politik yang hampir selalu bergerak
tidak linier. Krisis ekonomi dan keresahan politik acap kali datang tidak
terduga. Ini dibuktikan dengan terjangan krisis finansial 1997, Reformasi 1998,
dan krisis ekonomi 2008. Geraknya cepat dan ledakannya tiba-tiba. Dengan
demikian, mengulur-ulur waktu dalam pengambilan keputusan, seperti dalam kasus
Blok Mahakam dan penghapusan subsidi BBM, dalam jangka panjang sejatinya hanya
akan menyengsarakan rakyat.
Ketidaktegasan
kepemimpinan nasional dalam memutuskan persoalan-persoalan strategis berdimensi
jangka panjang tersebut menandakan, secara keseluruhan pemerintahan sebenarnya
sedang menderita tirani urgensi. Seluruh keputusan bersifat dadakan dengan
pertimbangan jangka pendek dan tanpa tindak lanjut prospektif. Pemberian
bantuan langsung tunai, serta impor daging sapi, bawang merah, dan komoditas
lain merupakan kepingan-kepingan tirani urgensi tersebut. Sejauh ini, peta
persoalan masa depan tidak diprakirakan, apalagi dipersiapkan dengan saksama,
meminjam istilah Daoed Joesoef, sebagai sebuah kebudayaan strategi. Akibatnya,
Indonesia selama ini seperti negara limbung (state manque). Tidak tahu benar arah yang akan dituju.
Secara
hipotesis, praktik politik tirani urgensi tersebut menebar karena para politisi
tidak memanggul dengan khidmat ”tanah air mental” yang menjadi roh negara
bangsa. Apabila Republik Indonesia adalah ”tanah air formal” dan ”riil”,
Pancasila adalah tanah air mentalnya. Ia adalah roh, pedoman, dan ideal yang
harus ditegakkan. Tanpa pemahaman itu, siapa pun yang berkuasa di republik ini
pasti terperosok pada tirani urgensi.
Sedikit
kata-kata
Meskipun
masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir berakhir,
menghentikan praktik politik tirani urgensi yang kini melembaga adalah pilihan
terbaik. Dengan sedikit kata-kata (kanthi
tembung sethithik), SBY dapat menggaris kebudayaan strategi jangka panjang.
Beberapa keputusan strategis, seperti penghapusan subsidi BBM, perluasan lahan
pertanian dan irigasi, serta penyelesaian intoleransi dan kekerasan berbau
agama, harus segera dilakukan.
Apabila
langkah tersebut tidak diambil, praktik politik tirani urgensi dipastikan akan
semakin akut. Ini berkaitan dengan sosok anggota dewan mendatang yang
didominasi wajah lama. Kemungkinan besar, mereka hanya berhasrat menikmati
kebun mawar kekuasaan daripada bekerja tulus untuk rakyat. Akibatnya, pintu
rehabilitasi masa depan juga sulit untuk dibuka. Padahal, rehabilitasi masa
depan hanya akan terjadi apabila perilaku politik penguasa berpedoman pada
nilai-nilai ”tanah air mental” (Pancasila).
Seperti
seruan almarhum Franky Sahilatua, para elite itu harus tegak di bawah tiang
bendera dan bersepakat: ”Pada tanah yang
sama kita berdiri, pada air yang sama kita berjanji, pada darah yang sama
jangan bertengkar, pada tulang yang sama usah berpisah, Indonesia, Indonesia.”
●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar