Selasa, 04 Juni 2013

Tiang Bendera

Tiang Bendera
Sukardi Rinakit ;   Peneliti Senior Soegeng Sarjadi Syndicate
KOMPAS, 04 Juni 2013


Mungkin ketika Bung Karno merenung di bawah pohon sukun di Ende, Nusa Tenggara Timur, selama empat tahun pengasingan (1934-1938), ia tahu persis bahwa bangsa Indonesia hanya bisa dirajut dengan satu roh. Roh itu adalah konstruksi ideal kultural dari tanah, air, darah, dan tulang suku-suku bangsa Nusantara. Itulah Pancasila.

Pemahaman seperti itu menuntun seluruh bapak bangsa—meskipun secara lahiriah berkeadaan compang-camping, kemilau pancaran roh itu hadir dalam setiap kerja politik mereka. Mereka sadar betul, berpolitik adalah untuk mencapai ideal, yaitu berdiri khidmat di bawah tiang bendera untuk menegakkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan/Perwakilan, serta mewujudkan Keadilan Sosial bagi Seluruh Rakyat Indonesia.

Ideal seperti itu kini meredup. Para elite yang sekarang ini merasa terpanggil untuk memimpin kebanyakan hanya tampil keren, tetapi miskin roh. Hal itu bisa dilihat dari praktik politik yang berlaku. Korupsi, politik uang, konflik dalam pemilihan kepala daerah, perusakan tempat ibadah, dan kekerasan atas nama agama, untuk menyebut beberapa contoh, menjadi warna dominan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.

Di sisi lain, pengambilan keputusan yang dilakukan pemerintah tidak berjangka panjang. Semua serba responsif. Misalnya, tidak ada ketegasan dalam menghapus subsidi bahan bakar minyak (BBM). Padahal, jelas-jelas uang subsidi tersebut dapat dimanfaatkan untuk mewujudkan mimpi besar bangsa, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan masyarakat.

Pemerintah lebih suka tarik ulur dan memberikan kompensasi ”balsem” ekonomi, yaitu bantuan langsung tunai untuk warga miskin. Dengan demikian, tidak tampak sama sekali visi masa depan bangsa yang secara sadar dipersiapkan demi tegaknya kewibawaan Republik Indonesia di depan bangsa-bangsa lain di dunia.

Hal yang sama juga bisa dilihat dari lambannya pemerintah mengambil keputusan mengenai perpanjangan kontrak Blok Mahakam. Apabila produksi gas menurun, sedangkan blok itu menyuplai lebih dari 30 persen kebutuhan gas nasional dan memberikan andil 5 persen pada APBN, terlalu riskan untuk mengulur-ulur waktu.

Hal itu berkaitan dengan realitas ekonomi dan politik yang hampir selalu bergerak tidak linier. Krisis ekonomi dan keresahan politik acap kali datang tidak terduga. Ini dibuktikan dengan terjangan krisis finansial 1997, Reformasi 1998, dan krisis ekonomi 2008. Geraknya cepat dan ledakannya tiba-tiba. Dengan demikian, mengulur-ulur waktu dalam pengambilan keputusan, seperti dalam kasus Blok Mahakam dan penghapusan subsidi BBM, dalam jangka panjang sejatinya hanya akan menyengsarakan rakyat.

Ketidaktegasan kepemimpinan nasional dalam memutuskan persoalan-persoalan strategis berdimensi jangka panjang tersebut menandakan, secara keseluruhan pemerintahan sebenarnya sedang menderita tirani urgensi. Seluruh keputusan bersifat dadakan dengan pertimbangan jangka pendek dan tanpa tindak lanjut prospektif. Pemberian bantuan langsung tunai, serta impor daging sapi, bawang merah, dan komoditas lain merupakan kepingan-kepingan tirani urgensi tersebut. Sejauh ini, peta persoalan masa depan tidak diprakirakan, apalagi dipersiapkan dengan saksama, meminjam istilah Daoed Joesoef, sebagai sebuah kebudayaan strategi. Akibatnya, Indonesia selama ini seperti negara limbung (state manque). Tidak tahu benar arah yang akan dituju.

Secara hipotesis, praktik politik tirani urgensi tersebut menebar karena para politisi tidak memanggul dengan khidmat ”tanah air mental” yang menjadi roh negara bangsa. Apabila Republik Indonesia adalah ”tanah air formal” dan ”riil”, Pancasila adalah tanah air mentalnya. Ia adalah roh, pedoman, dan ideal yang harus ditegakkan. Tanpa pemahaman itu, siapa pun yang berkuasa di republik ini pasti terperosok pada tirani urgensi.

Sedikit kata-kata

Meskipun masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono hampir berakhir, menghentikan praktik politik tirani urgensi yang kini melembaga adalah pilihan terbaik. Dengan sedikit kata-kata (kanthi tembung sethithik), SBY dapat menggaris kebudayaan strategi jangka panjang. Beberapa keputusan strategis, seperti penghapusan subsidi BBM, perluasan lahan pertanian dan irigasi, serta penyelesaian intoleransi dan kekerasan berbau agama, harus segera dilakukan.

Apabila langkah tersebut tidak diambil, praktik politik tirani urgensi dipastikan akan semakin akut. Ini berkaitan dengan sosok anggota dewan mendatang yang didominasi wajah lama. Kemungkinan besar, mereka hanya berhasrat menikmati kebun mawar kekuasaan daripada bekerja tulus untuk rakyat. Akibatnya, pintu rehabilitasi masa depan juga sulit untuk dibuka. Padahal, rehabilitasi masa depan hanya akan terjadi apabila perilaku politik penguasa berpedoman pada nilai-nilai ”tanah air mental” (Pancasila).


Seperti seruan almarhum Franky Sahilatua, para elite itu harus tegak di bawah tiang bendera dan bersepakat: ”Pada tanah yang sama kita berdiri, pada air yang sama kita berjanji, pada darah yang sama jangan bertengkar, pada tulang yang sama usah berpisah, Indonesia, Indonesia.”  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar