|
REPUBLIKA, 03 Juni 2013
Setiap
tanggal 1 Juni, kita mem peringati Hari Pancasila yang merupakan ideologi dari
republik ini. Pancasila secara sejarah merupakan buah karya dari Sukarno, "the founding father", bersama
puluhan tokoh yang tergabung dalam PPKI dan BPUPKI menjelang proklamasi 1945.
Pancasila juga merupakan antitesis dari dua ideologi besar, yakni kapitalisme
dan komunisme. Sementara, komunisme sudah hampir punah, kapitalisme sedang
terkoyak-koyak menghadapi krisis keuangan
di Amerika dan Eropa. Pertanya annya, ke manakah Pancasila? Jawaban yang paling pas untuk pertanyaan tersebut mungkin adalah kita sendiri sebagai bangsa Indonesia tidak pernah berusaha secara serius untuk menerapkannya. Khususnya, di bidang ekonomi, Pancasila hampir-hampir tenggelam.
di Amerika dan Eropa. Pertanya annya, ke manakah Pancasila? Jawaban yang paling pas untuk pertanyaan tersebut mungkin adalah kita sendiri sebagai bangsa Indonesia tidak pernah berusaha secara serius untuk menerapkannya. Khususnya, di bidang ekonomi, Pancasila hampir-hampir tenggelam.
Sampai saat ini belum ada ke sepakatan sosial tentang bangun
ekonomi Pancasila itu seperti apa. Ide sihtentu banyak, tapi baru dalam bentuk
ide dari orang per orang. Para ekonom sendiri belum pernah secara resmi membuat
kesepakatan tentang hal tersebut.
Sekitar 30 tahun yang lalu, saya sebagai mahasiswa bersama
teman-teman sering kali berdiskusi tentang bagaimana sihsebetulnya bangun
ekonomi yang cocok untuk Indonesia. Salah satu yang sering kami bahas ada lah
ide dari Bung Hatta tentang koperasi. Selain itu, ada pula gagasan ekonomi
Pancasila versinya Prof Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada. Sejalan dengan
waktu, ide-ide tersebut seakan tenggelam ditelan zaman.
Mungkin ada baiknya para ekonom yang tergabung dalam Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memanfaatkan momentum Hari Pancasila setiap
tahun untuk secara bertahap merumuskan apa itu ekonomi Pancasila. Kalau sedikit
agak serius, mungkin dalam kurun waktu lima tahun, kita dapat merumuskan konsep
definitif tentang ekonomi Pancasila. Mungkin yang paling susah adalah membuat
kesepahaman dan kesepakatan di antara para ekonom. Maklum saja, Pancasila
merupakan key word yang cukup asing
di telinga mereka.
Kesulitan yang mungkin timbul dalam perumusan ekonomi
Pancasila adalah dalam menentukan dasar pijakan. Kapitalisme dan komunisme
memiliki pijakan yang sangat jelas dan sama, yakni materialisme. Hanya, cara
mencapainya yang berbeda. Yang satu mengandalkan individu dan mekanisme pasar
sedangkan yang lain mengandalkan peran negara. Dalam praktiknya, hampir tidak
ada sebuah negara yang menerapkannya secara ekstrem.
Tiongkok sebagai negara komunis terbesar pada akhirnya juga
mempromosikan mekanisme pasar dan liberalisasi. Amerika sebagai contoh ideal
kapitalisme juga pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa peran negara
adalah sangat penting. Krisis yang melanda negara tersebut telah mendorong mereka
untuk mencampuri urusan swasta melalui program bailout di sektor keuangan dan
berbagai program sosial yang didesain untuk menolong rakyat yang menjadi korban
krisis. Amerika telah memiliki wajah sosialis.
Lalu, apa dong pijakan ekonomi Pancasila? Mungkin yang paling
ideal adalah mengembalikannya pada Pancasila itu sendiri. Yang paling utama tentunya
adalah sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, PR para ekonom
adalah bagaimana memasukkan dimensi ketuhanan dalam dunia materialisme. Dalam
konteks ini, pemahaman mengenai hubungan manusia dengan sang Khalik menjadi
sangat membantu. Dalam Islam itulah yang disebut dengan habluminallah.
Menjadi sangat riskan untuk percaya bahwa materialisme dapat
dijadikan sandaran dan tujuan akhir. Memang tujuan akhir kapitalisme dan komunisme
adalah materialisme, yakni kesejahteraan. Cara mencapainya pun dilandasi oleh
materialisme. Seolah-olah hidup kita hanya sebatas di dunia ini.
Manusia sebagai makhluk spiritual tentunya tidak hanya
percaya bahwa dunia ini nyata, tetapi juga percaya ada kehidupan setelah dunia
ini. Kalau kehidupan ekonomi hanya dilandasi dengan materialisme, itu sama saja
dengan mereduksi derajat manusia dari yang dimuliakan oleh sang Khalik menjadi
sejajar dengan makhluk lainnya.
Apakah kita mau merendahkan diri kita sendiri sehingga sama
dengan binatang? Maukah kita menanggalkan gelar sebagai khalifah di muka Bumi? Karena
kehidupan akhirat merupakan spektrum yang kontinu dari kehidupan dunia, segala
aktivitas di dunia seharusnya dijiwai dengan spektrum yang lebih hakiki. Di
bidang ekonomi, spektrum ini sering kali terlupakan atau bahkan secara sengaja
diabaikan begitu saja. Kita menjadi asyik masyuk dengan materialisme dan lupa
bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban.
Bahwa kesejahteraan harus diwujudkan, jelas itu merupakan
sebuah tuntutan atas eksistensi manusia di muka bumi. Tetapi, kesejahteraan itu
sendiri bukanlah merupakan tujuan akhir dari umat manusia. Kesejahteraan lebih
merupakan instrumen untuk mencapai kehidupan yang lebih hakiki, yakni saat kita
semua kembali kepada sang Khalik.
Nah, sekarang bagaimana para ekonom dapat merumuskannya dalam
bentuk ideologi yang cukup operasional tentang hal tersebut? Mari kita niatkan
untuk secara bersama-sama merumuskannya. Masak sih Allah tidak akan memberi pertolongan
kepada kita? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar