Selasa, 04 Juni 2013

Ke Manakah Ekonomi Pancasila?

Ke Manakah Ekonomi Pancasila?
Iman Sugema ;   Ekonom
REPUBLIKA, 03 Juni 2013


Setiap tanggal 1 Juni, kita mem peringati Hari Pancasila yang merupakan ideologi dari republik ini. Pancasila secara sejarah merupakan buah karya dari Sukarno, "the founding father", bersama puluhan tokoh yang tergabung dalam PPKI dan BPUPKI menjelang proklamasi 1945. Pancasila juga merupakan antitesis dari dua ideologi besar, yakni kapitalisme dan komunisme. Sementara, komunisme sudah hampir punah, kapitalisme sedang terkoyak-koyak menghadapi krisis keuangan

di Amerika dan Eropa. Pertanya annya, ke manakah Pancasila? Jawaban yang paling pas untuk pertanyaan tersebut mungkin adalah kita sendiri sebagai bangsa Indonesia tidak pernah berusaha secara serius untuk menerapkannya. Khususnya, di bidang ekonomi, Pancasila hampir-hampir tenggelam.

Sampai saat ini belum ada ke sepakatan sosial tentang bangun ekonomi Pancasila itu seperti apa. Ide sihtentu banyak, tapi baru dalam bentuk ide dari orang per orang. Para ekonom sendiri belum pernah secara resmi membuat kesepakatan tentang hal tersebut.

Sekitar 30 tahun yang lalu, saya sebagai mahasiswa bersama teman-teman sering kali berdiskusi tentang bagaimana sihsebetulnya bangun ekonomi yang cocok untuk Indonesia. Salah satu yang sering kami bahas ada lah ide dari Bung Hatta tentang koperasi. Selain itu, ada pula gagasan ekonomi Pancasila versinya Prof Mubyarto dari Universitas Gadjah Mada. Sejalan dengan waktu, ide-ide tersebut seakan tenggelam ditelan zaman.

Mungkin ada baiknya para ekonom yang tergabung dalam Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) memanfaatkan momentum Hari Pancasila setiap tahun untuk secara bertahap merumuskan apa itu ekonomi Pancasila. Kalau sedikit agak serius, mungkin dalam kurun waktu lima tahun, kita dapat merumuskan konsep definitif tentang ekonomi Pancasila. Mungkin yang paling susah adalah membuat kesepahaman dan kesepakatan di antara para ekonom. Maklum saja, Pancasila merupakan key word yang cukup asing di telinga mereka.

Kesulitan yang mungkin timbul dalam perumusan ekonomi Pancasila adalah dalam menentukan dasar pijakan. Kapitalisme dan komunisme memiliki pijakan yang sangat jelas dan sama, yakni materialisme. Hanya, cara mencapainya yang berbeda. Yang satu mengandalkan individu dan mekanisme pasar sedangkan yang lain mengandalkan peran negara. Dalam praktiknya, hampir tidak ada sebuah negara yang menerapkannya secara ekstrem.

Tiongkok sebagai negara komunis terbesar pada akhirnya juga mempromosikan mekanisme pasar dan liberalisasi. Amerika sebagai contoh ideal kapitalisme juga pada akhirnya harus menerima kenyataan bahwa peran negara adalah sangat penting. Krisis yang melanda negara tersebut telah mendorong mereka untuk mencampuri urusan swasta melalui program bailout di sektor keuangan dan berbagai program sosial yang didesain untuk menolong rakyat yang menjadi korban krisis. Amerika telah memiliki wajah sosialis.

Lalu, apa dong pijakan ekonomi Pancasila? Mungkin yang paling ideal adalah mengembalikannya pada Pancasila itu sendiri. Yang paling utama tentunya adalah sila yang pertama, yakni Ketuhanan Yang Maha Esa. Jadi, PR para ekonom adalah bagaimana memasukkan dimensi ketuhanan dalam dunia materialisme. Dalam konteks ini, pemahaman mengenai hubungan manusia dengan sang Khalik menjadi sangat membantu. Dalam Islam itulah yang disebut dengan habluminallah.

Menjadi sangat riskan untuk percaya bahwa materialisme dapat dijadikan sandaran dan tujuan akhir. Memang tujuan akhir kapitalisme dan komunisme adalah materialisme, yakni kesejahteraan. Cara mencapainya pun dilandasi oleh materialisme. Seolah-olah hidup kita hanya sebatas di dunia ini.

Manusia sebagai makhluk spiritual tentunya tidak hanya percaya bahwa dunia ini nyata, tetapi juga percaya ada kehidupan setelah dunia ini. Kalau kehidupan ekonomi hanya dilandasi dengan materialisme, itu sama saja dengan mereduksi derajat manusia dari yang dimuliakan oleh sang Khalik menjadi sejajar dengan makhluk lainnya.

Apakah kita mau merendahkan diri kita sendiri sehingga sama dengan binatang? Maukah kita menanggalkan gelar sebagai khalifah di muka Bumi? Karena kehidupan akhirat merupakan spektrum yang kontinu dari kehidupan dunia, segala aktivitas di dunia seharusnya dijiwai dengan spektrum yang lebih hakiki. Di bidang ekonomi, spektrum ini sering kali terlupakan atau bahkan secara sengaja diabaikan begitu saja. Kita menjadi asyik masyuk dengan materialisme dan lupa bahwa kelak akan dimintai pertanggungjawaban.

Bahwa kesejahteraan harus diwujudkan, jelas itu merupakan sebuah tuntutan atas eksistensi manusia di muka bumi. Tetapi, kesejahteraan itu sendiri bukanlah merupakan tujuan akhir dari umat manusia. Kesejahteraan lebih merupakan instrumen untuk mencapai kehidupan yang lebih hakiki, yakni saat kita semua kembali kepada sang Khalik.


Nah, sekarang bagaimana para ekonom dapat merumuskannya dalam bentuk ideologi yang cukup operasional tentang hal tersebut? Mari kita niatkan untuk secara bersama-sama merumuskannya. Masak sih Allah tidak akan memberi pertolongan kepada kita? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar