MENCARI PEMIMPIN BERINTEGRITAS
Pemimpin di
Tumpukan Jerami
|
KOMPAS,
04 Juni 2013
Kita adalah bangsa yang menyimpan sederet
keluh dan janji. Kita mengeluh soal pelanggaran HAM, konflik horizontal,
kesenjangan ekonomi, kerusakan lingkungan, korupsi politik, dan sebagainya.
Namun, di keremangan ruang tunggu republik, kita masih memiliki janji akan
perbaikan.
Indikator ekonomi makro menunjukkan sesuatu
yang tak mengecewakan. Kepemimpinan pun jadi kunci utama dan pertama untuk
menyembuhkan keluh dan menunaikan janji. Persoalannya, mencari pemimpin lebih
sulit ketimbang jarum di jerami. Politik republik yang kelam oleh korupsi
membuat perburuan calon pemimpin kian sulit. Sejauh mana calon-calon pemimpin
republik ini tak terjerat jejaring korupsi yang sedemikian sistemik? Apakah
kita serahkan saja semua pada institusi politik yang ada? Tidak. Publik
sebagai penggenggam mandat harus mampu merumuskan dan menentukan sendiri
pemimpin yang diinginkan. Untuk itu, kriteria, koridor, dan mekanisme
rekrutmen menjadi sesuatu yang penting didiskusikan secara terbuka.
Belajar dari sejarah
Terry Price, profesor ilmu kepemimpinan,
mendefinisikan kepemimpinan berkeutamaan sebagai kepemilikan integritas
sebagai disposisi yang stabil dalam mengambil keputusan penting. Tanpa itu,
pemimpin akan diombang-ambing situasi dan persepsi publik. Tanpa integritas,
pemimpin bakal dikendalikan lembaga survei yang merekam setiap jengkal
pendapat publik terhadap keputusan yang (bakal) diambil. Pemimpin, akhirnya,
hanya mengambil keputusan yang menyenangkan orang banyak. Yang menyenangkan
orang belum tentu sesuai patokan umum soal integritas. Kalkulasi utilitarian
memang membahagiakan orang banyak, tetapi belum tentu berintegritas.
Di dalam integritas terkandung keberanian.
Dia yang berintegritas berani melawan opini publik ketika itu dirasakannya
keliru. Pemimpin berintegritas bukan orang yang suka menyenangkan orang
banyak. Kuantitas dan kualitas, dua hal yang tak dapat disatukan.
Persoalannya demokrasi adalah pemerintahan orang banyak. Opini publik adalah
bentuk partisipasi yang sah dalam demokrasi partisipatoris. Keberanian
seorang pemimpin yang berintegritas perlu diukur dengan patokan-patokan
demokratis. Apakah keberanian itu demi publik atau kelompok kepentingan
belaka?
Keberanian seorang pemimpin menyerahkan kekayaan alam tanpa syarat
kepada pihak asing tentu saja bukan integritas yang dimaksud.
Pemimpin yang berani memerlukan rem yang
kuat. Salah satu rem yang dibutuhkan adalah pemimpin lain. Presiden yang
berani perlu wakil yang mampu menyendat sekaligus menyalurkan keberanian
atasannya agar senapas dengan demokrasi. Untuk itu, Buya Syafii Maarif, guru
bangsa kita, mengajak kita sejenak menengok sejarah. Dwitunggal Soekarno-Hatta
adalah contoh menarik. Keduanya, tak pelak, negarawan yang berkelas. Bedanya,
Soekarno cenderung memimpin dengan meledak-ledak, sementara Hatta lebih kalem
dan cenderung akademis.
Banyak keputusan Soekarno yang
kontroversial dari kacamata demokrasi. Keputusannya menjalankan demokrasi
Indonesia secara terpimpin, misalnya, berbuah pada pemerintahan
semi-otoriter. Kita dapat memahami keputusan itu dibuat dalam situasi politik
yang centang-perenang oleh gesekan antarkekuatan politik. Namun, Hatta tak dapat
memahaminya dan akhirnya memutuskan menarik diri dari dwitunggal. Hatta
demokrat tulen yang tak dapat menenggang subordinasi kebebasan oleh ideologi.
Buya berpendapat, perpisahan Soekarno dan
Hatta disebabkan absennya pemahaman keduanya terhadap subkultur
masing-masing: Jawa dan Minang. Perpisahan keduanya pun membuat kepemimpinan
Indonesia setelah sembilan tahun merdeka berjalan tanpa rem. Persatuan
nasional berubah jadi persatean nasional. Buya juga menambahkan betapa
prahara nasional 1965 merupakan ujung logis dari kepemimpinan tanpa rem ini.
Kepemimpinan Soekarno, meski demikian, tak mudah dipersoalkan secara etis.
Apa pun, itu bukti betapa kepemimpinan yang etis pun perlu sendatan etis lain
supaya terjadi keseimbangan. Hatta tadinya berfungsi sebagai ganjalan etis
bagi kepemimpinan Soekarno. Tanpa dia, kepemimpinan Soekarno dijalankan di
atas adagium: ”yang etis dapat serta-merta dilaksanakan.”
Kejatuhan Orde Baru membuka peluang
munculnya kepemimpinan demokratis. Namun, sayangnya, kepemimpinan demokratis
masih saja dipahami secara prosedural, tak substansial. Kepemimpinan
demokratis bukan sekadar kepemimpinan yang diseleksi dan dipilih melalui
prosedur demokratis. Kepemimpinan demokratis adalah kepemimpinan yang
mengabdi 100 persen pada demos (rakyat). Ini ujian terberat bagi integritas
pemimpin. Integritas di sini patut dipahami sebagai keberanian mengambil
keputusan yang berpihak pada rakyat. Pemimpin yang menyerah pada tekanan
korporat multinasional jelas tak masuk golongan berintegritas. Sebaliknya,
dia yang berani mencabut model kontrak karya dan bertarung di pengadilan
internasional demi kepentingan demos merupakan negarawan sejati.
Koridor ketatanegaraan
Integritas sebagai keberanian dalam
mengambil keputusan sejatinya diberi ruang dalam koridor ketatanegaraan kita.
Koridor itu disebut presidensialisme. Presidensialisme adalah sistem
ketatanegaraan yang menempatkan presiden dalam posisi sentral. Peran presiden
cukup kental di tiga dimensi kekuasaan: eksekutif, yudikatif, dan legislatif.
Pemerintahan seorang presiden pun relatif stabil karena mekanisme pemakzulan
dibuat rumit. Legalitas dan legitimasi presiden lebih kokoh karena dipilih
langsung oleh rakyat.
Saldi Isra, profesor tata negara,
menjelaskan, untuk menghadirkan kepemimpinan presidensial, selama empat kali
perubahan UUD 1945 (1999-2002), dilakukan purifikasi sistem presidensial.
Namun, seperti dijelaskan Saldi, sekalipun pasal-pasal hasil perubahan UUD
1945 dikatakan memperkuat posisi presiden dalam sistem presidensial, praktik
yang terjadi beberapa tahun terakhir, terutama selama era SBY, menimbulkan
penilaian posisi presiden yang lemah. Penyebabnya, pengawasan yang berlebihan
dari DPR yang bersenyawa dengan ketakutan berlebihan SBY terhadap pengawasan
ini. Akibatnya, Presiden dan DPR acapkali terlibat dalam model politik tarik
ulur dan tak berkesudahan. Padahal, dengan desain dalam UUD 1945, presiden
tak perlu begitu khawatir fungsi pengawasan akan dengan mudah berujung pada
proses pemakzulan.
Pemerintahan pun lebih banyak disesaki
negosiasi politik bertele-tele. Saling sandera jadi fenomena politik yang
banal di pemerintahan SBY. Padahal, baju besi presidensialisme memberikan SBY
keleluasaan politik menjalankan pemerintahan yang kuat. Berbeda dengan Jokowi
yang keukeuh menjalankan program Kartu Jakarta Sehat meski di bawah
bayang-bayang interpelasi DPRD. Legitimasi elektoral yang didapatkan Jokowi
membuatnya leluasa menjalankan kebijakan prorakyat. Ini bukti bahwa pemimpin
sejatinya tak perlu takut pada ancaman pemakzulan jika kebijakan yang
diambilnya demi kepentingan rakyat. Dia boleh jeri pada legislatif jika
kebijakannya bersilang dengan kepentingan rakyat.
Saldi pun merumuskan tiga model
kepemimpinan masa depan yang senapas dengan semangat presidensialisme.
Pertama, strong and persuade leadership.
Kedua, mau dan mampu menerima konsekuensi
dari praktik sistem kepartaian majemuk. Ketiga, pemimpin yang negarawan. Di
antara penyakit akut yang tengah melanda praktik kepemimpinan presidensial
adalah jabatan rangkap parpol dengan jabatan di pemerintahan. Secara hukum,
rangkap jabatan memang tak dilarang. Namun, potensi adanya konflik
kepentingan harusnya menjadi bangunan etika dalam merawat sistem
presidensial.
Rekrutmen publik
Pertanyaan terakhir dan paling fundamental,
bagaimana merebut kembali hak rakyat untuk menentukan sendiri pemimpinnya?
Kita, saat ini, tengah mengidap krisis kepercayaan terhadap
instrumen-instrumen politik dalam menyeleksi calon pemimpin republik. Saatnya
rakyat sebagai penggenggam kedaulatan mengambil alih fungsi rekrutmen yang
lumpuh di tangan lembaga-lembaga politik yang ada saat ini.
Persoalannya,
lembaga seperti parpol masih ditempatkan sebagai instrumen satu-satunya untuk
merekrut dan mempromosikan calon pemimpin. Ini fakta yang tak dapat
dikesampingkan begitu saja. Jalur independen memang salah satu alternatif.
Namun, pengalaman menunjukkan betapa pemimpin di daerah dari jalur independen
akhirnya menjadi ”sandera politik” partai-partai di DPRD.
Kita perlu mencari pola yang menempatkan
rakyat dan parpol secara proporsional dalam proses rekrutmen dan promosi
politik. Haryatmoko, filsuf Yogya, mengajukan empat model. Pertama, model
kontrak. Kontrak merupakan persetujuan antara calon pemimpin dan konstituen
yang dimonitor panitia seleksi partai untuk menentukan target tugas dalam
jangka waktu tertentu yang harus dipenuhi. Setelah masa bakti dua tahun,
misalnya, pemimpin terpilih tak dapat menyelesaikan perbaikan fasilitas
pendidikan, mandat akan dievaluasi ulang. Dalam kontrak perlu ada klausul
pembagian risiko. Misalnya, jika kegagalan disebabkan tekanan partai atau
faktor eksternal lain, konstituen akan tetap dukung.
Kedua, model penyaringan dan seleksi.
Caranya, konstituen mengorganisir diri untuk bisa memberikan informasi ke
parpol tentang catatan calon pemimpin. Informasi publik yang cukup akan
menguntungkan pengurus partai dalam upaya meningkatkan bobot calon pemimpin
dan kemungkinan terpilihnya. Ketiga, model monitor dan pelaporan. Parpol akan
memperoleh surplus kepercayaan dari rakyat jika memiliki komisi etika yang
akan memberikan pelatihan etika publik, memberi arahan tertulis tentang
dimensi etika dalam kebijakan publik, dan membantu menjamin akuntabilitas
anggota partai yang menjadi calon pemimpin. Pelaporan secara terbuka dan
berkala akan membantu memberikan informasi tentang sukses atau gagalnya
seorang pemimpin. Keempat, model pemeriksaan institusional. Komisi etik,
komisi kerja, dan DPP partai merupakan lembaga yang berperan untuk menuntut
akuntabilitas calon pemimpin. Ini dilakukan dengan menampung masukan keluhan
atau laporan dari organisasi independen atau masyarakat sipil.
Model di atas memastikan partisipasi publik
dalam rekrutmen dan promosi calon pemimpin. Dengan demikian, pemimpin berintegritas
dalam koridor presidensialisme-demokratis dapat dipromosikan secara kolektif.
Sebagian mungkin merasa proses ini terlalu muluk dan bertele-tele. Namun,
lebih baik bertele-tele berburu pemimpin ketimbang berkeluh kesah tak
berkesudahan karena memperoleh pemimpin buruk. Selamat berburu! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar