|
SUARA KARYA, 10 Juni 2013
Sabtu (8/6) malam hari, langit
Indonesia tampak kelabu. Bangsa Indonesia baru saja kehilangan seorang putra
terbaiknya, Taufiq Kiemas. Kepergian Taufiq, sapaan akrabnya, meninggalkan luka
mendalam bagi keluarga, kolega, kader, dan sebagaian besar masyarakat di
penjuru negeri. Taufiq menghembuskan nafas terakhir di sebuah rumah sakit di
Singapura pada pukul 19.05 waktu Singapura atau pukul 18.05 WIB.
Taufiq menjalani perawatan di
Singapura setelah mendampingi Wakil Presiden Boediono untuk meresmikan Monumen
Bung Karno dan Situs Pengasingan Bung Karno di Ende, Nusa Tenggara Timur.
Peresmian itu bertepatan dengan Peringatan Hari Lahir Pancasila 1 Juni 1945.
Namun selepas acara tersebut, beliau mengalami kelelahan berat.
Taufiq selama ini dikenal sebagai
politikus yang ideal. Ia merupakan salah satu tokoh yang berkategori liminal.
Seorang yang berasal dari keluarga santri pendukung Muhammadiyah-Masyumi
"menyebrang" merintis pergerakan politiknya lewat Gerakan Mahasiswa
Nasionalis Indonesia (GMNI). Kiprahnya begitu banyak untuk bangsa ini, namun
hanya sedikit yang diketahui publik. Kiprah Taufiq justru semakin tampak ketika
ia menikah dengan putri pemikir besar Indonesia, Megawati Soekarnoputri.
Di situlah Taufiq kemudian
menempatkan diri dalam posisi sebagai "juru kunci" (aktor belakang
layar) rumah kaum nasionalis. Karier politik Taufiq semakin moncer saat Orde
Baru tumbang. Taufiq berhasil menghantarkan isterinya Megawati menjadi Presiden
Republik Indonesia ke-5. Ia juga pernah menjadi angggota DPR RI dua periode
berturut-turut (1999-2004 dan 2004-2005) dari Partai Demokrasi Indonesia
Perjuangan. Selain menjabat sebagai Dewan Kehormatan Pengurus Pusat Persatuan
Alumni (PP PA) GMNI dan Ketua Dewan Pertimbangan DPP PDI-P, jabatan struktural
kenegaraan terakhir yang diemban Taufiq ialah Ketua MPR RI tahun 2009-2014.
Seperti tertuang dalam buku
biografinya berjudul Gelora Kebangsaan Tak Kunjung Padam (2012), kiprah penting
Taufiq ketika menjabat Ketua MPR RI adalah ingin membumikan empat pilar
kebangsaan. Taufiq sangat berharap Indonesia bisa rukun, tidak ada pertikaian
dengan alasan golongan, ras, ataupun agama. Kemajemukan dan keberagaman ialah
anugerah bangsa ini. Karena itu, dalam berbagai kesempatan, ia selalu
menyatakan pentingnya penerapan empat pilar kebangsaan yaitu Pancasila, UUD
1945, NKRI, dan Bhineka Tunggal Ika, dalam kehidupan berbangsa.
Bagi Taufiq, empat pilar
kebangsaan tersebut penting disemaikan terhadap para anak bangsa dan generasi
muda. Empat pilar itulah perekat bangsa yang majemuk seperti Indonesia. Menurut
Zuhairi Misrawi, Staf Ahli MPR RI, Taufiq ialah tokoh yang selalu gelisah
terhadap kondisi bangsa, khususnya tentang masalah intoleransi beragama. Dengan
membumikan empat pilar tersebut, Taufiq berharap kerukunan di Indonesia bisa
semakin terjaga. Taufiq yakin bahwa masalah intoleransi ini bisa diatasi jika
segenap anak bangsa benar-benar memahami intisari kebinekaan.
Selain itu, Taufiq juga sangat
merindukan gaya politik yang santun dalam proses berdemokrasi di Indonesia.
Menurut Taufiq Kiemas, demokrasi Indonesia harus mengerami Pancasila terlebih
dahulu. Demokrasi Indonesia berbeda dengan demokrasi Barat. Demokrasi Indonesia
bernafaskan keguyuban dan gotong royong, bukan saling menikam dan menegasikan.
Sebab, gotong royong itulah intisati Pancasila.
Itulah kenapa dalam arena politik,
Taufiq kerap menjadi katalisator juru damai bagi para politisi yang
berseberangan. Ia menjadi politikus lintas partai yang selalu menebar
kesejukan. Meski menjadi dewan pembina partai opisisi terbesar, tapi oposisi
yang dilakukan Taufiq tidak membabi buta. Baginya, oposisi merupakan kontrol
pemerintah jika ada kebijakan pemerintah yang melenceng dari garis kepentingan
nasional (rakyat). Oposisi bukanlah mengkritik semua kebijakan pemerintah yang
ada. Opisisi harus berlandaskan spirit kebangsaan. Dari situlah tidak heran
jika Universitas Trisakti Jakarta pernah memberinya gelar Doktor Honoris causa
dalam bidang Kebangsaan dan Bernegara pada 10 Maret 2013.
Taufiq lahir di Jakarta, 31
Desember 1942. Ia juga bergelar Datuk Basa Batuah karena merupakan seorang
keturunan Palembang-Minangkabau. Ayahnya adalah seorang guru yang pergi
merantau ke Palembang. Sedangkan ibunya, Hamzathoen Roesyda, berasal dari
Kanagarian Sabu, Batipuah Ateh, Tanah Datar, Sumatera Barat. Taufiq pernah
menyelesaikan pendidikan sarjana muda di Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya
Palembang tahun 1966.
Ketika menjadi mahasiswa itulah,
pergolakan intelektualnya mulai tumbuh. Ia kemudian menjadi aktivis pergerakan
dan berinteraksi dengan berbagai tokoh nasional. Seperti hanya mendiang Gus
Dur, pola pikir Taufiq Kiemas sangat pelangi. Ia kemudian tumbuh menjadi
politikus yang pernah mengalami manis-getirnya penjara politik, ketertindasan
keluarga, dan pengerdilan peran parpol semasa Orde Baru. Ia tumbuh menjadi
politukus kawakan yang telah banyak makan "asam-garam". Ia melewati
bentangan kekuasaan, dari Soeharto hingga Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Laiknya politikus genuine, ia
memiliki manuver politik yang sulit ditebak. Sebagai contoh, di awal kepemimpinan
SBY misalnya, ia mencoba memimpin barisan oposisi pemerintah. Dalam buku Jurus
dan Manuver Politik Taufiq Kiemas (2009) disebutkan, Taufiq bahkan berani
menyamakan SBY sebagai jenderal yang berperilaku anak kecil. Ia tak jarang
menggaungkan gertakan. Namun belakangan, di kepemimpinan SBY jilid II, ia
justru merapat ke lingkaran kekuasaan dengan menjadi Ketua MPR RI periode
2009-2014. Itulah Taufiq, politikus kontroversial namun selalu dirindukan.
Kini tokoh bangsa yang blak-blakan
itu sudah meninggalkan kita untuk selamanya. Beliaun menminggalkan warisan,
yang harus diteruskan, yakni empat pilar kebangsaan. Selamat jalan Bung Taufiq! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar