|
SUARA KARYA, 10 Juni 2013
Doktor (HC) Haji Muhammad Taufiq
Kiemas, Ketua MPR RI periode 2009-2014, telah kembali ke rahmatullah pada hari
Sabtu, 8 Juni 2013. MPR sangat kehilangan tokoh besar yang humble (rendah hati)
dan eksklusif ini. Pertanyaannya, bagaimana MPR pascakepergian Pak Taufiq
Kiemas?
Saya akan menjawab pertanyaan ini
dengan memulainya dari hal berikut. Akibat pertama dan utama dari meninggalnya
Pak HM Taufiq Kiemas adalah MPR kehilangan seorang pemimpin senior dengan
ketokohannya yang besar dan sangat berpengaruh. Jujur, saya tidak bisa
membayangkan bagaimana MPR tanpa beliau. Pasalnya, MPR menjadi sangat berwibawa
seperti sekarang ini karena ditopang oleh ketokohan Pak Taufiq Kiemas.
Mungkin pernyataan itu terasa
berlebihan dan terlalu dramatis. Tetapi, orang harus ingat bahwa Majelis
Permusyawaratan Rakyat (MPR RI), menurut UUD 1945 pascaamandemen, berbeda sama
sekali dengan MPR sebelum amandemen konstitusi. Dalam kondisi seperti itu, Pak
Taufiq Kiemas mampu menghela MPR sebagai lembaga negara yang tetap prestisius dan
dihormati.
Ketokohannya yang menasional dan
senioritasnya yang lintas golongan/partai politik berhasil menjadikan MPR tetap
prestisius dan disegani. Saking senior dan berpengaruhnya di kalangan
penyelenggara negara lainnya, Pak Taufiq Kiemas sempat didaulat menjadi semacam
"ketua kelas" dalam forum Konsultasi Pimpinan Lembaga-Lembaga Tinggi
Negara yang diadakan secara periodik, empat kali setahun itu.
Sungguh, dalam hati kecil saya,
ada semacam kekhawatiran, atau bahkan ketakutan, MPR akan kehilangan pamornya
yang fenomenal setelah ditinggal Pak Taufiq Kiemas. MPR akan susah tanpa
kehadiran beliau. Dalam konteks dan perspektif ini, pengganti Pak Taufiq Kiemas
sebagai Ketua MPR sangatlah berat.
Dia dituntut menjadi seorang tokoh
yang memiliki modal sosial (social
capital) yang besar seperti Pak Taufiq Kiemas. Yakni, ketokohannya harus
diakui secara lintas golongan, kelompok, partai politik, agama, dan latar
belakang ideologi, serta disegani di antara pimpinan lembaga-lembaga tinggi
negara. MPR rasanya tidak mudah mendapatkan seorang figur ketua dengan bobot,
kualifikasi, dan reputasi ketokohan seperti beliau atau setidaknya
mendekatinya.
Meski kepemimpinan MPR bersifat
kolektif kolegial, tetap saja sang ketua akan menjadi simbol lembaga. Meski
fungsinya lebih banyak simbolik, keberadaan Ketua MPR tetap sangat penting
dalam perpolitikan nasional. Apalagi, Pak Taufiq selama ini telah memainkan
perannya secara sangat piawai sehingga sedikit banyak membuat perpolitikan
nasional Indonesia dalam tiga setengah tahun terakhir ini terasa lebih lentur
dan tidak terlalu gaduh. Pak Taufiq Kiemas menjadi semacam suspensi dalam
guncangan-guncangan politik akhir-akhir ini.
Nah, dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari setelah terjadi kekosongan jabatan, MPR harus sudah
memilih ketua baru. Sebagai lembaga tinggi negara yang sudah cukup tua, MPR
memiliki tata cara dan mekanisme pengisian kekosongan jabatan ketua. Ketentuan
itu sudah baku. Rasanya masih terlalu dini soal kepemimpinan MPR ini dibahas.
Jika saatnya nanti tiba, kita berharap semoga semuanya lancar dan baik-baik
saja. Amin. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar