Sabtu, 22 Juni 2013

Tantangan Presiden Iran

Tantangan Presiden Iran
Hasibullah Satrawi ;   Pengamat Politik
KOMPAS, 21 Juni 2013


“Ini adalah kemenangan kecerdasan dan moderasi atas konservatisisme.?” Demikian pernyataan Hassan Rohani setelah dinyatakan memenangi Pemilu Presiden Iran pada 14 Juni.
Hassan Rohani adalah satu-satunya capres dari kelompok reformis. Kemenangannya mendapat tanggapan baik dari sejumlah negara, terutama Barat, yang kerap bersitegang dengan Iran.

Berdasarkan hasil penghitungan suara, Hassan Rohani mendapatkan 18,6 juta suara, atau lebih dari 50 persen. Dengan demikian, Rohani dipastikan menang dalam satu putaran dan menjadi Presiden ke-11 Iran.
Kemenangan Rohani dalam pemilu kali ini tidak terlepas dari kekompakan kelompok reformis yang berhasil mendukung Hassan Rohani sebagai calon tunggal. Bahkan, tokoh-tokoh senior kelompok reformis, seperti Mohammad Khatami dan Akbar Hashemi Rafsanjani (keduanya mantan Presiden Iran), kerap turun gunung berkampanye untuk kemenangan Hassan Rohani.

Suara kelompok konservatif justru terpecah pada lima capres lain. Apalagi, pemimpin tertinggi spiritual Iran, Ayatollah Khamenei, selama ini bersikap netral terhadap para capres.

Ada tiga tantangan utama bagi presiden Iran terpilih. Pertama, revolusi Suriah yang belakangan mengental menjadi konflik sektarian kelompok Syiah versus kelompok Sunni.

Dampak Suriah

Semenjak revolusi menerjang Suriah dua tahun lalu, Iran di bawah kepemimpinan kelompok konservatif berusaha mempertahankan rezim Bashar al-Assad. Para ahli militer Iran disebut-sebut membantu pasukan Bashar al-Assad menghadapi serangan dari kelompok revolusi.

Iran menjadi koordinator segenap kekuatan di belakang Bashar al-Assad. Iran juga berperan menjaga soliditas negara-negara besar (seperti Rusia dan China) mendukung rezim Al-Assad, khususnya di sidang PBB. Ke bawah, Iran mengorganisasi kekuatan- kekuatan yang dapat membantu rezim Al-Assad di lapangan tempur, seperti Hizbullah di Lebanon ataupun milisi Syiah dari Irak dan negara Arab lain.

Perang di wilayah Qusair mutakhir menjadi contoh ”karya Iran” yang totaliter membantu Al-Assad. Sejumlah kekuatan milisi Syiah di kawasan (khususnya Hizbullah) secara terang-terangan terlibat langsung dalam pertempuran yang dimenangkan rezim Bashar al-Assad.

Kedua, kecenderungan konflik sektarian kelompok Syiah dan kelompok Sunni yang makin meluas di Timur Tengah. Campur tangan dalam krisis politik di Suriah harus dibayar dengan harga sangat mahal oleh Iran. Di satu sisi, Iran semakin tajam terlibat konflik dengan negara-negara Arab Teluk yang mendukung kelompok revolusi Suriah (seperti Arab Saudi, Qatar, dan Bahrain). Di sisi lain, campur tangan Iran dan sejumlah milisi Syiah dalam konflik di Suriah berpotensi membuka luka lama antara sekte Syiah dan Ahlussunnah.

Beberapa waktu terakhir, Hizbullah menjadi sasaran kritik dari banyak pihak di Timteng. Khususnya setelah milisi bersenjata di Lebanon itu terlibat langsung dalam peperangan di Qusair, sebagaimana telah disampaikan di atas. Tak terkecuali kritikan dari kalangan masyarakat Lebanon yang sampai pada tahap benturan fisik dan korban jiwa akibat bentrokan dengan para pendukung Hizbullah.

Bahkan, lembaga besar dan ternama seperti Al-Azhar yang selama ini bersikap netral turut mengkritik yang dilakukan Hizbullah dan Iran di Suriah. Ini karena sikap keduanya bisa membuka luka lama di antara dua sekte terbesar dalam Islam yang bisa memperluas konflik sektarian (Ash-Sharq Al-Awsat, 14/6).

Secara politik, ini merupakan kerugian besar bagi Iran dan Hizbullah. Semangat sektarian akan membuat dua kekuatan di atas tak ubahnya terjun bebas menuju lembah cercaan dan kritikan. Padahal, Iran merupakan salah satu kekuatan utama di kawasan yang menjadi motor utama bagi gerakan perlawanan (ad-duwal al-mumanaah) terhadap Israel.

Jadi musuh bersama

Kini peta berbalik. Iran dan Hizbullah, yang sebelumnya dianggap sebagai pahlawan, diposisikan tak ubahnya pecundang. Bahkan, Suriah yang tak lain adalah kekuatan nomor dua setelah Iran di barisan perlawanan kini menjadi musuh bersama kelompok-kelompok ekstrem.

Ketiga, selama dua periode pemerintahan terakhir, Iran cenderung mengembangkan hubungan yang bersifat konflik dengan Barat, terutama terkait isu nuklir. Akibatnya, Iran mendapatkan pelbagai macam sanksi.

Kelompok reformis memberikan harapan baru bagi tata politik luar negeri Iran yang lebih bersahabat dengan pendekatan dialog. Bahkan, dalam konteks krisis Suriah, kelompok reformis berjanji tidak akan menjadikan Bashar al-Assad sebagai ”syarat mutlak”. Oleh karena itu, kemenangan Hassan Rohani dalam pemilu Iran kali ini bisa dipahami sebagai kehendak bulat dari rakyat Iran untuk memoderasi kebijakan politik luar negerinya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar