|
KOMPAS,
21 Juni 2013
Ini
peristiwa ekonomi rutin. Saban harga minyak dunia naik atau konsumsi bahan
bakar minyak dalam negeri meningkat, muncullah wacana tentang perlunya
pemerintah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Koran-koran
pun mewartakan wacana itu. Untuk urusan baha- sa, nomina abstrak kenaikan dan
penaikan (dalam kancah harga BBM) menjadi kata kunci yang membingungkan
beberapa orang. Soalnya, ada satu koran harian terbitan Jakarta yang taat asas
mengganti kenaikan dengan penaikan tanpa mempertimbangkan konteks makna kalimat
yang hendak dimaksud.
Dua
nomina yang dibentuk dari kata dasar yang sama itu mewakili entitas makna yang
berbeda sama sekali. Yang pertama berarti ’perihal naik’. Yang terakhir:
’perbuatan menaikkan’. Mari kita periksa kapan koran tersebut secara tepat
menggunakan penaikan dan kapan keliru memakai kata benda tanwujud itu.
Dalam
ruang editorialnya terbitan 8 Juni 2013, koran tersebut menulis sebaris kalimat
ini: ”Pembangkangan teranyar dipamer- kan PKS dengan menolak penaikan harga BBM
bersubsidi yang bakal diberlakukan bulan ini.” Pilihan atas penaikan alih-alih
ke- naikan amat jitu sebab yang ditolak Partai Keadilan Sejahtera adalah
tindakan pemerintah menaikkan harga BBM.
Namun,
dua hari sebelumnya, penulis di rubrik yang mewakili opini redaksi itu
melenceng dari makna yang dikehendakinya ketika menulis kata-kata dalam kalimat
berikut: ”Rapat partai-partai koalisi itu membahas pemberian kompensasi atas
penaikan harga BBM bersubsidi.” Jadi, kompensasi itu diberikan atas tindakan
menaikkan harga BBM bersubsidi. Siapa yang menaikkan? Tentunya presiden dan
DPR. Makna frasa ”pemberian kompensasi atas penaikan harga” setara dengan
”pemberian hukuman seberat-beratnya atas perusakan hutan lindung”. Pastilah
hukuman seberat-beratnya itu diberikan atas tindakan merusak hutan lindung.
Kompensasi,
yang diwujudkan dalam bentuk uang tunai, dibe- rikan kepada warga negara
miskin, bukan yang mewakili mereka di parlemen atau yang memimpin mereka di
Istana. Untuk itu, kalimat yang pas ya: ”Rapat partai-partai koalisi itu
membahas pemberian kompensasi atas kenaikan harga BBM bersubsidi”. Preferensi
makna yang dirujuk kalimat ini tidak pada elemen siapa yang diberi kompensasi,
tetapi mengapa kompensasi itu diberikan. Artinya, kompensasi itu diberikan
karena harga BBM yang semakin mahal alias kenaikan harga BBM.
Jadi,
penggunaan kenaikan dan penaikan tak bisa dipertukarkan sembarangan. Karena
bahasa kadang-kadang bisa bermakna politis, pemilihan kenaikan atau penaikan
bisa memperlihatkan posisi politis sang penulis. Mereka yang pendukung
kemapanan politik pasti lebih menyukai perkataan: ”Dampak kenaikan harga BBM
semakin menyengsarakan orang miskin.” Yang menentang status quo cenderung memilih: ”Dampak penaikan harga BBM semakin
menyengsarakan orang miskin.”
Kalimat
pertama bermakna ’yang menyengsarakan si miskin adalah realitas harga BBM yang
naik’. Kalimat kedua berarti ’yang menaikkan harga BBM itulah biang
kesengsaraan si miskin’.
Untuk
menguji manakah di antara dua ekspresi linguistik yang bermuatan politik itu
yang lebih tepat, kiranya ekonom semacam Faisal Basri dapat memberikan jawab
yang sangat memuaskan. Saya hanya bisa menduga: Faisal yang bukan pendukung
kemapanan itu sangat mungkin menilai pernyataan kedua lebih tepat. Namun, dia
akan menyuntingnya menjadi: ”Dampak kenaikan harga BBM akan mengurangi
kenyamanan orang kaya penikmat bagian terbesar subsidi BBM.” ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar