|
KOMPAS,
21 Juni 2013
Minimal
melalui film Sang Kyai, kita diingatkan betapa besar kontribusi pesantren
(kiai) yang sering disebut sebagai kaum sarungan dalam pergulatan merumuskan
”Indonesia”.
Bagaimana
para kiai menjadi entitas penting bersama kaum nasionalis mempercepat takdir
Indonesia menuju pintu gerbang kemerdekaan, baik melalui perjuangan fisik
maupun lewat jalur melingkar diplomasi. ”Atas berkat rahmat Allah,” inilah
penggalan teks pembukaan UUD 1945 yang dengan jujur meneguhkan bahwa
kemerdekaan itu bukan sekadar perjuangan fisik, militansi, dan gelora kaum
pejuang, melainkan juga terlibat di dalamnya dua diksi metafisik yang sangat
akrab dengan dunia pesantren ”barakah” dan ”rahmat Allah”. Berkah atau barakah
dan rahmat Tuhan yang boleh jadi hari ini, ketika kemerdekaan menginjak usia 67
tahun, semakin menjauh.
Kehilangan
roh
Korupsi
yang menggurita dan kekerasan yang terus mengepung menjadi alamat utama ihwal
negara yang telah lumpuh kehilangan roh kemerdekaannya. Salah urus. Berkah itu
telah menguap karena kita terlampau banyak melakukan tindakan politik bernegara
yang ”bidah” sebidah-bidahnya. Diperankan Ikranegara dengan apik, Hadaratusy
Syekh yang berarti mahaguru (KH Hasyim Asy'ari, pendiri ormas NU) dengan visi
jelas menautkan antara tenda nasionalisme dan payung agama (Islam) dalam sebuah
langgam yang harmonis-dialektis. Tentu sebelum sampai pada kesimpulan
mengawinkan agama dan nasionalisme, Sang Kiai melakukan ijtihad yang koheren.
Kiai
Hasyim tak hanya membacanya lewat optik fikih (istinbath al-hukmi), tapi juga secara komprehensif dengan melihat
latar fikih kebangsaan dan semangat untuk lebih mengedepankan kebersamaan yang
jadi fakta ”keindonesiaan” seperti sebelumnya telah diikrarkan secara puitis
oleh Mohammad Yamin dan kawan-kawan melalui Sumpah Pemuda atau jauh ke belakang
secara mistis ditating Gadjah Mada dalam hikayat Sumpah Palapa.
Dengan
sangat visioner, dalam suasana kontestasi ideologi yang kental (nasionalis,
komunis, Islam) ditambah sekapan kolonial Jepang dan Belanda yang ingin
mencengkeramkan kembali hasrat penjajahannya, justru Sang Kiai mampu berkelit
menawarkan sebuah jalan tengah elegan. Di satu sisi, kaum kolonial dilawan yang
berpuncak pada heroisme ”resolusi jihad”, di sisi lain Sang Kiai menyodorkan
politik moderat dalam konteks keindonesiaan yang masih mencari bentuk.
Bacaannya
terhadap literasi tradisionalisme yang tuntas, yang biasa disebut kitab kuning,
tidak kemudian menjebaknya dalam fantasi politik keagamaan ahistoris dan utopis
semacam pan islamisme yang ditawarkan Jamaluddin al-Afgani, Darul Islam yang
diusung Kartosuwiryo, atau sistem khilafahnya yang digembar-gemborkan hari ini
oleh Hijbut Tahrir, tapi justru melakukan ”formula politik baru” yang
dijangkarkan pada haluan kultural dan akar spirit keagamaan inklusif.
Walaupun
lama belajar di Mekkah (1893-1899) yang notabene merupakan sarang gerakan Islam
puritan wahabisme, Sang Kiai tetap berpikir ”mandiri” dan mengembangkan sayap
Islam ”khas Nusantara”, Islam yang mampu beradaptasi dengan dinamika budaya
lokal. Khas ulama yang ”dilahirkan” dari tangan dingin Nawawi al-Bantani
(1813-1897) dan Mahfudz Termas (1868-1919) sebagai elite ulama Jawi yang
membangun jaringan intelektualisme di Mekkah yang kemudian menumbuhkan
murid-murid cerdas lainnya, selain Sang Kiai.
Sebut
saja Syekh Khalil Bangkalan (wafat 1923), Wahab Hasbullah (1888-1971), Bakri
bin Nur (1887-1943), Asnawi Kudus (1861-1959) dan Haji Hasan Mustapa
(1852-1940) dari tanah Pasundan yang mengembangkan ”Islam Sunda” lewat ribuan
cemerlang dangding mistiknya. Di
tangan Sang Kiai, lokalitas tidak kemudian dianggap liyan, tetapi jadi mitra dialog sehingga terjadi sebuah upaya
pergulatan kreatif saling memperkaya peradaban satu dengan lain. Sebagaimana
gelombang hellenisme ketika Islam berdialog dengan kebudayaan Yunani abad
pertengahan.
Dalam
konteks ini, gagasan Abdurrahman Wahid tentang pribumisasi Islam sesungguhnya
merupakan mata rantai dari Islam kultural yang digagas Sang Kiai (kakeknya) dan
para ulama pendahulunya. Islam dengan wajah pribumi lengkap dengan budayanya
dianggap penting agar umat tak kehilangan landasan kulturalnya. Islam yang
tumbuh dengan keragaman budaya tidak monolitik. Sebagaimana dikatakan
Kuntowijoyo, agama perlu budaya seperti budaya membutuhkan agama. Agama tanpa
budaya akan kering dan hanya sekadar semangat teriakan ”Allahu Akbar”,
sebagaimana kebudayaan tanpa topangan agama tak akan memiliki visi yang jelas.
Dialektika
antara budaya lokal dan ”api Islam” ini yang kemudian membuat Sang Kiai dan
para santrinya tak asing ketika menemukan ”Indonesia Baru” bersama Soekarno,
Hatta, Bung Tomo, dan Sjahrir. Bukan hanya tak asing di rumah sendiri yang
telah mereka bangun dengan darah dan air mata, melainkan juga dengan sikap
terbuka mampu menangkap tanda-tanda zaman. Sang Kiai (dan kiai-kiai lain)
biarpun tak berada di episentrum kekuasaan, dengan modal teososial dan kultural
cermat menerakan elan vital ke mana sesungguhnya ”bangsa” ini harus diarahkan.
Sekali ijtihadnya keliru, bukan hanya Sang Kiai dan para santri dipertaruhkan,
melainkan juga bangsa dan agama yang jadi meja pertaruhannya.
Keteladanan
Sang
Kiai berpolitik dengan nalar sehat yang ditopang moralitas kokoh. Keteladanan
menjadi kunci utama melakukan ”dakwah”. Beliau tak menyerukan keharusan hidup
sederhana, tapi memberikan contoh nyata dalam pergulatan sejarah kesehariannya
ihwal sikap asketik yang menjadi pilihan hidupnya sebagaimana terbaca dalam
salah satu karyanya, ar-Risalah fi
at-Tasawuf.
Perbedaan
dan keragaman disikapi bukan sebagai ”ancaman”, melainkan modal sosial untuk
membangun persaudaraan yang autentik seperti dapat disimak dalam karyanya yang
lain, at-Tibyan fi an-Nahyi an-Muqathaat
al-Arham wa al-Aqarib wa al-Ikhwan. Tak terbayangkan absurdnya perjuangan
Sang Kiai seandainya polahnya berbanding terbalik dengan ”pidatonya”. Tak
tebersit sedikit pun gambaran Hadaratusy Syekh (dan KH Ahmad Dahlan) sebagai
pemimpin umat melakukan penghinaan terhadap politik profetiknya dengan cara
melakukan permainan impor daging sapi, mengawini para perempuan wangi, apalagi
korupsi kitab suci. Sebagaimana dilakukan akhir-akhir ini dengan menjijikkan
oleh insan politik, baik yang berlatar agama maupun sekuler dan nasionalis, di
awal abad ke-21. Di hadapan Sang Kiai kita becermin tentang satunya kata dengan
perbuatan, ihwal agama dan bangsa yang tak boleh kehilangan khitahnya: sebagai
media penghayatan dan medan praksis sosial politik agar kehidupan tak kemudian
kehilangan adab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar