|
KOMPAS,
19 Juni 2013
Hanya
dua tahun berkuasa (1999-2001), Presiden Abdurrahman Wahid melakukan 10
perubahan. Sebaliknya, hampir 10 tahun memimpin (2004-2014), Presiden SBY baru
menggulirkan dua perubahan.
Abdurrahman
Wahid—akrab dipanggil Gus Dur—tak menjanjikan perubahan, tetapi tergelincir
perubahan-perubahan besar yang ia gerakkan. Sebaliknya, SBY menjanjikan
perubahan, tetapi lebih banyak menghindari konflik sehingga perubahan butuh
waktu lebih lama.
Setiap
pemimpin punya janji dan cara berbeda untuk memenuhi janjinya dan punya cara
yang khas. Namun, pemimpin yang hebat tidak sekadar melakukan perubahan, tetapi
juga mengelolanya dengan manajemen perubahan.
Apa
yang saya maksudkan adalah perubahan mendasar, yang mengubah cara dan
kebiasaan.
Gus
Dur membubarkan dua kementerian (Departemen Penerangan dan Departemen Sosial),
menghapus larangan menjalankan tradisi budaya Tiongkok, dan mengganti nama
Irian dengan Papua. Ia membangun Kementerian HAM, reformasi TNI, menggilir
jabatan panglima TNI, dan menjadikan Imlek sebagai hari libur resmi. Ia juga
mengusulkan hubungan diplomatik dengan Israel dan menghapus Tap MPRS No
XXIX/MPRS/1966 yang melarang segala bentuk ajaran Marxisme-Leninisme.
Seperti
layaknya sebuah perubahan, era itu ditandai dengan lebih dari 1.000 kegaduhan,
perlawanan, bahkan pemberontakan dan kematian. Ada panglima yang mati mendadak,
ada keributan besar di Maluku, pengunduran diri dan pemecatan menteri secara
mendadak, harga- harga berguncang, dan seterusnya. Namun, seperti kata ilmuwan
Kurt Lewin, perubahan besar memerlukan tahap pencairan karena ”orang-orang yang
berpikiran lama” ingin mempertahankan kekuasaan, wewenang, dan rasa nyamannya.
Pada
tahap ini terjadi pembusukan, pelepasan ikatan-ikatan, tetapi yang dilepaskan
tak membiarkan hal itu terjadi sehingga muncul ledakan-ledakan. Namun, terlepas
dari segala ketakteraturannya, Gus Dur adalah sosok perubahan yang berani.
Tanpa keberanian itu sulit dibangun sesuatu yang baru.
Adapun
perubahan besar di era SBY terjadi pada lima tahun pertama kabinetnya:
perdamaian Aceh (2005) dan konversi minyak tanah ke LPG (2009). Tak ada yang
menyangkal kedua perubahan itu berdampak sangat besar dan tak lepas dari peran
pendamping presiden, Jusuf Kalla, yang gigih memanajemeni dan memimpin
perubahan secara konsisten.
Setelah
itu sebenarnya ada banyak ide perubahan yang digulirkan, tetapi tak sedikit yang
kandas di tengah jalan. Pengurangan subsidi BBM, misalnya, hampir selalu kandas
di tengah jalan. Berbagai frustrasi dirasakan publik seputar impor pangan yang
berlebihan, hilangnya produk- produk pangan berulang-ulang, ancaman korupsi,
konflik horizontal, dan pembiaran terhadap ancaman kebebasan beragama. Namun,
SBY juga dapat pujian dan pengakuan internasional.
Mengalah
dan kompromi
Sebenarnya
Presiden SBY masih bisa menambah daftar perubahan penting di sisa satu tahun
kabinetnya, yaitu mempercepat proses reformasi birokrasi, menggencarkan
pemberantasan korupsi, memperbaiki industri pertanian, dan penerapan kurikulum
pendidikan yang lebih berkualitas. Keempat bidang itu menyangkut kepentingan
bangsa yang luas dan terkait dengan bidang-bidang lainnya.
Tak
dapat dipungkiri perubahan selalu menimbulkan kegaduhan dan kritik. Manusia
ingin berubah, tetapi tidak mau diubah. Ada yang bisa ”melihat”, ada yang ”tak
mau” melihatnya. Ada yang mengkritik untuk memperbaiki, tapi banyak yang
langsung menolak dan menyatakan tak bernalar, pasti gagal, dan seterusnya.
Kritik
tak saja menimbulkan disharmoni, konflik, dan emosi, tapi juga ide-ide baru.
Ada yang menyatakan ”ini sulit tapi bisa”, ada yang menyatakan presiden lelet,
tetapi begitu direspons cepat dikatakan ”tergesa-gesa”. Saat berada dalam
pusaran perubahan, manusia lebih merasa heroik jadi penentang ketimbang kawan.
Berkata ”no” kepada penguasa jauh lebih terhormat daripada berkata ”yes”.
Apalagi bila pemerintah kehilangan kredibilitas karena perbuatan negatif kelompok
internalnya.
Menjadi
pertanyaan, mengapa lima tahun pertama kabinet SBY berhasil melakukan
perubahan- perubahan besar? Bahkan, 56 juta rumah tangga bisa diubah kebiasaan
memasaknya hanya dalam tiga tahun? Jawabnya adalah karena ada kepemimpinan Jusuf
Kalla yang meneguhkan, membuat pemerintahan jadi kuat.
Dalam
buku Memimpin di Era Perubahan, H Pandjaitan mengutip SBY yang banyak mengalah,
berkompromi, dan lebih memilih konsensus: ”Saya
tidak ingin makin menjadi-jadi konflik dan benturan politik itu yang akhirnya
membawa negara kita persis seperti 10, 11, 12, 13 tahun yang lalu...”
Catatan saya, ketika kelompok penentang perubahan membaca kalimat ini, mereka
pun berkata, ”Kita tekan terus sampai ia
berkompromi dan perubahan gagal dijalankan.”
Bila
itu terjadi, kita hanya menjadi bangsa yang complancent
dan tidak maju. Sebab, perubahan memang belum tentu menjadikan sesuatu lebih
baik. Akan tetapi, tanpa perubahan, tak akan ada pembaruan, tak akan ada
kemajuan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar