|
KOMPAS,
19 Juni 2013
Perdebatan
alot di parlemen akhirnya usai sudah. Kenaikan harga BBM, mau tidak mau, harus
diterima sebagai keputusan politik. Kontroversi memang masih beredar di udara
politik Republik ini. Namun, apa pun, keputusan sudah dijatuhkan. Suka-tidak
suka, pemerintah akan segera menaikkan harga BBM.
Di
balik sengkarut yang bertele-tele soal kesehatan, efisiensi, dan postur APBN,
terselip sebuah pertanyaan penting. Apakah politik sungguh-sungguh hadir saat
rapat paripurna di parlemen beberapa waktu lalu? Sungguhkah ada keputusan
politik yang dijatuhkan? Atau, rapat tersebut justru membuktikan betapa politik
sudah disandera sedemikian rupa oleh ekonomi.
Manajerialisasi
politik
Ekonomi
sejatinya bukan penghuni ruang publik. Dia adalah oikos (rumah tangga) dan
nomos (hukum). Ekonomi tak lain adalah aturan main dalam mengelola rumah tangga.
Dia sepenuhnya domestik. Politik jauh lebih mulia karena bertempat di ruang
publik yang heterogen, ganjil, dan tak terduga. Politik adalah seni hidup
bersama di ruang publik, lengkap dengan segala kompleksitasnya. Keputusan
politik pun jauh lebih rumit dan sublim ketimbang ekonomi. Keputusan politik
tidak semata soal alokasi belanja rumah tangga.
Keputusan politik merupakan
artikulasi keadilan dalam situasi yang dilematis, jamak, dan tak tuntas.
Apa
boleh dikata, modernitas membuat ekonomi menerobos masuk ke domain politik.
Sebab, akal modernitas bukan akal sehat, melainkan akal alat. Itu berbicara
melulu soal efisiensi dalam menggapai tujuan. Sementara, tujuan sendiri tidak
pernah diuji di ruang publik. Percakapan publik semata mempersoalkan efisiensi
sarana untuk sebuah tujuan yang didefinisikan secara soliter.
Debat
soal APBN, misalnya. APBN sejatinya adalah sarana untuk menyejahterakan rakyat
berbasis keadilan sosial. Namun, perdebatan tidak pernah menyentuh soal
kesejahteraan, apalagi keadilan. Perdebatan berfokus melulu pada postur
anggaran, besaran subsidi, beban subsidi, kesehatan anggaran, dan Bantuan
Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Semuanya perdebatan tentang alat dan
siasat belaka.
Alhasil,
politik pun menjadi sangat manajerial. Manajerialisasi politik adalah fenomena
modernitas yang lazim (kalau tidak bisa dibilang) banal. Kita tidak pernah lagi
mendengar pidato politik. Setiap pidato kenegaraan adalah pidato ekonomi yang
disepuh politik di sana-sini. Pidato seolah-olah politik.
Politik
sudah direduksi sedemikian rupa menjadi perkara efisiensi. Perdebatan tentang
BBM pun dipaksa berposisi hanya pada dua sudut: proefisiensi atau
anti-efisiensi. Tidak lebih. Artikulasi keadilan nyaris tidak terdengar.
Kalaupun terdengar, maka artikulasi keadilan hanya kosmetika untuk menutupi
wajah yang sepenuhnya ekonomi. Di tangan ekonomi, politik pun menjadi
sepenuhnya manajerial.
Manajerialisasi
politik membuat keputusan-keputusan politik dikendalikan sepenuhnya oleh
ekonomi. Ini sungguh menyalahi prinsip ekonomi positif yang meletakkan ekonomi
sebagai penopang keputusan politik, bukan sebaliknya.
Ekonomi
semata-mata bertugas memberikan rekomendasi teknis untuk sebuah tujuan politik
tertentu. Artinya, ekonomi tidak sepatutnya masuk ke dalam perdebatan soal nilai,
ideologi, atau arah etis kebijakan. Kenyataannya, ekonomi bukan sekadar
mengambil alih lahan politik, bahkan menentukan bulat lonjong lahan tersebut.
Politik pun dibuat gigit jari di kampungnya sendiri.
Keputusan
tanpa keputusan
Tidak
ada keputusan politik apa pun di rapat paripurna tentang APBN-P kemarin. Rapat
itu menunjukkan betapa politisi kita bercakap dengan kosakata yang sama,
kosakata ekonomi. Ekonomi adalah soal aturan (nomos) yang bergeming. Aturan mati ekonomi berbunyi: ”Jika subsidi BBM tidak dikurangi, maka APBN
jebol.” Maka, mereka yang menolak pengurangan subsidi BBM berarti setuju
APBN jebol.
Padahal,
terlepas dari subsidi yang sebagian besar dinikmati orang kaya, kita masih bisa
berdebat, apakah APBN jebol oleh subsidi atau oleh korupsi. Kita juga bisa
berdebat, apakah layak negara sekaya Indonesia APBN-nya hanya Rp 1.600 triliun?
Kita sibuk mempersoalkan pengeluaran, tetapi malas mendongkrak pemasukan.
Namun,
apa mau dikata, aturan emas ekonomi mendominasi jalan pikiran politisi Senayan.
Koalisi (yang mulai retak) pun satu suara soal aturan emas tersebut. Subsidi
BBM wajib dikurangi untuk menyelamatkan APBN. Pertanyaannya, apakah
menyelamatkan APBN sekonyong- konyong menyelamatkan rakyat? Siapa yang
diselamatkan, APBN atau rakyat? Kita bisa berkeras bahwa APBN yang sehat akan
menyejahterakan rakyat.
Masalahnya,
ke mana uang hasil desubsidisasi yang pernah dilakukan selama ini? Apakah uang
tersebut sungguh dipakai untuk perbaikan kesejahteraan rakyat? Atau itu
sepenuhnya dipakai untuk kebijakan populis yang berdampak politik jangka
pendek.
Ekonomi
adalah belukar aturan yang keras dan dingin. Di sisi lain, politik adalah soal
kebisajadian yang plastis. Keduanya ganjil jika dipertemukan. Politik adalah
perkara keputusan sementara ekonomi, keniscayaan. Saya menyebutkan keputusan
ekonomi sebagai keputusan-tanpa-keputusan. Sebab, ekonomi pada akhirnya selalu
menyerahkan nasib pada aturan yang kaku. Tidak ada ruang sejengkal pun bagi
keputusan manusiawi dengan segenap keganjilannya. Semuanya sudah dipastikan
sejak awal.
Tersanderanya
politik oleh ekonomi membuktikan bagaimana keputusan sudah diperkosa oleh
keniscayaan. Pemimpin politik sebenarnya diharamkan untuk ragu. Buat apa ragu
jika semuanya sudah diatur sedemikian rupa oleh ekonomi.
Keraguan
merupakan sinyal adanya pertimbangan politik yang berkutat dengan variabel
majemuk. Lebih gawat lagi jika keraguan itu didorong oleh pertimbangan imaji
publik belaka. Apakah keputusan yang bersangkutan akan berpengaruh terhadap
persepsi publik terhadapnya? Bukan keraguan politik yang didorong oleh sesuatu
yang jauh lebih mulia, yakni hajat dan martabat orang banyak.
Di
rapat paripurna, ekonomi garis keras dan politik setengah hati bertemu.
Efisiensi APBN berbuah pada gula-gula politik bernama BLSM, dana Lapindo, dan
lain sebagainya. Kesehatan APBN bisa jadi berujung pada kesehatan partai. Tahun
politik membuat setiap kebijakan disusupi dengan kepentingan jangka pendek.
Semakin besar kompensasi akibat desubsidisasi, semakin besar peluang politik di
2014.
Sekali
lagi, tidak ada keputusan politik apa pun di parlemen soal subsidi BBM.
Parlemen sekadar membonceng keniscayaan ekonomi demi kepentingan elektoral
belaka. Politik sungguh dibuat tak berdaya oleh ekonomi. Tidak saja dia dipaksa
memakai baju pinjaman, tetapi politik pun diubah total wataknya dari hajat dan
martabat orang banyak kepada syahwat kekuasaan belaka. Politik ditekuk
sedemikian rupa menjadi seni memutuskan tanpa keputusan. Sungguh celaka! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar