Kamis, 20 Juni 2013

Jejak Perdamaian di Timur Tengah

Jejak Perdamaian di Timur Tengah
Dinna Wisnu ;   Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi,
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 19 Juni 2013


Apa makna ”perdamaian” di Timur Tengah? Pertanyaan itu muncul tiap kali saya mulai mengarahkan perhatian pada kawasan ini. 

Jangan-jangan kita menggunakan kata yang sama, ”damai”, tapi esensinya berbeda sehingga sesungguhnya jalan pikiran kita terkait solusi berbeda. Ketika Irak di bawah kepemimpinan Presiden Saddam Hussein memutuskan untuk melakukan invasi ke Iran pada September 1980, Irak menjadikan momen itu sebagai masa perang yang panjang hingga delapan tahun. Tujuanutamanya adalahmeraihdominasi kekuasaan dan pengaruh di kawasan. 

Dengan cara itu, Irak ingin menyudahi rangkaian rasa resah dan kekhawatiran yang mereka alami karena Revolusi Iran 1979 dianggap akan menghidupkan gerakan antipemerintah dari kelompok Islam Syiah di Irak. Penyerangan itu dianggap dapat menonjolkan kemampuan Irak dalam mempertahankan kedaulatannya atas wilayah perbatasan air antara kedua negara. Karena waktu itu Irak-lah yang lebih menguasai jalur perairan Shat Al- Arab yang berasal dari Sungai Efrat dan Tigris, dan itulah satu-satunya akses perairan untuk masuk Irak. 

Penyerbuan itu juga dinilai bertujuan untuk mempertahankan kedaulatan Irak atas wilayah Khuzestan di mana kaum pemberontak Kurdish hidup dan dipersenjatai oleh Iran, padahal wilayah tersebut sangat kaya minyak bumi. Irak dan Iran memang musuh bebuyutan. Mereka sulit didamaikan karena visi politik dalam negeri dan luar negerinya adalah untuk saling menjatuhkan. Perdamaian antara mereka seakan hanya bisa dijaga ketika ada keseimbangan kekuatan antara kelompok Islam Syiah dan Sunni. 

Masalah keyakinan tak dapat dilepaskan di sini karena ini menyangkut pertentangan antaretnis, antaraagama yang dibawa oleh kaum Arab dan kaum Persia. Pilihan keyakinan, identitas, dan pilihan politik melebur menjadi satu identitas dan memperdalam keruhnya upaya perdamaian di Timur Tengah. Di sisi lain, ada Israel yang memantau ketegangan antar etnis dan agama tadi dengan cermat. Dalam banyak kesempatan, para pemimpin Israel mengaku terpaku pada upaya mengendalikan Iran karena Iran-lah musuh besar Israel di Timur Tengah. 

Gerakan apa pun di Timur Tengah yang mengisyaratkan simpati pada Iran akan diwaspadai. Keprihatinan besar mereka pascapecahnya Revolusi Arab 2008 yang menyebar ke seantero Timur Tengah adalah bahwa akan berkembang pula kelompok-kelompok militan yang simpati atau sealiran dengan Iran. Tokoh Israel yang baru saja diangkat oleh Perdana Menteri Netanyahu sebagai kepala delegasi perdamaian Israel-Palestina, yakni Tzipi Livni. 

Dia adalah seorang wanita, menteri kehakiman dan mantan menteri luar negeri serta ketua Partai Kadima, partai terbesar di parlemen Israel yang gagal membentuk koalisi untuk mencegah Netanyahu terpilih sebagai perdana menteri. Livni menyatakan perdamaian di Timur Tengah hanya bisa dimulai jika pemilu tidak melibatkan kelompok- kelompok radikal (menurut definisi Israel) dan punya niat untuk menyukseskan demokrasi. 

Ia menyatakan hal itu karena kekhawatiran bahwa pemilu di Mesir, Palestina, atau yang sedang didorong-dorong untuk terlaksana juga di Suriah (melalui pertemuan Geneva) justru berakhir dengan terpilihnya kelompok-kelompok anti- Israel yang tidak segan-segan menembakkan misil dan roket ke wilayah mereka. Artinya, ada komponen ”gaya berpolitik” yang sedang ditimbang-timbang di Timur Tengah. Israel menangkap esensi tersebut dan waspada pada konsekuensi terburuk dari praktik demokrasi yang menurut batasan mereka setengah hati. 

Dalam sejarah negara-negara Arab, memang wajar jika muncul rasa kekhawatiran tersebut karena kawasan ini selalu dipusingkan dengan upaya saling memengaruhi dan mendominasi. Selama berabad-abad, upaya pertarungan pengaruh dan dominasi dijalankan lewat upaya saling ”mengislamkan”. Gerakan Wahabi yang dominan di Arab Saudi, misalnya, berawal dari dialog-dialog damai untuk menggalang dukungan atas ide ”pemurnian” Islam dengan mengajak kelompok Islam lain untuk kembali pada ajaran dasar Alquran. 

Ketika gerakan itu memilih bersikap keras, kelompok lain menjadi merasa terancam dan mulai menggalang dukungan perlawanan. Di kawasan ini, demokrasi baru dipandang sebagai dasar legitimasi bagi kelompok-kelompok yang pandai berkampanye dan merebut hati rakyat. Demokrasi memang belum cukup kuat di kebanyakan negaranegara Timur Tengah karena pilar-pilar demokrasinya masih berproses. Misalnya terkait kebebasan pers, kebebasan berkumpul dan membentuk kelompok-kelompok masyarakat sipil, serta penghormatan pada hak asasi manusia, termasuk hak individu untuk hidup sesuai keyakinan masing-masing asalkan tidak mengancam nyawa individu yang hidup dengan keyakinan lain. 

Dari sisi Palestina, perdamaian hanya punya satu esensi yakni agar mereka merdeka, bebas menentukan nasibnya di tanah yang disepakati untuk dibagi antara Israel-Palestina pada 1967. Antikolonialisme adalah dasar perjuangan mereka. Di sisi lain, faksi-faksi politik yang tumbuh di dalam Palestina merasa lebih percaya diri bila punya asosiasi kuat dengan faksi-faksi politik sejenis di negara-negara lain yang juga membantu mereka memberikan bantuan keuangan kepada faksi politik tertentu di dalam negeri agar tetap hidup. 

Sisi tersebut yang menjadi sasaran tembak lawan-lawan politik mereka dengan menuduh bahwa kemandirian dalam gerakan antikolonialisme terkompromikan dan akhirnya selalu mengaitkan gerakan tersebut dengan kepentingan di luar gerakan. Hal-hal seperti ini lantas membuat para lawan atau kawan politik mereka memandang Palestina (atau sejumlah tokoh tertentu di sana) sebelah mata saja. Kecurigaan yang terus menerus membuat hidup pandangan bahwa gerakan kemerdekaan di sana diuntungkan dari ”proses perdamaian”- nya dan bukan oleh ”perdamaian” itu sendiri karena adanya anggaran perdamaian yang menghidupi pemerintah dan kelompok-kelompok politik di situ. 

Semua hal ini menunjukkan perdamaian yang berkembang di pandangan sejumlah pihak di Timur Tengah belumlah sejalan dengan perdamaian seperti yang kita impikan. Dalam konstitusi dan kebijakan luar negeri Indonesia, perdamaian diartikan sebagai upaya untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan sosial, bebas dari pengaruh kolonialisme, termasuk juga kebebasan dari terkungkungnya cara pikir kita akibat perseteruan kekuatan-kekuatan besar di kawasan. 

Debat konstitusi di awal kemerdekaan Indonesia benarbenar menempatkan kepentingan bangsa di atas semua golongan agama, suku dan ras. Negara yang dibayangkan oleh para pendiri negara tidak cuma negara yang bebas dari dominasi kolonialisme, tetapi bebas dan menggunakan kebebasan itu untuk membangun diri sesuai hak asasinya sebagai manusia; dan tidak hanya untuk kita sendiri, tetapi juga dunia. Ini sebuah pengalaman bernegara yang berharga; yang belum bisa diimajinasikan di Timur Tengah. 

Artinya, kita sebagai bangsa justru perlu menghargai keluhuran makna perdamaian yang berkembang di negeri kita, dan menempatkannya dalam proporsi yang tepat ketika berhadapan dengan desakan-desakan untuk berpihak dari negara-negara Timur Tengah. Penghargaan kita pada nilai luhur bangsa ini akan diuji dengan serangkaian aksi-aksi konflik yang melanda Timur Tengah. 

Menyusul pengiriman bantuan militer oleh AS untuk pihak oposisi Suriah, terpilihnya Hassan Rohani sebagai presiden di Iran, pengiriman 4.000 tentara Iran oleh Ayatollah Khamenei di Iran untuk membantu kubu Bashar Al-Assad di Suriah, putusnya hubungan diplomatik Mesir dengan Suriah, upaya-upaya dialog untuk mencari solusi bagi Suriah di Geneva, dan desakan untuk berpihak dalam mencari solusi damai Israel-Palestina, Indonesia akan dituntut untuk bersikap dan mengirimkan sinyal dukungan yang tepat. Di sinilah nilai-nilai perdamaian yang kita junjung tinggi harus diingat-ingat dan digarisbawahi. 

Perdamaian yang didasarkan pada upaya untuk mendominasi kelompok lain, apalagi dengan menghalalkan cara-cara kekerasan, adalah perdamaian yang semu. Jika dialog antarkelompok di Timur Tengah masih sarat dengan propaganda-retorika, maka hasil dialog pun akan semu. 

Jika pemimpin yang menentukan kebijakan luar negeri ternyata dimotivasi oleh keinginan memperpanjang kekuasaan dan kekayaan pribadi, maka kepemimpinan mereka pun semu. Di sinilah kita perlu pandai-pandai membaca situasi di Timur Tengah. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar