|
MEDIA INDONESIA, 04 Juni 2013
“KAMI tidak akan menoleransi setiap tindakan kekerasan oleh
kelompok yang mengatasnamakan agama. Kami juga tidak akan membiarkan penodaan
tempat ibadah agama apa pun untuk alasan apa pun. Kami juga akan melindungi
minoritas dan memastikan tidak ada yang mengalami diskriminasi. Kami juga akan
memastikan siapa pun yang melanggar hak yang dimiliki kelompok lain akan
menghadapi proses hukum,” kata Presiden
SBY.
Menurutnya, pemerintah terus melangkah untuk memastikan
semua penganut agama hidup dalam kebebasan beribadah dan juga hidup secara
berdampingan dalam persaudaraan. Pernyataan Presiden disampaikan dalam acara
penyerahan penghargaan World Statesman
Award di New York, Kamis (30/5/2013) malam waktu setempat atau Jumat
(31/5/2013) pagi waktu Jakarta. Janji ini sekarang ditunggu publik.
Dalam realitasnya, kekerasan seperti gunung es ini bisa
dilihat berdasarkan catatan Kontras, sejak SBY memerintah, terjadi lebih dari
500 peristiwa kekerasan. Kekerasan tidak hanya dialami kelompok minoritas
seperti Syiah dan Ahmadiyah.
Kelompok agama yang diakui pemerintah juga menjadi korban,
seperti GKI Yasmin dan Huria Kristen Batak Protestan di Jawa Barat, kelompok
penghayatan kepercayaan. Kesannya kekerasan tidak pernah ditindak serta tidak
ada politik will dalam mencegah
terjadinya kekerasan.
Banyak kontradiksi
Dalam konstitusi yang lebih tinggi,
kebebasan umat beragama untuk beribadah dijamin, tapi dalam peraturan di
bawahnya terdapat kecenderungan menghambat umat untuk beribadah. Ada
pengekangan. Misalnya, dalam konteks rumah ibadah, itu bukanlah soal bagaimana
suatu rumah ibadah diserbu bahkan dibakar sekelompok orang yang menjadi persoalan
utama. Itu sekadar ekses saja. Jauh lebih penting dipikirkan adalah bagaimana
peran pemerintah menjadi mediator, perumus, dan pelaksana kebijakankebijakan
yang mengatur pendirian rumah ibadah.
Berbagai aturan dan kebijakan pemerintah dalam
pelaksanaannya justru melahirkan umat yang berdampak tidak dewasa memandang
umat lain. Tentu bukan umat beragama yang serta-merta harus dipersalahkan dalam
kasus ini, melainkan ketidakmampuan pemerintah untuk melihat pluralitas dengan
kacamata lebih adil dan menguntungkan bagi semua.
Negara gagal memberikan perlindungan dan kesempatan yang
adil bagi semua pemeluk agama untuk beribadah sesuai keyakinannya
masing-masing. Jika demikian, ada pertanyaan yang sangat menohok: lalu Pancasila
untuk apa? Untuk apa para founding
fathers merumuskan falsafah bangsa yang demikian berharga dan terhormat itu
jika dalam perilaku sehari-hari kita tidak bisa mempraktikkannya dengan sepenuh
hati?
Ruang dialog
Walaupun kehidupan sosial politik kita sudah mengalami
kebebasan, nyatanya itu belum berimplikasi pada kebebasan asasi warga untuk
beribadat. Beribadat adalah hak warga paling asasi dan hanya rezim komunis yang
melarangnya. Rezim seperti apakah kita ini ketika membiarkan kekerasan dalam
beragama tanpa adanya ruang dialog untuk membicarakan ulang secara lebih
manusiawi?
Pemerintah berkewajiban untuk menjaga, melestarikan, dan
meningkatkan kesadaran dan kedewasaan umat terutama dalam pandangannya terhadap
umat dan keyakinan beragama yang dianggap `lain'. Pemerintah berkewajiban untuk
memberikan pencerahan dan pendewasaan pemikiran umat akan toleransi dan
pluralisme. Itulah yang dimaksudkan Pancasila sebagai falsafah. Dengan begitu,
kebijakan yang berpeluang menum buhsuburkan antipati terhadap saudara
sebangsanya yang lain perlu didudukkan ulang untuk dibahas dan diganti dengan
kebijakan yang lebih adil dan mencerahkan. Untuk apakah mempertahankan sesuatu
yang dianggap tidak adil?
Pemerintah harus mendengar dan benar-benar mendengar
tuntutan seperti ini.
Selama ini kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di Bumi Pertiwi ini.
Selama ini kekerasan telah menjadi model yang sering dibungkus dengan ornamen keagamaan dan kesukuan. Inilah yang membuat wajah kekerasan semakin hari semakin subur di Bumi Pertiwi ini.
Meski kita seharusnya merajut nilai persaudaraan yang
secara jelas mengacu pada Pancasila, tapi kian hari Pancasila tidak lagi
menjadi tujuan hidup bersama.
Pancasila yang seharusnya menjadi perekat kehidupan bangsa tampak semakin hari
semakin terkikis oleh kefasikan keagamaan, kedaerahan, dan kesukuan. Pancasila
sering diucapkan, tapi sama sekali tak dipahami maknanya.
Sekarang dibutuhkan ketegasan pemimpin untuk mengembalikan
kembali roh Pancasila menjadi dasar hidup berbangsa dan bernegara. Negara ini
sebenarnya didirikan bagi semua warga negara dan tidak mengenal diskriminasi
karena semua ikut berjasa mendirikan negara ini.
Ketegasan dibutuhkan untuk mengembalikan kembali martabat
agar bangsa ini mampu berdiri tegak pada citacita bersama, yakni semangat
proklamasi. Semoga para pemimpin menyadari bahwa di pundak merekalah kewajiban
harus dijalankan demi keutuhan serta kesejahteraan bangsa.
Inilah yang ditunggu publik, memenuhi janji untuk menindak
pelaku kekerasan yang mengatasnamakan apa pun tidak dibenarkan di republik ini.
Setiap warga negara berhak mendapatkan jaminan yang sama di mata hukum. Semoga janji bukan sekadar janji, melainkan
direalisasikan dalam tindakkan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar