|
ISLAMLIB.COM, 08 APRIL 2013
“Agama yang
paling dicintai Allah SWT adalah al-hanifiyyah
al-samhah” (yang mudah menerima
kebenaran dan toleran pada sesama). HR. Al-Bukhari
Sekali lagi, kita dikejutkan oleh
serangkaian peristiwa kekerasan atas nama agama. Beberapa hari yang lalu,
Gereja Jemaat HKPB di Kabupaten Bekasi dirobohkan oleh Petugas Satpol PP.
Alasan penghancurannya sangat tidak logis: karena tidak mempunyai surat Ijin
Mendirikan Bangunan (IMB). Penulis pun bertanya-tanya, bukankah banyak juga
mesjid dan rumah ibadah lainnya yang tidak mempunyai surat IMB? Kenapa tidak
juga dihancurkan? Kenapa kita bisa beribadah, sementara orang lain tidak?
Bukankah itu hak setiap warga negara?. Selain itu, baru-baru ini kelompok masa
yang mengatasnamakan sebuah forum menyegel Gereja Katolik di Kampung Duri
Tambora, Jakarta Barat yang sejak tahun 1968 sudah digunakan sebagai tempat
ibadah. Walaupun tidak ada korban yang terluka, hal ini telah menambah deretan
panjang kasus kekerasan atas nama agama di Indonesia.
Masalah Seputar Agama: Dua Faktor
Menurut data Wahid Institute, sepanjang
tahun 2012 telah terjadi 274 kasus kekerasan atas nama agama. Hal ini meningkat
1 % dari tahun 2011 yang berjumlah 267 kasus. Hal ini membuktikan bahwa,
sebagian besar masyarakat ternyata masih ‘gagap’ dalam menyikapi masalah
perbedaan. Penulis melihat ada dua faktor yang menyebabkan kenapa hal ini terus
terjadi: faktor internal dan eksternal. Faktor internal terjadi karena adanya
keterbatasan pengetahuan oleh pemeluk agama dalam memahami agamanya, sehingga
memunculkan pemahaman skripturalisme. Skripturalisme adalah sebuah pemahaman
yang menempatkan agama hanya sebatas teks-teks keagamaan. Dalam paham ini,
fungsi utama dalam sebuah agama hanya terletak pada teks-teks yang terkandung
di dalamnya. Mereka mengabaikan substansialisasi dan kontekstualisasi
keagamaan. Dampaknya adalah mereka terpenjara oleh teks, dogma, dan simbolisme
keagamaan. Menurut penulis ini sangat berbahaya, karena pemahaman semacam ini
akan berpotensi besar untuk melahirkan kekerasan dan anarkisme.
Misalkan, penulis melihat banyak sekali
ceramah ustadz-ustadz di televisi, radio, maupun khatib-khatib Jumat yang
menganjurkan kebencian satu sama lain. Hanya berbekal satu-dua ayat teks suci
mereka mudah sekali untuk saling membenci satu sama lain, saling mengkafiri
sesama muslim dan mencap orang lain (yang bukan golongan mereka) pasti masuk
neraka. Apakah ini yang dinamakan dakwah? Apakah mereka yang memegang
kunci-kunci neraka? Bukankah yang berhak menentukan seorang itu masuk surga
atau neraka hanya Tuhan? Bukankah yang berhak menentukan seseorang itu kafir
atau tidak hanya Tuhan? Mereka, para “pembela Tuhan” itu mudah sekali mencap
orang sebagai kafir. Padahal ada hadist: "Man kaffara akhahu musliman
fahuwa kafirun” (Barangsiapa yang mengkafirkan saudara yang beragama Islam,
justru ia yang kafir). Mereka para “pembela Tuhan” itu seakan telah mengambil
alih jabatan dan wewenang Tuhan. Penulis masih belum bisa mengerti, kenapa
masih ada sebagian orang yang membatasi kasih sayang Tuhan. Bukankah rahmat
Tuhan itu tidak terbatas?
Fakor eksternal terjadi diluar agama,
seperti gagalnya Majelis Ulama Indonesia (MUI) dalam mengakomodasi
ekspresi-ekspresi Islam yang berbeda. Dalam kasus kekerasan atas nama agama
misalnya, penulis melihat banyak fatwa-fatwa MUI yang ikut berkontribusi
menyulut api kebencian, misalkan dengan fatwa–fatwa diskriminatif, seperti
pelarangan Ahmadiyah. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan pembiaran oleh
negara juga menjadi faktor eksternal yang menyuburkan kekerasan atas nama
agama. Disini terlihat jelas, peran negara masih ‘impoten’ dalam menjaga
perbedaan yang sudah menjadi fakta sosial. Dalam berbagai kasus, seringkali
pemerintah lebih membela mayoritas dan mengorbankan yang minoritas. Padahal
menurut UU No 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) seharusnya negara,
pemerintah, dan masyarakat wajib mengakui dan melindungi HAM seseorang tanpa
kecuali. Oleh karena itu, dalam menjaga hak-hak minoritas, semestinya tugas negara
harus lebih aktif sehingga fungsi negara bisa terwujud dengan baik.
Seperti, pertama menjalankan
konstitusi dengan sebaik-baiknya, kedua
memastikan semua warga negara berhak memiliki
keyakinan masing-masing. Dalam hal ini, negara harus bisa memastikan kebebasan
masyarakat. Ketiga, negara harus bisa memberikan perlindungan bagi
setiap warga negara tanpa kecuali.
Mencari Titik Temu Agama
Manusia diciptakan secara berbeda-beda.
Tidak mungkin kita menyembah Tuhan dengan cara yang sama, pasti berbeda pula. Bukan
tanpa sebab Tuhan menciptakan kita berbeda, dalam Al-Quran dikatakan: “Untuk
tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang (syir’atan
wa minhajan). Sekiranya Allah menghendaki niscaya kamu dijadikan-Nya satu umat saja,
tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberiannya kepadamu, maka
berlomba-lombalah berbuat kebajikan (fastabiqu al-khayrat). Hanya kepada Allah kembali
kamu semuanya (ila Allahi marji’ukum jami’a). Lalu diberitahukannya
kepadamu apa yang telah kamu perselisihkan itu (QS Al Maidah: 48).
Ini menandakan bahwa keragaman agama itu dimaksudkan untuk menguji kita semua.
Menguji agar seberapa banyak kita bisa berkontribusi untuk kebaikan umat
manusia dan kemanusiaan (al-khayrat).
Menurut John Hick, 93 % umat beragama itu
menganut agama secara kebetulan, karena setiap orang pada dasarnya tidak bisa
memilih. Sudah saatnya, dalam hubungan beragama jangan kita cari perbedaan,
tetapi cari persamaan. Mungkin cara kita menuju Tuhan saja yang berbeda-beda.
Pada dasarnya setiap agama mempunyai dimensi spiritual yang sama: berserah diri
kepada Yang Maha Esa. Oleh sebab itu, dalam prosesnya agama-agama akan menuju
kepada satu titik pertemuan (common platform) atau dalam istilah Al-Quran disebut dengan kalimah sawa. Penulis meyakini, pintu menuju Tuhan itu tidak hanya satu, tetapi
banyak, sebanyak pikiran manusia. Seperti kata Al-Quran: “Wahai anak-anaku, janganlah kalian masuk dari satu
pintu yang sama, tapi masuklah dari pintu-pintu yang berbeda” (QS Yusuf: 67). Senada dengan Al-Quran, dalam
kitab Bhagawadgita juga disebutkan: “Dengan jalan atau cara apa pun orang memuja Aku, melalui jalan itu Aku
memenuhi keinginannya, Wahai Arjuna, karena semua jalan yang ditempuh mereka
adalah jalanKu”. Hal ini
menyimpulkan bahwa, sebenarnya agama itu hanya sebuah jalan menuju Tuhan.
Meskipun jalan itu beragam, warna-warni, luas, plural, tetapi semuanya akan
menuju ke arah vertikal yang sama: Tuhan Yang Maha Esa.
Suatu hari Al-Hallaj pernah berkata:
“Telah ku merenung amat panjang agama-agama, aku temukan satu akar dari
berbagai banyak cabang”. Sebagaimana Al-Hallaj, Gandhi menyuarakan pendapat
serupa. Bahwa agama itu seperti cabang-cabang dari pohon yang sama, bunga-bunga
dari satu kebun, saudara sekandung dari satu keluarga. Dapat disimpulkan,
sesungguhnya agama yang terbaik itu bukan Hindu, Budha, Yahudi, Kristen, Islam
ataupun yang lainnya, tapi semuanya. Pada dasarnya semua agama itu
bermuara pada satu kebenaran. Mengapa demikian? Karena semua agama mengajarkan
kebaikan, tidak mengajarkan keburukan. Dengan agama apa pun kita bisa menjadi
lebih baik, lebih adil, lebih bijaksana, lebih mencintai sesama, lebih
manusiawi, lebih beretika, lebih bertanggung jawab. Dengan agama apa pun,
kita bisa mendekatkan diri dengan Tuhan.
Membangun Tradisi Dialog
Dialog agama bukanlah debat, melainkan
proses komunikasi antar pemeluk agama dalam rangka memahami ajaran, pemahaman,
dan pemikiran dalam setiap agama. Esensi dari dialog agama adalah ta’aruf(saling memahami). Tetapi, menurut Ahmad Wahib dalam Pergolakan Pemikiran Islam mengatakan bahwa tujuan dialog agama bukan sekedar
saling memahami dan mencari titik pertemuan (kalimah sawa).
Menariknya, masih menurut Ahmad Wahib, tujuan dialog agama adalah untuk
pembaharuan, perubahan, transformasi, baik individu maupun sosial, ke arah yang
lebih ideal.
Pada dasarnya, dialog antar agama tidak
akan tercapai apabila pemahaman keagamaan kita masih fanatik, keras, terutup,
konservatif, dan esklusif. Mengapa demikian? Karena pemahaman yang seperti ini
akan menggiring kita kepada klaim kebenaran (truth claim) masing-masing penganut agama. Akibatnya, pandangan seperti akan menutup
upaya dialog dan mencari titik temu agama dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan sosial. Maka dari itu, modal utama dari dialog antar agama
adalah berpikiran terbuka, inklusif, toleran, dan pluralis. Pandangan seperti
ini akan membawa kita kepada sebuah kesadaran akan relativitas agama-agama,
dimana tidak menutup kemungkinan bahwa kebenaran dan keselamatan ada di setiap
agama. Kalau modal itu sudah kita punya, proses dialog agama pasti akan
berjalan dengan baik.
Berangkat dari perbedaan yang sudah
menjadi fakta sosial, dialog agama sangat penting sebagai salah satu solusi
atas berbagai konflik beragama. Dialog agama merupakan sebuah mekanisme yang
harus dibangun, dikembangkan, dijaga, dirawat secara terus menerus oleh para
penganut agama. Sudah barang tentu, dialog saja tidak cukup. Dibutuhkan aksi
nyata oleh para penganut agama demi terciptanya kerukunan antar umat beragama.
Misalkan dengan cara melakukan kerjasama dalam mengurangi kemiskinan, membantu
korban bencana alam, dan menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan.
Sebagai penutup, penulis hendak mengutip
pendapat Leonard Swidler, dalam jurnalnya The Dialogue Decalogue yang menerangkan tentang 10 desain format dialog
agama, pertamasedia belajar, kedua harus dua arah (dua
pihak pemeluk agama), ketiga masing-masing pemeluk agama harus bersikap jujur dan
ikhlas, keempat perbandingan yang adil, maksudnya tidak boleh
membandingkan antara konsep dan praktek, hendaknya membandingkan konsep dengan
konsep atau praktek dengan praktek,kelima harus memposisikan dirinya sesuai dengan eksistensinya
sendiri (identitas yang otentik), keenam
masing-masing pihak dalam dialog antaragama
harus menghilangkan prasangka satu dengan yang lainnya,ketujuh dialog agama hanya bisa dilakukan dengan posisi yang
seimbang (kesetaraan), kedelapan saling percaya satu sama lain,kesembilan kritis pada tradisi sendiri, jadi masing-masing pihak
dalam dialog agama harus sadar bahwa diri dan keberagamannya masih perlu
penyempurnaan, kesepuluh mengalami dari dalam (passing over),pernyataan terakhir ini yang menurut penulis paling menarik karena
masing-masing pihak dalam dialog agama harus mencoba agama atau kepercayaan
lain, dalam istilah lain melakukan “magang.”
Pertanyaannya, mampukah masing-masing
pemeluk agama membangun dan melaksanakan tradisi dialog seperti ini? Wallahualam bi
shawab. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar