|
MEDIA INDONESIA, 04 Juni 2013
DEFISIT
tata kelola partai politik semakin kentara di saat KPK-RI rajin membongkar
berbagai anomali perilaku partai politik yang berujung pada terjadinya berbagai
praktik malaadministrasi yang berkelindan dengan praktik korupsi. Kegagalan
dalam sistem demokrasi di negeri ini yang terbesar sebenarnya adalah saat
negara seakan-akan memberikan mandat seluas-luasnya untuk mengelola
seluas-luasnya berbagai proses rekrutmen politik hingga pengawasan politik di
parlemen kepada partai politik.
Di tengah gencarnya upaya
membangun checks and balances dalam
sistem ketatanegaraan di Tanah Air, ternyata partai politik sibuk membangun
sistem oligarki kekuasaan internal dengan sistem manajemen partai yang
cenderung tidak responsif. Juga jauh dari akuntabilitas bukan hanya terhadap
publik, melainkan terhadap konstituennya sendiri.
Istilah ‘partai’ sendiri
sejatinya berasal dari bahasa Latin, yaitu partire
yang bermakna membagi. Partai merupakan peralihan jangka panjang dari istilah
faksi. Istilah faksi di Eropa pada masa lalu sekitar abad XVIII memiliki
konotasi negatif dan sangat dikenal sebagai organisasi penghasut yang ada dalam
setiap bentuk organisasi politik. Faksi berasal dari bahasa Latin, yakni facere yang artinya bertindak atau
berbuat.
Dalam pengertian politik, faksi adalah kelompok yang melakukan
tindakantindakan merusak, kejam, dan bengis. Pembicaraan tentang faksi biasanya
mengarah pada pembicaraan kelompok dengan kepentingan bersama yang harus tunduk
pada kepentingan.
Proses panjang
Dengan mencermati perkembangan
partai-partai politik di masa awal tumbuhnya sistem demokrasi di Inggris, yang
menjadi cikal bakal dari lahirnya House
of Common yang anggotanya berasal dari unsur rakyat sebagai perimbangan
dari House of Lord yang para anggotanya
merupakan kaum bangsawan, kehadiran partaipartai politik pada masa itu tidak
begitu saja bisa langsung diterima. Perlu proses yang sangat panjang hingga
partai politik bisa diterima sebagai bagian dari sistem ketatanegaraan di
Inggris Raya.
Samuel Huntington (Cipto, 1998)
mengklasifi kasikan pertumbuhan dan perkembangan partai dalam empat tahap. Pertama,
tahap faksionalisasi. Pada tahap ini, separuh dari kesadaran politik masyarakat
sudah mulai meninggalkan bentuk-bentuk organisasi politik tradisional. Namun,
pada saat yang sama, belum menemukan penggantinya yang sesuai dengan tuntutan
keadaan dan politik ditandai dengan persaingan sengit antarkelompok atau faksi
yang berusaha memperebutkan kekuasaan dan pengaruh.
Kedua, tahap polarisasi, dalam
tahap ini partai tampak berusaha menerobos dindingdinding sosial tradisional
yang melindungi faksi yang saling bersaing secara personal. Meningkatnya
kesadaran politik warga negara dengan sendirinya memperluas ruang lingkup
partisipasi politik. Momen penting ini segera diikuti dengan meluasnya jenis
dan macam kelompok-kelompok politik yang menghasilkan sebuah masyarakat majemuk
dan kompleks. Heterogenitas masyarakat modern di tengah perubahan sosial
ekonomi secara perlahan-lahan menumbuhkan polarisasi kelompok sebagai akibat
dari makin kompleksnya masyarakat politik.
Ketiga, tahap ekspansi atau
perluasan, pada tahap ini partai telah berkembang menjadi organisasi politik
yang semakin membutuhkan dukungan massa. Dalam persaingan antarpartai, dukungan
massa yang luas dan beragam serta berlapis merupakan syarat pokok untuk
membangun kekuatan partai, seperti halnya partisipasi politik masyarakat yang
meluap dan memerlukan kontribusi partai sebagai aggregator kepentingan umum.
Keempat, tahap pelembagaan yang
merupakan fase akhir dari pertumbuhan partai politik yang relatif mencapai
tahap mapan dengan ditandai terbentuknya sistem dua partai, sistem multipartai
atau sistem partai tunggal dominan. Sistem partai yang telah melembaga relatif
tidak banyak mengalami perubahan kuantitas.
Kelemahan sistem
Apabila ditinjau dari keempat
tahap perkembangan partai politik di atas, gejala tersebut seharusnya merupakan
perkembangan partai politik di negeri ini yang sudah bisa memasuki tahap
keempat, yaitu pelembagaan pertumbuhan partai politik. Namun, ternyata
peralihan fase pertumbuhan partai politik di negeri ini masih berkutat pada
tahap ketiga dan nyaris gagal memasuki tahap keempat untuk segera terjadi
pelembagaan fungsi partai politik dalam sistem demokrasi. Kuatnya
faksionalisasi di tubuh partai politik, liberalisasi politik yang mendorong
tumbuhnya kultur politik yang berbiaya tinggi dan sekaligus korup, serta
semakin lemahnya partisipasi politik warga kian mendorong gagalnya proses
pelembagaan politik di negeri ini.
Di saat UU Parpol telah direvisi
melalui UU No 2 Tahun 2011 untuk mendorong profesionalitas dan akuntabilitas
tata kelola partai politik, berbagai partai politik pada saat yang sama justru
menunjukkan kelemahan sistem pengaderan internal dan terjadinya gejala
faksionalisasi yang semakin kuat di dalam tubuh partai politik. Partai politik
yang seharusnya bisa menjadi institusi masyarakat untuk berpartisipasi dalam
sistem penyelenggaraan pemerintahan justru menjadi bagian dari masalah yang
membebani bangsa melalui berbagai perilaku koruptif yang menyandera para elite
partai, birokrat, dan pengusaha.
Karena itu, diperlukan
rekonstruksi dalam manajemen sistem kepartaian di negeri ini dengan mendorong
semakin terwujudnya akuntabilitas partai politik terhadap konstituen dan publik.
Partai politik tidak boleh menjelma menjadi sebuah ‘sistem monarki baru’ di
tengah geliat demokrasi di negeri ini. Cara pandang yang melihat partai politik
(sekadar) sebagai kendaraan kepentingan yang bisa disewa menjelang hajatan
politik harus diubah.
Partai politik, yang oleh
konstitusi pascaamendemen telah diletakkan sebagai kanal demokrasi dan
rekrutmen politik, harus dikembalikan jati dirinya sebagai institusi politik
bagi kepentingan rakyat yang mampu melakukan pelembagaan nilainilai demokrasi,
transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Di tengah kian rendahnya
kepercayaan publik terhadap sistem demokrasi yang kini telah dibajak para elite
untuk sekadar memuaskan syahwat berkuasa. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar