Sabtu, 01 Juni 2013

RUU Pertanahan, Urgensi dan Isu

RUU Pertanahan, Urgensi dan Isu
Maria SW Sumardjono ;  Guru Besar Hukum Agraria FH UGM
KOMPAS, 01 Juni  2013


Rancangan Undang-Undang Pertanahan telah disepakati sebagai inisiatif DPR pada April 2013. Kehadirannya pantas disambut positif seraya diberi catatan untuk penyempurnaan.

Sikap pro dan kontra terhadap beberapa isu dalam substansi RUUP adalah wajar sepanjang dilakukan obyektif melalui pemahaman kontekstual terhadap RUUP. Sejauh mana RUUP mampu mewujudkan hakikat hak menguasai negara atas tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai tolok ukur yang dijabarkan Mahkamah Konstitusi (MK)? Apakah urgensi pembentukan UU Pertanahan (UUP)? Setelah terdegradasi dari kedudukannya sebagai UU lex generalis dalam pengaturan sumber daya agraria/sumber daya alam dengan terbitnya berbagai UU sektoral sejak 1970-an, dalam perjalanan waktu karena tuntutan perkembangan kebutuhan masyarakat dan perkembangan bidang ekonomi, sosial, budaya, hukum, dan iptek; dipandang perlu melengkapi UU No 5 Tahun 1960 (UUPA).

Hal-hal yang perlu dilengkapi antara lain terkait: (1) ketidakadilan akses penguasaan/pemilikan tanah dengan menegaskan kembali perlunya pembatasan maksimum dan minimum tanah pertanian dan non-pertanian; pembatasan luasan HGU, HGB, dan hak pakai untuk keperluan usaha; perlunya aset dan akses reform (Reforma Agraria); (2) pengawasan terhadap alih fungsi tanah; (3) pengaturan penggunaan ruang bawah tanah; (4) penegasan fungsi sosial dan fungsi ekologis hak atas tanah; serta (5) penyelesaian sengketa dan konflik pertanahan.

Politik hukum pertanahan semasa Orde Baru mendorong penafsiran terhadap berbagai konsepsi pertanahan yang menyimpang dari falsafah dan prinsip-prinsip dasar UUPA. Dampaknya antara lain dapat dilihat pada berlangsungnya konflik dan sengketa pertanahan yang bersifat masif, multidimensi, berdampak luas, bahkan tidak jarang menyangkut pelanggaran HAM yang tidak kunjung dituntaskan.

Hal yang perlu diluruskan melalui RUUP antara lain: (1) makna hak menguasai negara yang sering ditafsirkan sebagai negara ”memiliki” diluruskan sesuai tafsir MK; (2) pengertian tanah negara yang semula beragam dipertegas sebagai tanah yang tak dilekati hak atas tanah perseorangan/badan hukum, dan bukan tanah ulayat masyarakat hukum adat (MHA); (3) penegasan kembali fungsi publik dari hak pengelolaan (HPL) yang menyimpang dari tujuan semula; (4) pengakuan sejati terhadap keberadaan dan hak MHA.

Bagaimana kedudukan UUPA jika kelak UUP terbit? UUPA tetap dipertahankan karena RUUP tidak dimaksudkan untuk mengubah UUPA, tetapi melengkapi dan meluruskan tafsir yang menyimpang dari falsafah dan prinsip dasar UUPA. Falsafah UUPA dipertahankan, prinsip dasar UUPA diperkuat dengan prinsip-prinsip Pembaruan Agraria (TAP MPR RI No IX/MPR/2001) dan dijadikan landasan penyusunan RUUP. Meski bersifat lex specialis, RUUP diharapkan dapat menjadi jembatan antara untuk meminimalisasi ketidaksinkronan peraturan perundang-undangan sektoral terkait bidang pertanahan. Hal itu antara lain melalui kewajiban pemerintah mendaftarkan tanah di seluruh wilayah Indonesia tanpa kecuali, meliputi tanah negara, tanah perseorangan/badan hukum, dan tanah ulayat MHA.

Hak ulayat MHA

Pengakuan terhadap tanah ulayat MHA sebagai entitas, di samping tanah negara dan tanah hak (perseorangan/badan hukum), memberikan kemungkinan pemberian hak atas tanah di atas tanah ulayat secara langsung setelah memperoleh persetujuan tertulis MHA yang bersangkutan. Usaha yang dilakukan di atas tanah ulayat harus dapat memberikan manfaat pada MHA yang bersangkutan dan menjamin terpeliharanya lingkungan hidup. Jika hak atas tanah berakhir atau dihapus karena sebab tertentu, tanah kembali dalam penguasaan MHA yang bersangkutan. Perpanjangan hak atas tanah harus dapat persetujuan tertulis MHA tersebut.

Bagaimana dengan hak atas tanah yang telah diperoleh secara sah sesuai peraturan perundang-undangan sebelum terbitnya UUP? Hak atas tanah yang sudah ada tetap diakui. Setelah jangka waktu hak berakhir atau hapus karena sebab tertentu, maka: (1) jika MHA bersangkutan masih ada sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan, tanah kembali dalam penguasaan MHA bersangkutan; (2) jika MHA bersangkutan sudah tak ada lagi, tanah kembali dalam penguasaan negara.

Dilema hak pengelolaan

Berasal dari ”fungsi” pengelolaan, pemegang HPL punya kewenangan menggunakan tanah HPL bagi keperluan sendiri, di samping dapat menyerahkan bagian dari tanah HPL untuk dimanfaatkan pihak ketiga. Semula, melalui Peraturan Menteri Agraria (PMA) No 9 Tahun 1965, ditegaskan pemberian hak kepada pihak ketiga terbatas pada hak pakai selama enam tahun dengan luas tanah maksimum 1.000 meter persegi. Pemberian hak dibatasi untuk pertama kali saja, serta perubahan hak dan lain-lain dilakukan oleh instansi agraria (sekarang BPN).

Dalam perkembangannya, HPL yang merupakan ”hak menguasai negara, yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang HPL” itu dimaknai, diatur, dan diimplementasikan secara ”salah kaprah”. Adanya kewajiban pendaftaran HPL (PMA No 1 Tahun 1966) kian mengesankan kedudukan HPL sebagai ”hak” dengan kewenangan yang lebih menonjolkan sifat keperdataan ketimbang ”fungsi” pengelolaan yang bersifat publik. Pemegang HPL cenderung mengedepankan penyerahan bagian tanah HPL-nya kepada pihak ketiga yang umumnya digunakan untuk kepentingan komersial daripada menggunakan untuk keperluan sendiri.

Dalam RUUP, subyek HPL dibatasi, kewenangannya dikembalikan pada fungsi (pelayanan) publik. Pemanfaatan bagian tanah HPL tidak harus disertai pemberian hak atas tanah, kecuali untuk pembangunan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah. Setiap perubahan tentu memerlukan penyesuaian dalam rangka menjamin kepastian hukum bagi pihak-pihak terkait. Tolok ukur perlu tidaknya HPL dikembalikan kepada konsepsi awal, yakni sejauh mana manfaat dari keberadaan HPL dapat dan telah dirasakan rakyat pada umumnya?

Penyelesaian konflik dan sengketa

Sampai saat ini, sengketa pertanahan yang bersifat perdata dan pidana diselesaikan melalui peradilan umum, dan sengketa terkait putusan pejabat diselesaikan melalui peradilan Tata Usaha Negara. Di luar itu, para pihak didorong untuk menyelesaikan di luar pengadilan. Bagaimana dengan konflik/sengketa pertanahan yang bersifat masif, melibatkan berbagai sektor, berskala/berdampak luas, dan kadang-kadang bersinggungan dengan masalah HAM? Dalam RUUP diperkenalkan lembaga penyelesaian sengketa berupa pengadilan pertanahan yang secara implisit dimaksudkan untuk menangani sengketa pertanahan yang kini menjadi kompetensi pengadilan negeri.

Konsep ini tentu masih harus dikaji matang. Lalu, bagaimana penyelesaian konflik/sengketa pertanahan masif seperti kasus Mesuji, Sritanjung, Sungai Sodong, Sape, dan sebagainya yang tergolong extraordinary itu? Lembaga/badan mana yang bertugas dan berwenang menyelesaikan? RUUP belum memberikan jalan keluar. Dalam rangka mencapai keadilan dalam masa transisi (transitional justice) perlu dipertimbangkan pembentukan suatu lembaga independen untuk penyelesaian konflik/sengketa agraria seperti ini. Lembaga itu bertugas mendaftar, memverifikasi, dan memberkas kasus yang diajukan masyarakat secara kolektif; memfasilitasi penyelesaian secara win-win; dan menyampaikan rekomendasi penyelesaian yang akan diputuskan suatu pengadilan (khusus) pertanahan (ad hoc).


Kealpaan mengatur ini sama dengan memelihara api dalam sekam. Konflik/sengketa yang tak terselesaikan suatu saat dapat menyulut konflik sosial yang lebih luas, yang sejatinya berakar pada ketidakadilan dalam akses penguasaan/pemilikan tanah. Uji publik terhadap RUUP diperlukan untuk memperoleh masukan yang obyektif. Seyogianya batu uji yang digunakan dalam pembahasan RUUP adalah sejauh mana RUUP mampu mewujudkan hakikat hak menguasai negara atas tanah untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat sesuai tolok ukur yang dijabarkan oleh MK. Jika hal ini tercapai, nilai-nilai dan kepentingan yang tak menitikberatkan pada kepentingan rakyat akan dapat diminimalkan. Dalam jangka panjang, terbitnya UUP kelak tak boleh menghentikan upaya penyusunan suatu UU terkait SDA sebagai lex generalis yang merupakan landasan bersama pengaturan SDA semua sektor.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar