Rabu, 19 Juni 2013

Ruang Gelap Negosiasi Pemilu Kada

Ruang Gelap Negosiasi Pemilu Kada
Marwan Mas ;   Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar
MEDIA INDONESIA, 18 Juni 2013


PEMILIHAN umum kepala daerah (pemilu kada) yang digelar secara langsung sejak 2005 selalu menjadi ajang pertarungan hidup-mati bagi pasangan calon dan para pendukung. Di dalamnya selalu diselimuti ruang gelap negosiasi antara pasangan calon dan partai politik (parpol), pemilih, dan para tim sukses. Uang mahar bagi parpol dinegosiasi di ruang gelap yang dibalut sebagai biaya sosialisasi dan biaya kampanye.

Para ‘calo kekuasaan’ juga bergentayangan sebagai penghubung antara bakal calon dan elite parpol. Lihat saja tingkah Ahmad Fathanah yang diberitakan di berbagai media dalam pemilihan salah satu gubernur. Seandainya Fathanah tidak ditangkap KPK, ruang gelap negosiasi ini tidak terbaca ke ruang publik.
Jika antisipasi tidak segera dilakukan, kontestasi pemilu kada akan tetap menjadi ladang hidup-mati dan terus diwarnai konflik finansial dan konflik fisik. Eskalasi konflik dalam pemilu kada langsung tentu bukan persoalan gampang untuk dikendalikan. Sebab, di dalamnya penuh intrik, sehingga untuk mengatasinya butuh penanganan serius. Inilah salah satu alasan pemerintah dalam usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilu kada agar kepala daerah tingkat kabupaten/kota tidak lagi dipilih secara langsung, tetapi dipilih kembali oleh DPRD.

Namun, tetap perlu kajian mendalam, jangan sampai pilihan itu hanya karena terlalu capek menempuh jalan demokrasi yang memang berliku. Juga tidak boleh menimbulkan persepsi bahwa pemerintah ingin mengembalikan paham sentralisasi dalam memilih pemimpin daerah.

Penghapusan pemilu kada langsung patut didukung jika bisa menjadi solusi permanen untuk menutup ruang gelap negosiasi (politik uang), menghentikan konflik fisik masyarakat, dan menekan mahalnya biaya pemilu kada.

Konflik gagasan

Boleh jadi gagasan pemerintah terganjal di ruang parlemen, tetapi tidak boleh berhenti berjuang demi mematangkan demokrasi. Perlu pilihan lain untuk mendesain ‘konflik fisik’ menjadi ‘konflik gagasan’, atau ‘negosiasi di ruang gelap’ sebagai bentuk lain politik uang menjadi ‘transaksi program kerja’ yang secara riil bisa dilaksanakan. Misalnya, mengurangi waktu dan tempat kampanye terbuka dan membatasi jumlah dana kampanye dalam posisi sama besar bagi pasangan calon.

Perjalanan demokrasi di daerah berlangsung hampir selalu diwarnai konflik fisik dan pertarungan hukum di Mahkamah Konstitusi. Lebih banyak diwarnai pertarungan fisik dan gizi ketimbang pertarungan visi dan gagasan.

Data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri menunjukkan (Media Indonesia, 11/6/2013) selama pemilu kada langsung, konflik fisik terus terjadi dan telah merenggut 59 korban jiwa, 230 orang terluka, 279 rumah warga dirusak, serta 30 kantor pemerintah daerah menjadi sasaran amuk massa. Enam kantor polisi dan 10 kantor KPU Daerah dirusak dan ada yang dibakar, 11 kantor parpol, 3 kantor media massa, dan 25 kendaraan dibakar massa. Sementara itu, biaya pemilu kada dari APBN kabupaten/ kota sekitar Rp40 miliar untuk tiap kabupaten/kota dalam satu putaran.

Sekiranya pembuat undang-undang mampu mendesain kampanye yang lebih sering menghasilkan gesekan fisik menjadi pertarungan gagasan di media massa, tentulah pemilu kada langsung di kabupaten/kota masih bisa diapresiasi. Negeri ini tidak boleh selalu jatuh ke dalam lubang yang sama, sebab realitas menunjukkan reaksi brutal para pendukung yang menyulut kerusuhan lebih banyak terjadi pada pemilihan bupati/wali kota.

Gagasan lain yang juga menarik dalam RUU-Pemilu Kada adalah pelaksanaan pemilu kada serentak di seluruh Indonesia. Namun, yang paling penting bagi rakyat, adalah pelaksanaan pemilu kada yang lebih sehat, terutama bagaimana menghapus praktik politik uang lantaran hanya akan melahirkan pemimpin korup.
Reaksi berlebihan pasangan calon yang kalah bersama pendukungnya antara lain karena merasa terlalu banyak uang yang dikeluarkan.

Implikasi lain pemilu kada hanya lebih dimonopoli `orangorang berduit' atau yang disokong pengusaha untuk membiayai pertarungan. Namun, tentu tidak akan gratis. Akan ada tuntutan ketika calon yang didukung menang. Kalaulah ada figur pasangan yang betul-betul bersih, tidak punya afiliasi negatif dengan pengusaha hitam, itu sangat sedikit jumlahnya. Rakyat butuh pemimpin yang bersih dan berkualitas, bukan figur yang mengobral uang dan hanya bekerja di belakang meja untuk memikirkan diri sendiri dan partai pendukungnya.

Pemimpin berkarakter

Salah satu indikator `pemimpin yang melayani' dipraktikkan Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melalui blusukan. Dalam konteks kekinian, blusukan atau mengunjungi rakyat untuk menangkap aspirasi dan kebutuhan secara langsung akan menebas rantai birokrasi yang berbelit. Apa yang ditunjukkan Jokowi merupakan `karakter' seorang pemimpin good leader yang tidak terbuai kursi empuk. Ia berposisi sebagai pemimpin yang melayani rakyat. Pemimpin yang tidak hanya gesit mengunjungi rakyat saat ada maunya, saat akan mencalonkan diri sebagai presiden, gubernur, wali kota, atau bupati.

Seorang pemimpin yang `berkarakter melayani rakyat' sangat susah dicari di negeri ini, termasuk di Sulawesi Selatan. Yang banyak hanyalah (calon) pemimpin yang berperilaku elitis, punya gaya hidup berbeda dengan kehidupan kebanyakan rakyat, atau hanya `berhalo dan memberi salam' kepada rakyat saat butuh suara rakyat untuk kelangsungan kekuasaan atau meraih kekuasaan. Saat terpilih, sifat melayani dengan mengunjungi rakyat seperti saat mencalonkan diri sudah dilupakan dengan berbagai alasan kesibukan.

Dalam konteks pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean governance), mendatangi langsung rakyat selain sebagai bentuk pelayanan terbaik, juga menutup peran para pegawai yang senang memungli dan memeras rakyat. Mereka hidup laksana benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan seperti dalam tender proyek dan dalam pemberian beragam izin bagi rakyat. Malah ada tim sukses yang berperan sebagai calo proyek dan calo jabatan atau tiba-tiba menjadi pengusaha dadakan.

Meskipun pelayanan kepada rakyat dengan cara mengunjungi langsung harus diintensifkan, itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es. Karakter melayani seorang pemimpin merupakan langkah awal dari proses pengambilan kebijakan melalui desain rencana kerja yang betul-betul menyentuh kebutuhan rakyat.

Sebab, problem pemerintah di daerah begitu beragam, termasuk bagaimana mencegah korupsi, mengamankan uang rakyat dari balas jasa terhadap pengusaha yang membiayai kampanye, atau terhadap tim sukses. Makanya, menghapus pemilu kada langsung di kabupaten/kota bisa dijadikan solusi menutup ruang gelap negosiasi yang amat berpotensi melahirkan pemimpin korup.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar