|
MEDIA
INDONESIA, 18 Juni 2013
PEMILIHAN umum kepala daerah
(pemilu kada) yang digelar secara langsung sejak 2005 selalu menjadi ajang
pertarungan hidup-mati bagi pasangan calon dan para pendukung. Di dalamnya
selalu diselimuti ruang gelap negosiasi antara pasangan calon dan partai
politik (parpol), pemilih, dan para tim sukses. Uang mahar bagi parpol
dinegosiasi di ruang gelap yang dibalut sebagai biaya sosialisasi dan biaya
kampanye.
Para ‘calo kekuasaan’ juga bergentayangan sebagai
penghubung antara bakal calon dan elite parpol. Lihat saja tingkah Ahmad
Fathanah yang diberitakan di berbagai media dalam pemilihan salah satu
gubernur. Seandainya Fathanah tidak ditangkap KPK, ruang gelap negosiasi ini
tidak terbaca ke ruang publik.
Jika antisipasi tidak segera dilakukan, kontestasi pemilu
kada akan tetap menjadi ladang hidup-mati dan terus diwarnai konflik finansial
dan konflik fisik. Eskalasi konflik dalam pemilu kada langsung tentu bukan
persoalan gampang untuk dikendalikan. Sebab, di dalamnya penuh intrik, sehingga
untuk mengatasinya butuh penanganan serius. Inilah salah satu alasan pemerintah
dalam usulan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemilu kada agar kepala daerah
tingkat kabupaten/kota tidak lagi dipilih secara langsung, tetapi dipilih
kembali oleh DPRD.
Namun, tetap perlu kajian mendalam, jangan sampai pilihan
itu hanya karena terlalu capek menempuh jalan demokrasi yang memang berliku. Juga
tidak boleh menimbulkan persepsi bahwa pemerintah ingin mengembalikan paham
sentralisasi dalam memilih pemimpin daerah.
Penghapusan pemilu kada langsung patut didukung jika bisa
menjadi solusi permanen untuk menutup ruang gelap negosiasi (politik uang),
menghentikan konflik fisik masyarakat, dan menekan mahalnya biaya pemilu kada.
Konflik gagasan
Boleh jadi gagasan pemerintah
terganjal di ruang parlemen, tetapi tidak boleh berhenti berjuang demi mematangkan
demokrasi. Perlu pilihan lain untuk mendesain ‘konflik fisik’ menjadi ‘konflik
gagasan’, atau ‘negosiasi di ruang gelap’ sebagai bentuk lain politik uang
menjadi ‘transaksi program kerja’ yang secara riil bisa dilaksanakan. Misalnya,
mengurangi waktu dan tempat kampanye terbuka dan membatasi jumlah dana kampanye
dalam posisi sama besar bagi pasangan calon.
Perjalanan demokrasi di daerah berlangsung hampir selalu
diwarnai konflik fisik dan pertarungan hukum di Mahkamah Konstitusi. Lebih
banyak diwarnai pertarungan fisik dan gizi ketimbang pertarungan visi dan
gagasan.
Data Direktorat Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam
Negeri menunjukkan (Media Indonesia, 11/6/2013) selama pemilu kada langsung,
konflik fisik terus terjadi dan telah merenggut 59 korban jiwa, 230 orang
terluka, 279 rumah warga dirusak, serta 30 kantor pemerintah daerah menjadi sasaran
amuk massa. Enam kantor polisi dan 10 kantor KPU Daerah dirusak dan ada yang
dibakar, 11 kantor parpol, 3 kantor media massa, dan 25 kendaraan dibakar massa.
Sementara itu, biaya pemilu kada dari APBN kabupaten/ kota sekitar Rp40 miliar
untuk tiap kabupaten/kota dalam satu putaran.
Sekiranya pembuat undang-undang
mampu mendesain kampanye yang lebih sering menghasilkan gesekan fisik menjadi
pertarungan gagasan di media massa, tentulah pemilu kada langsung di kabupaten/kota
masih bisa diapresiasi. Negeri ini tidak boleh selalu jatuh ke dalam lubang
yang sama, sebab realitas menunjukkan reaksi brutal para pendukung yang
menyulut kerusuhan lebih banyak terjadi pada pemilihan bupati/wali kota.
Gagasan lain yang juga menarik dalam RUU-Pemilu Kada adalah
pelaksanaan pemilu kada serentak di seluruh Indonesia. Namun, yang paling
penting bagi rakyat, adalah pelaksanaan pemilu kada yang lebih sehat, terutama
bagaimana menghapus praktik politik uang lantaran hanya akan melahirkan
pemimpin korup.
Reaksi berlebihan pasangan calon yang kalah bersama pendukungnya antara lain karena merasa terlalu banyak uang yang dikeluarkan.
Reaksi berlebihan pasangan calon yang kalah bersama pendukungnya antara lain karena merasa terlalu banyak uang yang dikeluarkan.
Implikasi lain pemilu kada hanya lebih dimonopoli
`orangorang berduit' atau yang disokong pengusaha untuk membiayai pertarungan.
Namun, tentu tidak akan gratis. Akan ada tuntutan ketika calon yang didukung
menang. Kalaulah ada figur pasangan yang betul-betul bersih, tidak punya
afiliasi negatif dengan pengusaha hitam, itu sangat sedikit jumlahnya. Rakyat
butuh pemimpin yang bersih dan berkualitas, bukan figur yang mengobral uang dan
hanya bekerja di belakang meja untuk memikirkan diri sendiri dan partai
pendukungnya.
Pemimpin
berkarakter
Salah satu indikator `pemimpin yang melayani' dipraktikkan
Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo (Jokowi) melalui blusukan. Dalam konteks
kekinian, blusukan atau mengunjungi rakyat untuk menangkap aspirasi dan
kebutuhan secara langsung akan menebas rantai birokrasi yang berbelit. Apa yang
ditunjukkan Jokowi merupakan `karakter' seorang pemimpin good leader yang tidak terbuai kursi empuk. Ia berposisi sebagai
pemimpin yang melayani rakyat. Pemimpin yang tidak hanya gesit mengunjungi
rakyat saat ada maunya, saat akan mencalonkan diri sebagai presiden, gubernur,
wali kota, atau bupati.
Seorang pemimpin yang `berkarakter melayani rakyat' sangat
susah dicari di negeri ini, termasuk di Sulawesi Selatan. Yang banyak hanyalah
(calon) pemimpin yang berperilaku elitis, punya gaya hidup berbeda dengan
kehidupan kebanyakan rakyat, atau hanya `berhalo dan memberi salam' kepada
rakyat saat butuh suara rakyat untuk kelangsungan kekuasaan atau meraih
kekuasaan. Saat terpilih, sifat melayani dengan mengunjungi rakyat seperti saat
mencalonkan diri sudah dilupakan dengan berbagai alasan kesibukan.
Dalam konteks pemerintahan yang baik dan bersih (good governance dan clean governance),
mendatangi langsung rakyat selain sebagai bentuk pelayanan terbaik, juga
menutup peran para pegawai yang senang memungli dan memeras rakyat. Mereka
hidup laksana benalu dalam pohon bernama proses pengambilan kebijakan seperti
dalam tender proyek dan dalam pemberian beragam izin bagi rakyat. Malah ada tim
sukses yang berperan sebagai calo proyek dan calo jabatan atau tiba-tiba
menjadi pengusaha dadakan.
Meskipun pelayanan kepada rakyat dengan cara mengunjungi
langsung harus diintensifkan, itu hanyalah puncak dari sebuah gunung es.
Karakter melayani seorang pemimpin merupakan langkah awal dari proses
pengambilan kebijakan melalui desain rencana kerja yang betul-betul menyentuh
kebutuhan rakyat.
Sebab, problem pemerintah di daerah begitu beragam,
termasuk bagaimana mencegah korupsi, mengamankan uang rakyat dari balas jasa
terhadap pengusaha yang membiayai kampanye, atau terhadap tim sukses. Makanya,
menghapus pemilu kada langsung di kabupaten/kota bisa dijadikan solusi menutup
ruang gelap negosiasi yang amat berpotensi melahirkan pemimpin korup. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar