|
SUARA KARYA, 07 Juni 2013
Apa yang paling menonjol terjadi
di banyak daerah Indonesia sejak reformasi digulirkan, 15 tahun silam?
Jawabannya adalah makin rusaknya lingkungan akibat kesewenang-wenangan penguasa
setempat. Misalnya, banyak pemda yang makin ganas mencaplok lahan hijau dan
ruang-ruang terbuka untuk membangun gedung-gedung baru. Bahkan, sejumlah daerah
kini sudah tidak lagi punya lahan hijau di tengah kota karena semua sudut kota
telah dijadikan "hutan beton".
Dalam konteks global, makin
rusaknya lingkungan suatu daerah layak dianggap berbahaya bagi semesta, karena
bisa berdampak luas ke daerah-daerah lain dan bahkan ke negara-negara lain.
Contohnya, kabut asap akibat pembakaran lahan di wilayah Kepulauan Riau sering
menyebar sampai ke Singapura dan Malaysia.
Dalam konteks lokal, sejumlah
pemda telah banyak merusak lingkungan di daerah masing-masing, sehingga bencana
banjir menjadi tradisi yang dapat dipastikan selalu terjadi pada setiap musim
hujan. Bahkan banyak daerah yang semula tidak pernah dilanda banjir kemudian
ikut-ikutan selalu dilanda banjir.
Elite Nakal
Pemda akan menjadi perusak
lingkungan, jika jajaran elite politik lokal berperilaku nakal. Disebut nakal,
jika perilakunya sewenang-wenang dan menang-menangan. Misalnya, dengan alasan
mengembangkan kawasan ekonomi daerah, pemda mencaplok lahan pertanian untuk
pembangunan gedung perkantoran dan pusat bisnis baru.
Layak dicemaskan, jika rencana
pengembangan kawasan ekonomi daerah nyata-nyata merusak lingkungan tidak bisa
dicegah maka bakal disusul rencana-rencana lain yang lebih destruktif terhadap
lingkungan. Misalnya, bisa jadi akan muncul rencana membangun rumah dinas plus
rumah peristirahatan yang super mewah dan super megah bagi masing-masing
pejabat dan wakil rakyat di daerah-daerah dengan alasan sudah menjadi keputusan
sidang paripurna DPRD.
Dalam rumus politik, jajaran elite
lokal yang berkuasa di daerah memang bisa berbuat apa saja yang berpotensi
merusak lingkungan. Dalilnya bisa untuk memajukan daerah, atau untuk sekadar
memenuhi kebutuhan tanpa peduli efek domino yang berbahaya di kemudian hari.
Dalam rumus psikososial, perilaku
nakal identik dengan jahat. Misalnya, anak-anak yang dibiarkan semakin nakal
bisa saja tidak hanya gemar membahayakan anak-anak lain tapi juga membahayakan
semua pihak termasuk dirinya sendiri. Dengan kata lain, anak-anak yang
dibiarkan nakal bisa saja membunuh teman, saudara dan orangtua, dan bahkan
bunuh diri, setelah suka mencuri dan ketagihan plesiran, miras, narkoba serta
seks bebas.
Namun, sangat tidak proporsional
jika menyamakan elite nakal dengan anak-anak nakal, karena kenakalan elite
sangat jauh lebih berbahaya dibanding kenakalan anak-anak. Dalam hal ini, jika
elite nakal pasti akan sulit diatasi karena mereka merasa lebih hebat dan
benar. Jika ada yang menganggapnya salah serta-merta akan ngotot mengaku benar
karena sudah sesuai dengan prosedur. Misalnya, dengan mengatakan, "Ini
sudah menjadi keputusan bulat dan sudah disahkan dalam sidang paripurna DPRD,
tidak bisa diganggu gugat lagi!"
Perang Wacana
Jika banyak pemda sudah merusak
lingkungan, tentu akan ditentang banyak pihak di daerahnya sendiri. Dalam hal
ini, selama semangat demokratisasi damai bisa dipertahankan, mungkin akan
terjadi perang wacana yang sangat dahsyat, karena publik akan melakukan
perlawanan sengit dengan pernyataan-pernyataan verbal di media maupun di
ruang-ruang publik lain.
Dalam konteks mempertahankan lahan
hijau di daerah yang semakin menipis, kini semakin banyak generasi muda yang
peduli lingkungan di daerah masing-masing. Mereka layak diapresiasi karena
merekalah pewaris masa depan. Dan, mereka umumnya lebih mengerti dampak
lingkungan dibanding elite, karena mereka secara aktif memperkaya diri dengan
berbagai ilmu dan wawasan tentang lingkungan. Karena itu, sangat keterlaluan,
jika elite di daerah-daerah tetap bernafsu merusak lingkungan hanya karena
ingin mendapatkan bagian keuntungan dari nilai proyek-proyek yang sengaja
digelembungkan.
Selain itu, jika banyak pemda
sudah merusak lingkungan di daerah masing-masing, sangat mungkin akan ditiru
oleh pemerintah-pemerintah desa. Konkretnya, jika sisa lahan hijau di kota-kota
kabupaten terus-menerus menipis akibat pembangunan gedung-gedung baru,
lahan-lahan hijau di desa-desa pasti juga akan ikut menipis oleh sebab yang
sama.
Karena itu, elite daerah selayaknya
belajar untuk menjadi teladan yang baik bagi elite di desa-desa. Dalam hal ini,
elite daerah yang tak peduli lingkungan berpotensi ditiru oleh jajaran kepala
desa. Untuk konteks didaktika politik, belajar menjadi teladan yang baik memang
sangat sulit bagi elite daerah (maupun pusat) yang telanjur bercitra buruk.
Tapi, dalam hal belajar apa saja, tidak mengenal terlambat. Atau, lebih baik
terlambat belajar menjadi teladan yang baik daripada menyempurnakan keburukan
sehingga semua ikut-ikutan semakin buruk.
Sedangkan untuk konteks
pelestarian lingkungan di suatu negara, kuncinya adalah keteladanan elite di
daerah-daerah. Jika elite di daerah-daerah sangat peduli terhadap lingkungan
setempat, lingkungan di suatu negara akan bisa terhindar dari kerusakan-kerusakan.
Layak ditegaskan, kebijakan
pembangunan yang merusak lingkungan sama dengan korupsi lingkungan yang
seharusnya dikutuk dan dihukum berat, agar tidak semakin ganas di negeri ini.
Sungguh amat sangat layak disayangkan jika reformasi hanya melahirkan rezim
perusak lingkungan yang mengganas di hampir semua daerah di Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar