|
SUARA MERDEKA, 07 Juni 2013
"Di dua TPS Argorejo Sunan Kuning, PSK memberikan 92 dan 123 suara
bagi kemenangan Ganjar-Heru"
Sarinah, katakan kepada mereka/Bagaimana kau dipanggil ke kantor
menteri/Ia sebut kau inspirasi revolusi/Sambil ia buka kutangmu
HARI itu, Selasa
(28/5/2013), petir bak terdengar di telinga para pekerja seks komersial (PSK),
eufemisme untuk pelacur, ketika Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri menyatakan
tahun ini hendak ’’benar-benar’’menutup 50 lokalisasi prostitusi di Indonesia.
Di antaranya, lokalisasi Sunan Kuning (Semarang), Gang Dolly (Surabaya), Pasar
Kembang (Yogyakarta), Saritem (Bandung) dan Kramat Tunggak (Jakarta). Dolly
adalah tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Langkah awal dari rencana
itu, pemerintah menutup 21 lokalisasi di Jatim, yakni 3 di Surabaya, 11 di
Banyuwangi, dan 7 di Malang. Dari 47 lokalisasi di Jatim, 20 sudah ditutup
beberapa waktu lalu. Di Banyuwangi, Mensos menyerahkan bantuan Rp 2 miliar bagi
257 PSK yang lokalisasinya ditutup. Untuk Kremil Surabaya, selain untuk PSK,
Mensos memberi bantuan total Rp1.575. 300.000 sebagai pengganti tempat usaha untuk
membangun pasar sosial sehingga mucikari dan PSK tak kehilangan mata pencarian.
Selama tiga bulan, bekas PSK Kremil mendapatkan pelatihan, dengan menerima
jatah hidup Rp 20 ribu/ hari/ orang selama 3 bulan, total Rp 600 ribu
sebulan.
Setelah dinyatakan mampu dan
siap mandiri, tiap bekas PSK menerima modal kerja Rp 5 juta. Data Direktorat
Rehabilitasi Tuna Sosial Kemensos, hingga 2012 tercatat 41.374 PSK tersebar di
berbagai kota di 33 provinsi. Jumlah terbesar di Jatim, yakni 7.793 PSK. Di
Gang Dolly Kecamatan Sawahan Surabaya, lokalisasi yang berdiri sejak 1962, ada
580 PSK tahun 2012, menurun dari 2010 sebanyak 3.000 PSK, dan 2011 sejumlah
2.500 PSK. Pemerintah menganggarkan Rp10 miliar untuk menutup Dolly. Salim
berdalih, pada awalnya lokalisasi bertujuan melokalisasi praktik prostitusi,
namun perkembangan berikutnya jadi daerah penumpukan moral hazard (kejahatan
moral), misalnya Sunan Kuning, Saritem, dan Dolly. "Prostitusi merupakan
penyakit masyarakat terkait mental dan kemiskinan." Bahwa prostitusi
terkait mental, Salim benar namun prostitusi terkait kemiskinan, tak sepenuhnya
benar. Apakah pertemuan Ahmad Fathanah dengan Maharani Suciyono saat digerebek
KPK di sebuah hotel di Jakarta, pada 29 Januari 2013, dan waktu itu Rani sudah
mengantongi ’’uang jasa’’Rp10 juta, bukan prostitusi?
Simak pula pernyataan mantan
Ketua MK Mahfud MD bahwa banyak keputusan penting yang diambil pejabat negara
dikendalikan oleh perempuan nakal, apa ini bukan prostitusi, bahkan berdampak
luas? Mengapa pemerintah hanya berani kepada PSK miskin, seperti penghuni Sunan
Kuning, Dolly, atau Saritem? Mengapa tak berani menertibkan yang di hotelhotel
berbintang? Maka, bersatulah para PSK Kota Semarang. Seperti kata WS Rendra
dalam sajak, ’’Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’’, yang sebagian saya
kutip. ’’Ambillah galah, kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya, araklah keliling
kota sebagai panji yang telah mereka nodai.
Kinilah giliranmu menuntut.
Katakanlah kepada mereka, menganjurkan mengganyang pelacuran tanpa menganjurkan
mengawini para bekas pelacur adalah omong kosong. Membubarkan kalian tidak
semudah membubarkan partai politik. Mereka harus beri kalian kerja. Mereka
harus pulihkan derajat kalian. Mereka harus ikut memikul kesalahan’’. Menagih
Janji Kemiskinan para PSK adalah kemiskinan struktural, dan pemerintah punya
andil. Bagi PSK Sunan Kuning, konon lokalisasi ini mengambil nama pemimpin
laskar Tionghoa di Kartasura yang memberontak kepada VOC pada 30 Juni 1742
bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning, kalian harus mendapat kompensasi
sebagaimana yang di Banyuwangi dan Kremil, bahkan lebih karena posisi tawar
kalian lebih tinggi. Bila kalian berkeliaran di jalanan, atau istilah Mensos
’’beroperasi mandiri’’, tentu berdampak lebih buruk. Bayangkan, dalam seminggu
saja kalian menghabiskan 14 ribu kondom. Sunan Kuning di Argorejo Kalibanteng
Kulon Kecamatan Semarang Barat, kompleks seluas 3,5 ha dihuni 719 PSK,
sementara Saritem yang berdiri sejak 1942 dihuni ’’hanya’’625 PSK.
Temuan LSM
Griya Asa, sepanjang Januari-April 2013 ditemukan PSK positif HIV/ AIDS. Kasus
PSK terinveksi HIV/ AIDS dari tahun ke tahun di Semarang terus meningkat. Tahun
2012 tercatat 13 PSK, 2009-2011 terjadi akumulasi jumlah 35 kasus. Semarang
merupakan peringkat kedua mempunyai jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia
setelah Papua. PSK juga menularkan HIV/ AIDS ke ibu-ibu hamil yang suaminya
suka ’’jajan’’. Tahun 2011 tercatat 13 ibu hamil terinfeksi HIV/ AIDS, 2012
meningkat menjadi 28 orang.
Kalian, yang selalu dicibir
para moralis, sudah saatnya bangkit supaya tak hanya diperhitungkan pada saat
pemilu, pilpres, atau pilkada. Lihatlah, kalian punya andil dalam kemenangan
Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Di TPS 07 dan 08 Argorejo, kalian memberikan 92
dan 123 suara bagi kemenangan Ganjar-Heru. Kalian boleh menagih janji kepada
Ganjar-Heru yang baru ditetapkan sebagai gubernur-wakil gubernur oleh KPU, guna
mencari solusi terbaik. Jangan sampai penutupan lokalisasi hanya kamuflase di
balik sikap hipokrit, sementara prostitusi sesungguhnya dibiarkan, termasuk
mereka yang berkeliaran di hotel berbintang. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar