Minggu, 09 Juni 2013

Bersatulah Pelacur Kota Semarang

Bersatulah Pelacur Kota Semarang
Karyudi Sutajah Putra ;    Tenaga Ahli DPR
SUARA MERDEKA, 07 Juni 2013


"Di dua TPS Argorejo Sunan Kuning, PSK memberikan 92 dan 123 suara bagi kemenangan Ganjar-Heru"

Sarinah, katakan kepada mereka/Bagaimana kau dipanggil ke kantor menteri/Ia sebut kau inspirasi revolusi/Sambil ia buka kutangmu

HARI itu, Selasa (28/5/2013), petir bak terdengar di telinga para pekerja seks komersial (PSK), eufemisme untuk pelacur, ketika Menteri Sosial Salim Segaf Aljufri menyatakan tahun ini hendak ’’benar-benar’’menutup 50 lokalisasi prostitusi di Indonesia. Di antaranya, lokalisasi Sunan Kuning (Semarang), Gang Dolly (Surabaya), Pasar Kembang (Yogyakarta), Saritem (Bandung) dan Kramat Tunggak (Jakarta). Dolly adalah tempat prostitusi terbesar di Asia Tenggara. Langkah awal dari rencana itu, pemerintah menutup 21 lokalisasi di Jatim, yakni 3 di Surabaya, 11 di Banyuwangi, dan 7 di Malang. Dari 47 lokalisasi di Jatim, 20 sudah ditutup beberapa waktu lalu. Di Banyuwangi, Mensos menyerahkan bantuan Rp 2 miliar bagi 257 PSK yang lokalisasinya ditutup. Untuk Kremil Surabaya, selain untuk PSK, Mensos memberi bantuan total Rp1.575. 300.000 sebagai pengganti tempat usaha untuk membangun pasar sosial sehingga mucikari dan PSK tak kehilangan mata pencarian. Selama tiga bulan, bekas PSK Kremil mendapatkan pelatihan, dengan menerima jatah hidup Rp 20 ribu/ hari/ orang selama 3 bulan, total Rp 600 ribu sebulan. 

Setelah dinyatakan mampu dan siap mandiri, tiap bekas PSK menerima modal kerja Rp 5 juta. Data Direktorat Rehabilitasi Tuna Sosial Kemensos, hingga 2012 tercatat 41.374 PSK tersebar di berbagai kota di 33 provinsi. Jumlah terbesar di Jatim, yakni 7.793 PSK. Di Gang Dolly Kecamatan Sawahan Surabaya, lokalisasi yang berdiri sejak 1962, ada 580 PSK tahun 2012, menurun dari 2010 sebanyak 3.000 PSK, dan 2011 sejumlah 2.500 PSK. Pemerintah menganggarkan Rp10 miliar untuk menutup Dolly. Salim berdalih, pada awalnya lokalisasi bertujuan melokalisasi praktik prostitusi, namun perkembangan berikutnya jadi daerah penumpukan moral hazard (kejahatan moral), misalnya Sunan Kuning, Saritem, dan Dolly. "Prostitusi merupakan penyakit masyarakat terkait mental dan kemiskinan." Bahwa prostitusi terkait mental, Salim benar namun prostitusi terkait kemiskinan, tak sepenuhnya benar. Apakah pertemuan Ahmad Fathanah dengan Maharani Suciyono saat digerebek KPK di sebuah hotel di Jakarta, pada 29 Januari 2013, dan waktu itu Rani sudah mengantongi ’’uang jasa’’Rp10 juta, bukan prostitusi? 

Simak pula pernyataan mantan Ketua MK Mahfud MD bahwa banyak keputusan penting yang diambil pejabat negara dikendalikan oleh perempuan nakal, apa ini bukan prostitusi, bahkan berdampak luas? Mengapa pemerintah hanya berani kepada PSK miskin, seperti penghuni Sunan Kuning, Dolly, atau Saritem? Mengapa tak berani menertibkan yang di hotelhotel berbintang? Maka, bersatulah para PSK Kota Semarang. Seperti kata WS Rendra dalam sajak, ’’Bersatulah Pelacur-pelacur Kota Jakarta’’, yang sebagian saya kutip. ’’Ambillah galah, kibarkan kutang-kutangmu di ujungnya, araklah keliling kota sebagai panji yang telah mereka nodai. 

Kinilah giliranmu menuntut. Katakanlah kepada mereka, menganjurkan mengganyang pelacuran tanpa menganjurkan mengawini para bekas pelacur adalah omong kosong. Membubarkan kalian tidak semudah membubarkan partai politik. Mereka harus beri kalian kerja. Mereka harus pulihkan derajat kalian. Mereka harus ikut memikul kesalahan’’. Menagih Janji Kemiskinan para PSK adalah kemiskinan struktural, dan pemerintah punya andil. Bagi PSK Sunan Kuning, konon lokalisasi ini mengambil nama pemimpin laskar Tionghoa di Kartasura yang memberontak kepada VOC pada 30 Juni 1742 bernama Raden Mas Garendi atau Sunan Kuning, kalian harus mendapat kompensasi sebagaimana yang di Banyuwangi dan Kremil, bahkan lebih karena posisi tawar kalian lebih tinggi. Bila kalian berkeliaran di jalanan, atau istilah Mensos ’’beroperasi mandiri’’, tentu berdampak lebih buruk. Bayangkan, dalam seminggu saja kalian menghabiskan 14 ribu kondom. Sunan Kuning di Argorejo Kalibanteng Kulon Kecamatan Semarang Barat, kompleks seluas 3,5 ha dihuni 719 PSK, sementara Saritem yang berdiri sejak 1942 dihuni ’’hanya’’625 PSK. 

Temuan LSM Griya Asa, sepanjang Januari-April 2013 ditemukan PSK positif HIV/ AIDS. Kasus PSK terinveksi HIV/ AIDS dari tahun ke tahun di Semarang terus meningkat. Tahun 2012 tercatat 13 PSK, 2009-2011 terjadi akumulasi jumlah 35 kasus. Semarang merupakan peringkat kedua mempunyai jumlah pengidap HIV/AIDS di Indonesia setelah Papua. PSK juga menularkan HIV/ AIDS ke ibu-ibu hamil yang suaminya suka ’’jajan’’. Tahun 2011 tercatat 13 ibu hamil terinfeksi HIV/ AIDS, 2012 meningkat menjadi 28 orang. 


Kalian, yang selalu dicibir para moralis, sudah saatnya bangkit supaya tak hanya diperhitungkan pada saat pemilu, pilpres, atau pilkada. Lihatlah, kalian punya andil dalam kemenangan Ganjar Pranowo-Heru Sudjatmoko. Di TPS 07 dan 08 Argorejo, kalian memberikan 92 dan 123 suara bagi kemenangan Ganjar-Heru. Kalian boleh menagih janji kepada Ganjar-Heru yang baru ditetapkan sebagai gubernur-wakil gubernur oleh KPU, guna mencari solusi terbaik. Jangan sampai penutupan lokalisasi hanya kamuflase di balik sikap hipokrit, sementara prostitusi sesungguhnya dibiarkan, termasuk mereka yang berkeliaran di hotel berbintang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar