|
SUARA KARYA, 07 Juni 2013
Saat ini, setelah Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) mendalami kasus Ahmad Fathanah, ancaman penjahat
negara bernama 'makelar' mulai terkuak. Fenomena Fathanah semakin menegaskan
bahwa makelar sudah bermain di semua aspek untuk menghacurkan Republik ini.
Bukan hanya di ranah hukum, politik ataupun ekonomi, makelar sudah menjalar ke
sebuah isu sensasional, yaitu makelar seksual sebagai satu paket untuk para
pejabat.
Satu per satu isu gratifikasi
seksual bagai bola api yang menggelinding lepas ke hadapan publik dalam satu
tahun terakhir. Isu yang sebelumnya sengaja diendapkan dan disembunyikan
sedemikian rapat oleh patgulipat pejabat pelan-pelan mulai mencuat. Publik
mulai mengetahui bahwa persoalan kekuasaan (power),
politik dan seks mempunyai kedekatan erat yang nyaris menjadi satu paket.
Fenomena gratifikasi seksual
terbaru diduga menimpa Ahmad Fathanah, sebagai tersangka kasus suap kuota impor
daging sapi di Kementan yang menyeret mantan Presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq.
Dalam kasus Fathanah, fenomena gratifikasi seksual tampaknya benar-benar
menjadi sebuah tragedi yang membelakkan mata. Bagaimana tidak, dari hanya
seorang perempuan yang ditangkap saat berduaan dengan Fathanah di Hotel Le
Meridien, wanita-wanita lain yang berjumlah lebih dari 40 orang menyeruak di
tengah-tengah pusaran kasus itu.
Tak ayal jika kemudian Fathanah
dituduh oleh pihak PKS sendiri sebagai makelar. Namun begitu, kecurigaan publik
bisa saja mengarah ke makelar gratifikasi seksual bagi para pejabat, baik dari
lingkaran partai politik ataupun instansi lainnya, juga tidak bisa dihindari.
Broker Politik
Awalnya istilah makelar (broker) politik belum begitu populer di
ranah politik di Indonesia meskipun secara praktik penyakit ini sudah sangat
biasa dipraktikkan sejak Orde Baru. Istilah broker
politik mencuat setelah Orde Baru tumbang. Secara bahasa, broker pada prinsipnya berkaitan dengan persoalan transaksi barang,
kata untuk mendefinisikan sebuah sirkulasi dan distribusi barang dalam ekonomi
bisnis (an agent who negotiates contracts
of purchase and sale, as of real estate and commodities). (Longman, 2008)
Dalam ranah politik dan kekuasaan,
istilah makelar semakin gelap dan patgulipat. Tidak mudah mengidentifikasi
wujud makelar. Tapi yang pasti, setiap transaksi proyek besar para makelar akan
bermanuver sedemikian hebat dengan melakukan segala dan transaksi-transaksi
busuk. Ketika mereka masuk ke ranah kekuasaan elite, khususnya penegakan hukum,
wibawa dan kekuatan negara akan hancur dan dilapukkan pelan-pelan. Para makelar
akan melakukan segala cara untuk memuluskan skenario, seperti tindak korupsi,
gratifikasi seksual, kriminalisasi laiannya.
Dalam konteks elite, makelar
berevolusi dengan segala jenis sebutan. Mereka bisa menjadi mafioso di tingkat
peradilan ataupun preman di ranah ekskusi. Secara umum makelar dapat
diidentifikasikan dalam dua aras besar. Pertama, makelar berkerah putih, yaitu
para broker di jabatan-jabatan elite-penting pemerintahan. Kedua, makelar
jalanan, yaitu para ekskutor yang biasa bermanuver dan berkamuflase dengan
semua jenis jaringan kejahatan, seperti mafia dan preman.
Dalam konteks politik praktis,
para makelar sebenarnya bermain di ranah political clientelism, yang oleh
Larreguy didefinisikan sebagai distribusi keuntungan yang ditargetkan kepada
individu ataupun kelompok untuk mendukung kekuasaan politik, khususnya dalam
konteks pemilu. (Larreguy, 2013)
Di samping itu, teori ini seperti
ingin menegaskan bahwa kepentingan perebutan kekuasaan untuk mempermainkan isu
dalam skala nasional menjadi salah satu peranan broker yang notabene adalah
klientelistik, yaitu perkoncoan yang mempunyai kedekatan hubungan dan patron.
Prinsip politik klientelistik (political
clientelism) adalah tindakan berdasarkan kepada prinsip take there, give here. Praktik makelar
ataupun klientelistik, mengutip laporan dari Hicken dalam Annual Review of Political Science (2011), akan melemahkan rakyat
untuk mengukur akuntabilitas publik, baik dalam konteks hasil pemilihan umum
ataupun peristiwa politik lainnya.
Dalam makelar hukum, yang lebih
trend dikenal dengan istilah mafioso, kita sebenarnya sudah disadarkan oleh
analisa bagus dari seorang pengamat hukum yang saat ini menjabat Wakil Menteri
Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkunham) Denny Indrayana dalam buku berjudul
Negeri Para Mafioso, Hukum di Sarang Koruptor (2008) yang berusaha menelanjangi
praktik korupsi di Republik 'para makelar' ini. Buku ini jelas sekali sebagai
gugatan terhadap menjamurnya praktik mafia peradilan (judicial corruptions) dari hulu hingga hilir. Bagi Denny, mafia
peradilan di Indonesia merupakan persoalan krusial yang paling sulit diatasi.
Karena, mafia peradilan adalah sekelompok 'gangster' yang melakukan praktik KKN
(korupsi, kolusi dan nepotisme) secara sistematis, berjamaah dan rapi.
Untuk itu, pemerintah sudah harus
lebih waspada terhadap manuver para makelar yang sudah masuk ke semua segmen
elit pemerintahan di Republik ini. Problem transaksi politik yang telah menjadi
penyakit akut, jangan lagi diperparah oleh makelar yang dengan sengaja
menjembatani kepentingan antara pihak penjual dan pembeli politik. Karena,
dalam praktik kerja di lapangan, banyak berbagai bentuk cara kerja dari seorang
makelar yang sudah sangat lihai memainkan perannya untuk memuluskan
proyek-proyek demi keuntungan personal ataupun kelompok.
Apalagi, tahun 2013 ini, para
elite politik dan partai-partainya sedang mempersiapkan diri untuk menyusun
strategi pemenangan. Tidak aneh, jika para makelar dan mafia sudah dipersiapkan
demi memenangkan kepentingan-kepentingan busuk untuk meraih kekuasaan pada
2014. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar