Kamis, 20 Juni 2013

Membabat Pikiran Kolonial di Kobun

Membabat Pikiran Kolonial di Kobun
Edy Supratno ;   Mantan buruh kasar perkebunan di Sumut,
Kini komisioner KPU Kudus
JAWA POS, 19 Juni 2013


TULISAN Menteri BUMN Dahlan Iskan dalam Manufacturing Hope (81) membawa memori saya 20-25 tahun lalu. Yakni, saat saya hidup dan besar di sekitar areal perkebunan di Sumatera Utara (Sumut) yang orang setempat menyebutnya orang ''kobun''.

Saya teringat saat bekerja di areal perkebunan ketika mengisi liburan sekolah. Tugas kami, antara lain, menyebarkan biji kacangan di sekitar tanaman karet atau sawit. Tanaman ini tidak untuk diambil buahnya, tetapi untuk dua tujuan. Pertama, tanaman tersebut tumbuh menjalar dan daunnya menutupi tanah dengan tujuan menghambat rerumputan lain hidup. Kedua, daun kacangan yang membusuk kelak berfungsi sebagai pupuk. Pola tanam seperti itu di Sumut mungkin sudah berusia puluhan tahun atau bahkan melampaui abad. 

Ya, di Sumut, sejak era kolonial, tanaman karet dibudidayakan secara besar-besaran, sejak industri ban mobil mulai tumbuh. Awalnya yang ditanam adalah karet jenis Ficus elastic pada 1864, lalu Hevea brasiliensis pada 1906 (M.C. Ricklefs: 2005). Orang-orang asing, terutama dari Eropa, kebanyakan membuka perkebunan di daerah Sumut. Apalagi posisinya di Selat Malaka yang pelabuhannya sudah terkenal sebagai tempat bertemunya para pebisnis dari berbagai belahan dunia sejak zaman kerajaan. 

Setelah karet berhasil, menyusul kemudian tanaman sawit menjadi primadona. Dari CPO (crude palm oil) yang juga menjadi komoditas ekspor membuat hasil bumi di Sumut bagaikan ''emas hijau''. Hasil ''kobun'' yang melimpah itu membuat pengusaha perkebunan sejahtera. Kemudian, Medan menjadi kota yang cukup maju dibanding kota-kota lain di Tanah Deli.

Sayangnya, selama berpuluh-puluh tahun, tanaman yang dikembangkan secara masal hanya dua jenis itu: karet atau sawit. Selebihnya seolah-olah layak dikesampingkan. Padahal, ada lahan yang cukup di sela-sela karet atau sawit untuk masa beberapa tahun sejak masa tanam. 

Baik di perkebunan milik perusahaan atau milik masyarakat, pola berkebun monokultur, mirip kebijakan politik monoloyalitas era Pak Harto, ini sungguh efektif. Mereka membabat habis tumbuhan lain di sekitarnya. Tidak ada tumpangsari-tumpangsarian. Tanaman selain karet atau sawit dicap sebagai gulma dan biang kegagalan tanaman inti. 

Saya pernah terpesona ketika menonton televisi tentang petani luar negeri yang lebih maju bercocok tanam di dalam gedung, atap rumah, atau bahkan di pot-pot. Melihat keberhasilan tersebut, saya pikir, alangkah hebatnya jika itu diterapkan di tanah sela-sela karet. Tapi, ide tersebut langsung saya potong, itu mustahil. Sebab, karet atau sawit tidak boleh diganggu tanaman lain.

Akhirnya, tulisan Manufacturing Hope (81) itu seolah menyentak kesadaran saya. Tidak ada yang mustahil di Nusantara yang tanahnya layak disebut potongan surga ini. Hujan yang turun setiap tahun membuat tanah selalu gembur dan memudahkan akar pisang serta pepaya calina yang ditanam PTPN VIII di Subang untuk mencari makan. Sinar matahari yang memancar sepanjang tahun membuat proses fotosentesis tanaman sorgum yang ditanam PTPN XII di Banyuwangi berjalan sehat. Sangat sayang jika tanah cuilan surga ini hanya untuk ''melayani'' tanaman yang homogen. Di samping itu, banyaknya ahli di Institut Pertanian Bogor (IPB) membuat Indonesia kaya bibit unggul, sehingga tidak perlu beli bibit dari luar negeri. 

Tulisan tersebut juga membongkar pola pikir saya. Ternyata, selama ini saya (mungkin juga pengusaha perkebunan kebanyakan) secara tidak sadar mengikuti cara berpikir pengusaha-pengusaha kolonial pada era penjajahan. Pengusaha kolonial tidak butuh menanam cabai, sayuran, jagung, pisang, atau tanaman lainnya. Mereka adalah orang kaya raya yang tidak akan demo jika harga cabai naik. Yang mereka pentingkan cuma getah karet atau CPO yang dibutuhkan pasar internasional. Anehnya, kami yang hidupnya pas-pasan selama ini bangga dengan pola pikir yang demikian. Tidak mau tanam kebutuhan dapur di ladang, tapi beli di pasar. 

Menurut saya, membongkar rasa bangga yang salah kaprah itulah yang menjadi tantangan berat berikutnya bagi BUMN. Sebab, di luar tanah yang dikuasai BUMN, masih banyak tanah milik masyarakat yang perlu ditanami pisang, pepaya, jagung, dan tanaman produktif lainnya. Mereka perlu dilibatkan agar bangsa mandiri pangan lebih mudah tercapai.

Panen besar-besaran yang berhasil di tanah milik PTPN bisa menjadi salah satu penularan efektif agar masyarakat mau meniru. Tanpa ada contoh yang berhasil, masyarakat pasti enggan menanami lahan karetnya karena mereka merasa tanaman lain sebagai musuh. 

Terima kasih Pak Dahlan, terima kasih BUMN, dan terima kasih IPB yang telah membuat kami bisa nyicil bangga dengan hasil pertanian Indonesia. ● 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar