|
KOMPAS,
19 Juni 2013
Api
tak akan menyala di Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah, Arab Saudi,
kalau saja perlindungan terhadap hak setiap buruh migran Indonesia telah
dilakukan dengan baik dan tanpa diskriminasi.
Tanpa
diskriminasi maksudnya pemerintah tak justru sibuk melabeli buruh migran dengan
status legal dan ilegal. Mereka yang ada di sana harus dipandang sebagai warga
negara Indonesia yang memang mesti dilindungi dan dilayani dengan baik.
Karena
itu tidak terjadi, mestinya tak perlu terlalu kaget apabila kemudian timbul
huru-hara, seraya mencari provokator untuk dijadikan kambing hitam.
Sumber
masalah
Sumber
masalah yang sesungguhnya adalah buruknya pelayanan dan birokrasi untuk
melayani kepentingan mereka yang terpaksa memilih menjadi buruh di luar negeri.
Pasti mereka lebih terhormat dan bermanfaat bagi Ibu Pertiwi ini daripada
mereka yang selalu membuat negeri ini bangkrut dengan korupsinya.
Menjadi
overstayer pasti bukan kehendak murni buruh migran Indonesia. Data Kementerian
Luar Negeri menunjukkan, sepanjang 2005-2010 sebanyak 123.486 WNI overstayer
yang dideportasi dari Arab Saudi.
Dari
jumlah itu, sebanyak 71 persen (88.737) adalah mereka yang telah jadi buruh
migran di sana. Sisanya (34.749) adalah mereka yang dimasukkan ke Arab melalui
rombongan umrah.
Masalah
overstayer ini lebih disebabkan pelanggaran perjanjian kerja yang berlaku
selama dua tahun kontrak kerja. Kebanyakan buruh migran yang bekerja melewati
masa tersebut karena majikan menahan secara sepihak tanpa disertai perpanjangan
dokumen, baik perjanjian kerja maupun dokumen keimigrasian.
Selain
itu, banyak juga pekerja rumah tangga migran yang terpaksa melarikan diri dari
rumah majikan karena perlakuan yang tak manusiawi. Dalam pelarian itu, mereka
jadi tidak berdokumen karena dokumen mereka ditahan oleh majikannya.
Persoalan
di atas sebenarnya dapat dicegah jika Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja
Indonesia Swasta (PPTKIS) yang menempatkan buruh migran bertanggung jawab penuh
atas keberadaan buruh migran selama bekerja.
Sebagai
pihak yang menempatkan, semestinya PPTKIS memiliki data kapan seharusnya buruh
migran harus pulang atau melakukan perpanjangan kontrak kerja. Sayangnya,
kepentingan untuk mendapatkan keuntungan membuat lupa tanggung jawab yang
sesungguhnya.
Di
saat yang sama, pemerintah juga lemah dalam mengawasi kinerja PPTKIS. Bahkan,
mereka bersimbiosis melakukan dan membiarkan pelanggaran demi pelanggaran hak
buruh migran. Hal ini setidaknya terlihat dari minimnya penegakan hukum
terhadap pelanggaran-pelanggaran serius yang telah terjadi.
Para
overstayer di Arab Saudi juga berasal dari rombongan umrah. Hal ini mestinya
juga harus diantisipasi. Sebab, tidak sedikit terjadi praktik penempatan buruh
migran di sana dengan menggunakan visa umrah.
Sekali
lagi, karena minimnya pengawasan terhadap biro umrah yang nakal, akhirnya
banyak yang memanfaatkan visa umrah untuk melakukan bisnis penempatan buruh
migran di Arab Saudi. Tak aneh bila beberapa PPTKIS juga mengembangkan bisnis
atau biro perjalanan umrah. Dalam kaitan ini, mestinya Kementerian Agama tidak
bisa tinggal diam.
Sayangnya,
sumber masalah overstayer selama ini relatif tidak disentuh. Pemerintah sampai
hari ini masih terlalu konservatif dalam menyelesaikan masalah overstayer,
yakni hanya menyelesaikan dampaknya. Tanpa meningkatkan pengawasan terhadap
PPTKIS dan biro perjalanan umrah, overstayer akan terus menjadi masalah.
Paradoks
kebijakan
Meskipun
saat ini Kerajaan Arab Saudi memberikan amnesti bagi warga asing yang bekerja
di sana, sesungguhnya ini hanya satu sisi kebijakan yang paradoks.
Hal
ini karena, bagi buruh migran, mereka tidak cukup hanya dengan dokumen surat
perjalanan laksana paspor. Mereka juga harus dapat exit permit dari sponsor (dalam hal ini adalah majikan) bagi yang
ingin pulang ke Indonesia. Tanpa itu mereka tetap tak bisa pulang ke Indonesia.
Situasi
ini disebabkan karena Arab Saudi dan beberapa negara tujuan buruh migran di
Timur Tengah memberlakukan sistem kafala atau sistem sponsorship. Dalam sistem kafala, buruh migran tidak bisa pindah
majikan atau keluar dari negara di mana bekerja tanpa izin atau persetujuan
dari sponsor/majikan.
Hal
ini sesungguhnya telah mendorong banyak organisasi masyarakat sipil dari
sejumlah negara mengampanyekan penghapusan sistem kafala. Sebab, dalam sistem
kafala, buruh migran semakin rentan menghadapi berbagai bentuk pelanggaran hak
asasi manusia, seperti gaji tak dibayar, penyiksaan, pemerkosaan, dan pelecehan
seksual, karena kuasa majikan selaku sponsor atas buruh migran.
Perlu
introspeksi dan evaluasi
Insiden
pembakaran di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah yang
mengakibatkan meninggalnya dua buruh migran asal Sampang dan NTB sungguh duka
yang mendalam bagi bangsa ini. Duka ini adalah tamparan bagi kita semua untuk
melakukan introspeksi dan evaluasi demi perbaikan pelayanan dan perlindungan
buruh migran.
Cukup
sudah perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang harus diterima oleh buruh
migran, terutama yang tidak berdokumen. Mereka adalah korban dari buruknya tata
kelola negara ini.
Pelayanan
bagi ribuan buruh migran yang tak berdokumen, yang memanfaatkan amnesti dari
Arab Saudi, mestinya berjalan dengan baik dan manusiawi jika pemerintah
mempersiapkannya secara matang. Persiapan tersebut bisa dimulai dari
sosialisasi, manajemen pelayanan, penambahan sumber daya manusia, koordinasi
lintas departemen dan dengan pemerintah pusat, serta penambahan fasilitas.
Sayangnya,
koordinasi baru dimulai 28 Mei 2013 dan penambahan fasilitas pelayanan, seperti
printer paspor, baru dikirim dari perwakilan RI di Malaysia ke Arab Saudi ketika
api telah menyala di KJRI Jeddah.
Akhirnya,
pemerintah mesti segera melakukan harmonisasi terhadap konvensi internasional
mengenai perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya yang telah
diratifikasi sejak 12 April 2012.
Pemerintah
harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh buruh migran
baik berdokumen maupun tidak. Untuk itu, harus secepatnya dirumuskan prosedur
operasi standar penanganan buruh migran tidak berdokumen berdasarkan prinsip
yang terkandung dalam konvensi tersebut. Maka, dengan ini semua, kita dapat
memadamkan api yang telah menyala itu. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar