Kamis, 20 Juni 2013

Api di KJRI Jeddah

Api di KJRI Jeddah
Anis Hidayah ;   Direktur Eksekutif Migrant Care
KOMPAS, 19 Juni 2013


Api tak akan menyala di Konsulat Jenderal Republik Indonesia Jeddah, Arab Saudi, kalau saja perlindungan terhadap hak setiap buruh migran Indonesia telah dilakukan dengan baik dan tanpa diskriminasi.
Tanpa diskriminasi maksudnya pemerintah tak justru sibuk melabeli buruh migran dengan status legal dan ilegal. Mereka yang ada di sana harus dipandang sebagai warga negara Indonesia yang memang mesti dilindungi dan dilayani dengan baik.

Karena itu tidak terjadi, mestinya tak perlu terlalu kaget apabila kemudian timbul huru-hara, seraya mencari provokator untuk dijadikan kambing hitam.

Sumber masalah

Sumber masalah yang sesungguhnya adalah buruknya pelayanan dan birokrasi untuk melayani kepentingan mereka yang terpaksa memilih menjadi buruh di luar negeri. Pasti mereka lebih terhormat dan bermanfaat bagi Ibu Pertiwi ini daripada mereka yang selalu membuat negeri ini bangkrut dengan korupsinya.

Menjadi overstayer pasti bukan kehendak murni buruh migran Indonesia. Data Kementerian Luar Negeri menunjukkan, sepanjang 2005-2010 sebanyak 123.486 WNI overstayer yang dideportasi dari Arab Saudi.
Dari jumlah itu, sebanyak 71 persen (88.737) adalah mereka yang telah jadi buruh migran di sana. Sisanya (34.749) adalah mereka yang dimasukkan ke Arab melalui rombongan umrah.

Masalah overstayer ini lebih disebabkan pelanggaran perjanjian kerja yang berlaku selama dua tahun kontrak kerja. Kebanyakan buruh migran yang bekerja melewati masa tersebut karena majikan menahan secara sepihak tanpa disertai perpanjangan dokumen, baik perjanjian kerja maupun dokumen keimigrasian.
Selain itu, banyak juga pekerja rumah tangga migran yang terpaksa melarikan diri dari rumah majikan karena perlakuan yang tak manusiawi. Dalam pelarian itu, mereka jadi tidak berdokumen karena dokumen mereka ditahan oleh majikannya.

Persoalan di atas sebenarnya dapat dicegah jika Pelaksana Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) yang menempatkan buruh migran bertanggung jawab penuh atas keberadaan buruh migran selama bekerja.

Sebagai pihak yang menempatkan, semestinya PPTKIS memiliki data kapan seharusnya buruh migran harus pulang atau melakukan perpanjangan kontrak kerja. Sayangnya, kepentingan untuk mendapatkan keuntungan membuat lupa tanggung jawab yang sesungguhnya.

Di saat yang sama, pemerintah juga lemah dalam mengawasi kinerja PPTKIS. Bahkan, mereka bersimbiosis melakukan dan membiarkan pelanggaran demi pelanggaran hak buruh migran. Hal ini setidaknya terlihat dari minimnya penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran serius yang telah terjadi.

Para overstayer di Arab Saudi juga berasal dari rombongan umrah. Hal ini mestinya juga harus diantisipasi. Sebab, tidak sedikit terjadi praktik penempatan buruh migran di sana dengan menggunakan visa umrah.
Sekali lagi, karena minimnya pengawasan terhadap biro umrah yang nakal, akhirnya banyak yang memanfaatkan visa umrah untuk melakukan bisnis penempatan buruh migran di Arab Saudi. Tak aneh bila beberapa PPTKIS juga mengembangkan bisnis atau biro perjalanan umrah. Dalam kaitan ini, mestinya Kementerian Agama tidak bisa tinggal diam.

Sayangnya, sumber masalah overstayer selama ini relatif tidak disentuh. Pemerintah sampai hari ini masih terlalu konservatif dalam menyelesaikan masalah overstayer, yakni hanya menyelesaikan dampaknya. Tanpa meningkatkan pengawasan terhadap PPTKIS dan biro perjalanan umrah, overstayer akan terus menjadi masalah.

Paradoks kebijakan

Meskipun saat ini Kerajaan Arab Saudi memberikan amnesti bagi warga asing yang bekerja di sana, sesungguhnya ini hanya satu sisi kebijakan yang paradoks.

Hal ini karena, bagi buruh migran, mereka tidak cukup hanya dengan dokumen surat perjalanan laksana paspor. Mereka juga harus dapat exit permit dari sponsor (dalam hal ini adalah majikan) bagi yang ingin pulang ke Indonesia. Tanpa itu mereka tetap tak bisa pulang ke Indonesia.

Situasi ini disebabkan karena Arab Saudi dan beberapa negara tujuan buruh migran di Timur Tengah memberlakukan sistem kafala atau sistem sponsorship. Dalam sistem kafala, buruh migran tidak bisa pindah majikan atau keluar dari negara di mana bekerja tanpa izin atau persetujuan dari sponsor/majikan.
Hal ini sesungguhnya telah mendorong banyak organisasi masyarakat sipil dari sejumlah negara mengampanyekan penghapusan sistem kafala. Sebab, dalam sistem kafala, buruh migran semakin rentan menghadapi berbagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, seperti gaji tak dibayar, penyiksaan, pemerkosaan, dan pelecehan seksual, karena kuasa majikan selaku sponsor atas buruh migran.

Perlu introspeksi dan evaluasi

Insiden pembakaran di depan Konsulat Jenderal Republik Indonesia (KJRI) Jeddah yang mengakibatkan meninggalnya dua buruh migran asal Sampang dan NTB sungguh duka yang mendalam bagi bangsa ini. Duka ini adalah tamparan bagi kita semua untuk melakukan introspeksi dan evaluasi demi perbaikan pelayanan dan perlindungan buruh migran.

Cukup sudah perlakuan tidak adil dan diskriminatif yang harus diterima oleh buruh migran, terutama yang tidak berdokumen. Mereka adalah korban dari buruknya tata kelola negara ini.

Pelayanan bagi ribuan buruh migran yang tak berdokumen, yang memanfaatkan amnesti dari Arab Saudi, mestinya berjalan dengan baik dan manusiawi jika pemerintah mempersiapkannya secara matang. Persiapan tersebut bisa dimulai dari sosialisasi, manajemen pelayanan, penambahan sumber daya manusia, koordinasi lintas departemen dan dengan pemerintah pusat, serta penambahan fasilitas.

Sayangnya, koordinasi baru dimulai 28 Mei 2013 dan penambahan fasilitas pelayanan, seperti printer paspor, baru dikirim dari perwakilan RI di Malaysia ke Arab Saudi ketika api telah menyala di KJRI Jeddah.

Akhirnya, pemerintah mesti segera melakukan harmonisasi terhadap konvensi internasional mengenai perlindungan terhadap buruh migran dan anggota keluarganya yang telah diratifikasi sejak 12 April 2012.
Pemerintah harus dapat memastikan adanya jaminan perlindungan bagi seluruh buruh migran baik berdokumen maupun tidak. Untuk itu, harus secepatnya dirumuskan prosedur operasi standar penanganan buruh migran tidak berdokumen berdasarkan prinsip yang terkandung dalam konvensi tersebut. Maka, dengan ini semua, kita dapat memadamkan api yang telah menyala itu.  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar