Sabtu, 22 Juni 2013

Deret Kematian

Deret Kematian
Todung Mulya Lubis ;   Ketua Dewan Pendiri Imparsial
KOMPAS, 21 Juni 2013


Eksekusi terpidana mati kembali dilakukan kejaksaan. Setelah merasakan pahitnya penjara lebih dari 15 tahun, Jurit bin Abdullah, Ibrahim bin Ujang, dan Suryadi Swabuana bin Sukarno mengembuskan napas terakhirnya di Nusa Kambangan di hadapan regu tembak kepolisian.

Angka-angka kematian belum berhenti dan akan terus bertambah. Enam orang akan dieksekusi kejaksaan dalam waktu dekat. Setelah itu entah berapa lagi yang akan dieksekusi.

Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mencatatkan rekor tertinggi dalam melakukan eksekusi terpidana mati di masa reformasi. Dua puluh orang telah dieksekusi selama dua periode kepemimpinan SBY. Meski tren di tingkat internasional banyak negara sudah menghapuskan hukuman mati, setidaknya melakukan de facto moratorium, Indonesia justru menunjukkan arus sebaliknya: gencar sekali melakukan praktik hukuman mati!

Dari 193 negara anggota PBB, 97 telah menghapus hukuman mati, 35 negara melakukan moratorium penghentian eksekusi mati, 8 negara menghapus hukuman mati dalam kejahatan khusus, dan 53 negara masih menerapkan hukuman mati, termasuk Indonesia.

Paradoks kemanusiaan

Pembunuhan berencana yang dilakukan tiga terpidana mati yang baru saja dieksekusi merupakan tindak kejahatan yang tidak bisa dibenarkan dan harus dihukum. Tindakan itu tak hanya melukai korban dan keluarganya, tetapi juga melukai rasa kemanusiaan kita. Meskipun demikian, menghukum mati tiga orang itu adalah keliru karena bertentangan dengan prinsip kemanusiaan dan hak asasi manusia.

Kekuasaan yang beradab seharusnya berpikir dan bertindak untuk terus dan terus merawat kehidupan. Kekuasaan yang otentik sejatinya menjadikan kehidupan sebagai nilai tertinggi. Di sini, praktik hukuman mati menjadi paradoks kemanusiaan karena berimplikasi pada hilangnya kehidupan seseorang.

Mencabut nyawa manusia, baik itu dilakukan dengan tindakan pembunuhan maupun dengan menghukum mati pelaku pembunuhan, sejatinya memiliki esensi yang sama. Mencabut nyawa manusia adalah tindakan yang mengikis peradaban manusia dan semestinya ditolak dengan alasan apa pun.

Dalam masyarakat yang beradab, fungsi hukum bukan lagi sebagai fungsi yang bersifat balas dendam. Fungsi hukum yang memandang nyawa dibayar dengan nyawa adalah cerminan dari hukum rimba yang tidak selaras lagi dengan keadaban masa kini. Fungsi hukum seharusnya diletakkan sebagai sarana kontrol dan koreksi sosial atas kejahatan yang terjadi.

Hukuman mati mengandung logika yang meletakkan beban tanggung jawab dari sebuah kejahatan semata-mata hanya ditekankan dan dibebankan kepada pelaku kejahatan. Dalam hukuman mati terkandung logika: pelaku seolah biangnya masalah sosial sehingga ia harus disingkirkan dari masyarakat, tidak boleh diberikan kesempatan untuk hidup karena akan menjadi ancaman. Padahal, tindakan kejahatan di masyarakat sesungguhnya tidak terjadi dalam ruang yang kosong. Tindak kejahatan hampir semuanya bermula dari ketidakadilan dan kemiskinan.

Pada masa kini, tindak kejahatan tidak bisa lagi dilihat hanya dari kacamata kesalahan individu si pelaku. Kompleksnya dinamika kehidupan sosial telah menempatkan tindak kriminalitas itu sebagai bagian dari produk sosial di mana negara dan lingkungan sosial secara langsung atau tidak langsung memberi kontribusi atas terjadinya kejahatan. Apalagi dalam zaman yang terbuka karena revolusi teknologi informasi yang membuka lebih banyak ruang bagi kejahatan.

Persoalan kemiskinan, ketakadilan, keterbelakangan pendidikan, korupsi yang mewabah, dan persoalan sosial lainnya tentu secara langsung atau tidak berkontribusi atas terjadinya aksi kejahatan. Di sini, negara dan masyarakat tidak bisa lepas dari tanggung jawab atas terjadinya kejahatan sehingga logika penghukuman dengan menghilangkan nyawa seseorang semestinya tidak dibenarkan. Menjadi tidak adil jika beban kesalahan dan tanggung jawab suatu kejahatan dibebankan semata-mata hanya kepada si pelaku kejahatan dengan menghilangkan nyawanya.

Selain itu, alasan penggunaan hukuman mati untuk memberikan efek jera kepada pelaku kejahatan secara faktual tidak terbukti. Tidak ada korelasi positif antara hukuman mati dan naik-turunnya angka kejahatan. Dalam kasus kejahatan yang diancam oleh hukuman mati, seperti kejahatan narkotika, sejak kampanye kebijakan hukuman mati dijalankan secara intensif kenyataannya tingkat kejahatan narkotika tetap tinggi. Dengan kata lain, persoalan ini menunjukkan bahwa lingkungan sosial dan kegagalan negara juga tidak bisa dilepaskan dari kejahatan yang terjadi.

Derita sebelum kematian

Praktik hukuman mati menyimpan luka penderitaan bagi para terpidana mati karena menunggu proses eksekusi yang tidak sebentar. Dalam tiga kasus terpidana mati yang terakhir dieksekusi kejaksaan, lebih kurang mereka harus menunggu 15 tahun pahitnya tahanan penjara.

Sebagian besar kasus hukuman mati yang telah dieksekusi di Indonesia hampir semua harus menunggu masa eksekusi yang panjang. Jika dilihat dari jumlah total 25 eksekusi mati di Era Reformasi, hampir semua menjalani kurungan penjara paling sedikitnya lima tahun. Tercatat hanya satu terpidana yang eksekusinya dilakukan tidak sampai setahun sejak vonis pertama dijatuhkan. Bahkan, di antara yang telah dieksekusi itu, ada yang telah mendekam di penjara lebih dari 10 tahun. Fenomena ini sering disebut juga dengan fenomena deret kematian.

Dalam konteks itu, korban eksekusi mati sesungguhnya tidak hanya mengalami satu bentuk hukuman berupa hukuman mati, tetapi juga menjalani hukuman lain berupa hukuman penjara. Di sini, para korban sesungguhnya mendapatkan hukuman ganda dan berlipat, yakni hukuman mati plus hukuman penjara.
Tak hanya itu, para terpidana mati juga mengalami penyiksaan sebagai akibat dari fenomena deret kematian. Persoalan ini memberikan tekanan psikologis tersendiri bagi mereka. Setiap waktu mereka dihadapkan pada penantian kematian yang tidak pasti. Setiap pagi dan setiap malam para terpidana mati membayangkan peristiwa kematian dan hal itu tentunya jadi bentuk penyiksaan tersendiri. Kondisi ini mereka alami bertahun-tahun.

Meski sejumlah terpidana mati telah menyesali kesalahannya pada masa lalu dan menunjukkan perbaikan diri, hal itu tidak dijadikan dasar pertimbangan untuk mengubah hukumannya.


Sudah saatnya praktik penerapan hukuman mati dihentikan, diganti hukuman seumur hidup. Langkah terdekat yang bisa dilakukan pemerintah adalah segera melakukan moratorium pelaksanaan hukuman mati di Indonesia dengan menghentikan penjatuhan vonis mati baru terhadap pelaku kejahatan ataupun menghentikan eksekusi terpidana mati. Dalam jangka panjang, tentu saja penghapusan seluruh UU yang mencantumkan hukuman mati menjadi penting dilakukan demi dan atas nama kemanusiaan dan konstitusi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar