|
REPUBLIKA, 30 Mei 2013
Laku
klenik adalah suatu perilaku yang berhubungan dengan kepercayaan akan hal-hal
yang mengandung rahasia dan tidak masuk akal. Di Indonesia laku klenik bukanlah
aneh, malah dianggap hal biasa. Mulai dari rakyat kecil sampai pejabat,
pengusaha dan politisi acap melakukannya. Mulai dari keperluan mencari jodoh,
penglarisan, menang pemilu/pilkada, naik jabatan, bahkan sampai hal negatif
seperti santet, tenung, dan gendam.
Tidak
terkecuali dalam konteks politik, politisi kita pun tidak sepi dari klenik.
Apalagi menjelang pemilu/pilkada, laku klenik bercampur baur dengan lelaku politik.
Rasionalitas bergumul mesra dengan nilai-nilai irasional. Motifnya apalagi
kalau bukan memenangkan atau melanggengkan tampuk kekuasaan.
Demi
mempertahankan posisi politik, politisi kadang menghalalkan pelbagai cara.
Meminta bantuan dukun adalah salah satu cara. Dalam sebuah kesempatan, hal ini
dibenarkan oleh politisi DPR Ruhut Sitompul. Dia bahkan sering dipameri rekan
sesama politisi Senayan benda-benda azimat yang dipercaya sakti.
Hal
senada juga dikemukakan se- orang pengamat politik-militer di Solo yang pernah
menuturkan praktik klenik calon presiden. Pengamat itu menuturkan, ada seorang
calon presiden pada 2009 yang mengerahkan ratusan jaringan paranormal guna
membantu partainya memperoleh suara. Katanya, pada malam pencoblosan itu para
paranormal berkonsentrasi di beberapa kota di Indonesia.
Ratusan paranormal dikerahkan untuk memengaruhi pemilih agar memilih partai si
calon presiden itu.
Contoh
lebih gamblang diuraikan seorang paranormal asal Surabaya, Ki Sabdo Jagad Royo.
Dalam sebuah acara di salah satu stasiun televisi swasta, ia bersaksi tentang
kewajiban lelaku klien nya yang mayoritas politisi dan pejabat demi mendapat
keinginan mereka. Katanya, agar mujarab, mereka harus menjalankan laku dan
ngelmu sepuh, seperti puasa mutih, pemanfaatan sesirik, mantra kawibawaan,
mantra penggawe, tapa kungkum, dan
lain-lain.
Ringkasnya,
politisi perlu semacam forecasting
melalui praktik klenik. Sebab, setidaknya, menurut mereka, politik tidak bisa
melulu didekati dengan teori dan mengandalkan perhitungan matematika politik.
Katanya, dalam politik, ada keadaan-keadaan tertentu yang sebagai manusia biasa
tidak cukup bisa ditangkap oleh rasio. Oleh karenanya, politisi memerlukan jasa
seorang paranormal untuk melakukan forecasting,
sehingga mereka bisa `melihat' dimensi politik secara lengkap.
Mistifikasi
politik Gambaran laku klenik politisi seperti itu dalam politik Indonesia
sebenarnya sudah pernah ditegaskan Benedict Anderson (1972) dalam tulisannya `the Idea of Power in Javanese Culture'.
Anderson mengatakan, politik Indonesia sangat dipengaruhi kultur Jawa yang memang
dekat dengan hal-hal mistik dan metafisik. Spiritualitas politisi kita kerap
berkait dengan dukun, paranormal, dan laku klenik.
Anderson
apik mencandrakan mistifikasi politik Indonesia yang akrab dengan supernatural power. Dimensi keyakinan
pada kekuatan supernatural itu membuat para politisi bersedia pergi ke tempat-tempat
keramat dan mau mendatangi dukun, paranormal, atau `orang pintar' guna
menjembatani jalinan `komunikasi' dengan penguasa semesta raya. Penting
dicatat, laku klenik sejatinya hanya mencederai citra dan hakikat politik.
Akhirnya, politik dianggap tidak lurus, segala cara dilakukan guna mencapai
tujuan politik. Ajaran agama pun diabaikan demi tujuan politik. Meski
Rasulullah SAW pernah bersabda, "Siapa
saja yang mendatangi seorang peramal (dukun dan sejenisnya), lalu bertanya kepadanya
tentang sesuatu, maka shalatnya tidak diterima selama empat puluh malam."
(HR Muslim).
Sejatinya
pula, kecenderungan para politisi berklenik adalah bentuk sikap yang lebih
mementingkan kekuasaan daripada memikirkan masalah rakyat.
Mistifi kasi politik seperti itu hanyalah mengalihkan esensi politik yang
nyata, rasional, dan terukur, menjadi persoalan yang kabur, mitos, penuh
misteri, khurafat, dan tahayul. Padahal, politik sesungguhnya adalah urusan
amanah dan upaya mewujudkan good life.
Melalui
politik pula perwujudan dakwah amar
makruf nahi mungkar bisa ditegakkan. Mestinya, peran politisi dalam
kehidupan bangsa dan negara diwujudkan dalam langkah-langkah politis strategis
dan taktis sesuai kepribadian, keyakinan, dan cita-cita hidup, serta khittah
perjuangan guna mewujudkan baldatun thoyyibatun wa rabbun ghafur.
Politik rasional
Untuk
itu, politik mestilah dibangun atas dasar rasionalitas. Empati dan suara
konstituen harus diraih dengan cara halal, yaitu memengaruhi pikiran dan nurani
mereka dengan pelbagai gagasan cerdas dan program yang populis-realistis.
Argumentasi politisi tidak boleh berdasar pada nilai transendental, apalagi
klenik dalam menjaring massa. Tetapi, haruslah bersandar pada nilai-nilai
keutamaan warga, seperti demokrasi, HAM, dan keadilan sosial.
Politisi
harus berani menciptakan diskursus dan berpolemik habis-habisan di ruang publik
guna meyakinkan publik secara rasional. Harga kekuasaan dibayar bukan dengan
cara klenik, melainkan dengan kerja politik, yaitu mendekatkan diri pada
konstituen seraya menggugah nalar publik.
Rasionalitas
kerja politik seperti itu sekurang-kurangnya melibatkan optimalisasi tiga hal.
Pertama, penentuan pilihan tindakan politik terbaik untuk mencapai tujuan
politik berdasarkan keinginan, keyakinan, dan konsepsi politik yang dimiliki. Kedua,
konsepsi politik haruslah merupakan pilihan terbaik dari sejumlah kemungkinan
yang bisa dibentuk berdasarkan bukti otentik dan argumentasi rasional. Ketiga,
konsepsi politik juga wajib memiliki konsistensi, dalam arti tidak manipulatif
dan membodohi konstituen. Dengan begitu, politisi bisa menghayati
keterlibatannya dalam setiap proses politik rasional sebagai sebuah pelaksanaan
prinsip, keyakinan, atau idealisme.
Semuanya
menjadi bagian integral identitas diri sang politisi dan tidak bisa begitu saja
digadai menjadi sekadar instrumen reproduksi, akumulasi, atau maksimalisasi
kekuasaan berdasarkan lelaku klenik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar