|
REPUBLIKA, 29 Mei 2013
Angka
pengangguran di Tanah Air terutama dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan.
Dalam tiga tahun terakhir ini, misalnya, angka pengangguran turun dari 7,41
persen pada Februari 2010 menjadi 6,80 persen pada Februari 2011, kemudian
turun lagi menjadi 6,32 persen pada Februari 2012 dan 5,92 persen pada Februari
2013 (BPS, 2013).
Namun,
penurunan angka pengangguran selama tiga tahun itu menunjukkan adanya
perlambatan. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kesempatan kerja menuju ke
titik jenuh. Maka, untuk mengatasi perlambatan itu, tampaknya diperlukan upaya
lain, antara lain, dengan mendorong kewirausahaan. Pertimbangan ini didasarkan
pada kenyataan bahwa masih cukup ruang untuk meningkatkan kewirausahaan di
Tanah Air.
Terbukanya
ruang untuk mengembangkan kewirausahaan itu tecermin dari rendahnya capaian peringkat
indeks kewirausahaan di Tanah Air dibandingkan negara-negara lain yang telah
mengalami kemajuan di bidang kewirausahaan.
Laporan The Global Entrepreneurship and
Development Index 2013, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia berada di
peringkat ke-76 dari 118 negara.
Di
kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia,
Brunei, dan Thailand. Adapun peringkat Singapura berada di posisi ke-13,
Malaysia ke-56, Brunei ke-63, dan Thailand ke-64 dari 118 negara.
Ukuran kemajuan Secara faktual, upaya untuk mengembangkan kewirausahaan bukan
hanya untuk memperluas kesempatan kerja tapi juga untuk meraih kemajuan bangsa.
Selama ini kewirausahaan berjalan seiring dengan kemajuan suatu bangsa atau
negara. Keterkaitan antara kewirausahaan dan kemajuan bangsa itu antara lain
diungkapkan oleh Porter (2002), yakni dengan membagi tiga tahapan kemajuan
negara; pada tahap pertama faktor pendorong, tahap kedua faktor efi siensi, dan
tahap ketiga faktor inovasi.
Tahap
pertama ditandai dengan proporsi penduduk yang besar bekerja sendiri di sektor
pertanian. Pada tahap ini produk yang dihasilkan umumnya memiliki nilai tambah
yang rendah. Sementara, tahap kedua dicerminkan dengan berkurangnya proporsi
penduduk yang bekerja sendiri di sektor pertanian dan beralih ke sektor
lainnya, terutama industri dan jasa. Pada tahap ini produktivitas pekerja
memiliki peran vital sehingga diperlukan efisiensi, antara lain, melalui
aplikasi teknologi. Dengan cara demikian nilai tambah produk yang dihasilkan
akan meningkat.
Selanjutnya,
tahap ketiga direfleksikan dengan meningkatnya kegiatan yang dilakukan secara
mandiri. Pada tahap ini pengetahuan amat penting untuk menghasilkan produk baru
sebagai wujud dari inovasi sehingga menghasilkan nilai tambah yang semakin
tinggi. Maka, dengan mencermati ketiga tahap itu, tampak bahwa inovasi memiliki
peran penting untuk meraih kemajuan bangsa atau negara. Adapun inovasi itu
banyak dijalankan oleh wirausaha, antara lain, dengan menghasilkan produk baru,
dan cara pemasaran baru. Dengan demikian, semakin besar proporsi penduduk yang
bekerja sebagai wirausaha di suatu negara mencirikan semakin maju negara itu.
Pada tahap pertama, kegiatan inovasi itu sekitar 5 persen, tahap kedua sebesar
10 persen, dan tahap ketiga sebesar 30 persen (Acs. et.al, 2009).
Sejumlah persyaratan
Potensi
untuk meningkatkan kewirausahaan itu terutama diharapkan datang dari lulusan
perguruan tinggi. Sebab, mereka telah memiliki pengetahuan yang cukup luas
untuk melakukan inovasi, baik dalam desain produk baru, manajemen baru, dan
cara pemasaran baru. Namun, hal itu memang tidak mudah dilakukan karena lulusan
perguruan tinggi tidak cukup dibekali pengetahuan untuk berinovasi. Maka, tak
heran jika mayoritas lulusan perguruan tinggi berharap dapat memperoleh
pekerjaan dan bukan menciptakan pekerjaan.
Mereka
yang tidak memperoleh pekerjaan terpaksa menganggur. Berdasarkan hasil Survei
Angkatan Kerja Nasional Februari 2013, diperoleh catatan bahwa sekitar 5,65
persen penduduk berpendidikan diploma dan sekitar 5,04 persen penduduk
berpendidikan universitas berstatus sebagai penganggur (BPS, 2013). Cukup
banyaknya penganggur terdidik itu merupakan potensi yang hilang (potential loss) dalam perolehan pendapatan
untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, potensi yang hi lang itu kian
bertambah jika dimasukkan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk
penyelenggaraan pendidikan mereka.
Sebenarnya,
potensi yang hilang itu bisa menjadi potensi yang menguntungkan jika seandainya
mereka dibekali berbagai ilmu pengetahuan untuk menjalankan kewirausahaan.
Smith dan Petersen (2006) menjelaskan bahwa jiwa kewirausahaan dapat didorong
melalui pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan, skills, dan motivasi dengan
orientasi memulai usaha baru, dan memperkenalkan produk atau jasa baru.
Selain
menambah pengetahuan tentang berwirausaha, pemerintah juga perlu memberikan
faktor kemudahan dalam menjalankan kewirausahaan, seperti surat izin mendirikan
usaha, kredit permodalan, infrastruktur, dan pembebasan pungutan liar.
Pemberian surat izin yang lama dan proses yang rumit, infrastruktur yang kurang
memadai, peraturan daerah yang beragam, serta pungutan liar yang marak akan
menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Padahal, salah satu faktor penting untuk
menuju tahapan akhir kemajuan bangsa yang berlandaskan inovasi adalah efisiensi
seperti yang diungkapkan Acs et al (2009).
Berbagai
upaya kiranya diperlukan guna pengembangan kewirausahaan di Tanah Air. Sebab,
pengembangan kewirausahaan itu tidak hanya untuk mengatasi sempitnya kesempatan
kerja, tapi juga untuk meraih kemajuan bangsa. Eloknya, pengembangan kewirausahaan
itu sejalan dengan prinsip globalisasi yang mengedepankan daya saing yang
berlandaskan pada inovasi sebagai faktor mendasar kewirausahaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar