Senin, 03 Juni 2013

Peran Kewirausahaan

Peran Kewirausahaan
Razali Ritonga;  Direktur Statistik Kependudukan dan Ketenagakerjaan BPS RI 
REPUBLIKA, 29 Mei 2013


Angka pengangguran di Tanah Air terutama dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan penurunan. Dalam tiga tahun terakhir ini, misalnya, angka pengangguran turun dari 7,41 persen pada Februari 2010 menjadi 6,80 persen pada Februari 2011, kemudian turun lagi menjadi 6,32 persen pada Februari 2012 dan 5,92 persen pada Februari 2013 (BPS, 2013). 

Namun, penurunan angka pengangguran selama tiga tahun itu menunjukkan adanya perlambatan. Ini sekaligus mengisyaratkan bahwa kesempatan kerja menuju ke titik jenuh. Maka, untuk mengatasi perlambatan itu, tampaknya diperlukan upaya lain, antara lain, dengan mendorong kewirausahaan. Pertimbangan ini didasarkan pada kenyataan bahwa masih cukup ruang untuk meningkatkan kewirausahaan di Tanah Air.

Terbukanya ruang untuk mengembangkan kewirausahaan itu tecermin dari rendahnya capaian peringkat indeks kewirausahaan di Tanah Air dibandingkan negara-negara lain yang telah mengalami kemajuan di bidang kewirausahaan.
Laporan The Global Entrepreneurship and Development Index 2013, misalnya, menunjukkan bahwa Indonesia berada di peringkat ke-76 dari 118 negara.

Di kawasan Asia Tenggara, peringkat Indonesia berada di bawah Singapura, Malaysia, Brunei, dan Thailand. Adapun peringkat Singapura berada di posisi ke-13, Malaysia ke-56, Brunei ke-63, dan Thailand ke-64 dari 118 negara.
Ukuran kemajuan Secara faktual, upaya untuk mengembangkan kewirausahaan bukan hanya untuk memperluas kesempatan kerja tapi juga untuk meraih kemajuan bangsa. Selama ini kewirausahaan berjalan seiring dengan kemajuan suatu bangsa atau negara. Keterkaitan antara kewirausahaan dan kemajuan bangsa itu antara lain diungkapkan oleh Porter (2002), yakni dengan membagi tiga tahapan kemajuan negara; pada tahap pertama faktor pendorong, tahap kedua faktor efi siensi, dan tahap ketiga faktor inovasi.

Tahap pertama ditandai dengan proporsi penduduk yang besar bekerja sendiri di sektor pertanian. Pada tahap ini produk yang dihasilkan umumnya memiliki nilai tambah yang rendah. Sementara, tahap kedua dicerminkan dengan berkurangnya proporsi penduduk yang bekerja sendiri di sektor pertanian dan beralih ke sektor lainnya, terutama industri dan jasa. Pada tahap ini produktivitas pekerja memiliki peran vital sehingga diperlukan efisiensi, antara lain, melalui aplikasi teknologi. Dengan cara demikian nilai tambah produk yang dihasilkan akan meningkat.

Selanjutnya, tahap ketiga direfleksikan dengan meningkatnya kegiatan yang dilakukan secara mandiri. Pada tahap ini pengetahuan amat penting untuk menghasilkan produk baru sebagai wujud dari inovasi sehingga menghasilkan nilai tambah yang semakin tinggi. Maka, dengan mencermati ketiga tahap itu, tampak bahwa inovasi memiliki peran penting untuk meraih kemajuan bangsa atau negara. Adapun inovasi itu banyak dijalankan oleh wirausaha, antara lain, dengan menghasilkan produk baru, dan cara pemasaran baru. Dengan demikian, semakin besar proporsi penduduk yang bekerja sebagai wirausaha di suatu negara mencirikan semakin maju negara itu. Pada tahap pertama, kegiatan inovasi itu sekitar 5 persen, tahap kedua sebesar 10 persen, dan tahap ketiga sebesar 30 persen (Acs. et.al, 2009).

Sejumlah persyaratan

Potensi untuk meningkatkan kewirausahaan itu terutama diharapkan datang dari lulusan perguruan tinggi. Sebab, mereka telah memiliki pengetahuan yang cukup luas untuk melakukan inovasi, baik dalam desain produk baru, manajemen baru, dan cara pemasaran baru. Namun, hal itu memang tidak mudah dilakukan karena lulusan perguruan tinggi tidak cukup dibekali pengetahuan untuk berinovasi. Maka, tak heran jika mayoritas lulusan perguruan tinggi berharap dapat memperoleh pekerjaan dan bukan menciptakan pekerjaan. 

Mereka yang tidak memperoleh pekerjaan terpaksa menganggur. Berdasarkan hasil Survei Angkatan Kerja Nasional Februari 2013, diperoleh catatan bahwa sekitar 5,65 persen penduduk berpendidikan diploma dan sekitar 5,04 persen penduduk berpendidikan universitas berstatus sebagai penganggur (BPS, 2013). Cukup banyaknya penganggur terdidik itu merupakan potensi yang hilang (potential loss) dalam perolehan pendapatan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi. Bahkan, potensi yang hi lang itu kian bertambah jika dimasukkan biaya yang dikeluarkan pemerintah untuk penyelenggaraan pendidikan mereka. 

Sebenarnya, potensi yang hilang itu bisa menjadi potensi yang menguntungkan jika seandainya mereka dibekali berbagai ilmu pengetahuan untuk menjalankan kewirausahaan. Smith dan Petersen (2006) menjelaskan bahwa jiwa kewirausahaan dapat didorong melalui pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan, skills, dan motivasi dengan orientasi memulai usaha baru, dan memperkenalkan produk atau jasa baru. 

Selain menambah pengetahuan tentang berwirausaha, pemerintah juga perlu memberikan faktor kemudahan dalam menjalankan kewirausahaan, seperti surat izin mendirikan usaha, kredit permodalan, infrastruktur, dan pembebasan pungutan liar. Pemberian surat izin yang lama dan proses yang rumit, infrastruktur yang kurang memadai, peraturan daerah yang beragam, serta pungutan liar yang marak akan menyebabkan biaya ekonomi tinggi. Padahal, salah satu faktor penting untuk menuju tahapan akhir kemajuan bangsa yang berlandaskan inovasi adalah efisiensi seperti yang diungkapkan Acs et al (2009).

Berbagai upaya kiranya diperlukan guna pengembangan kewirausahaan di Tanah Air. Sebab, pengembangan kewirausahaan itu tidak hanya untuk mengatasi sempitnya kesempatan kerja, tapi juga untuk meraih kemajuan bangsa. Eloknya, pengembangan kewirausahaan itu sejalan dengan prinsip globalisasi yang mengedepankan daya saing yang berlandaskan pada inovasi sebagai faktor mendasar kewirausahaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar