|
REPUBLIKA, 30 Mei 2013
Salah
satu isu pemberitaan yang sedang hangat diberitakan oleh media televisi
Indonesia adalah soal penghargaan World
Statesmen Award kepada Presiden Susilo Bambang Yudhoyono. Pemberian
penghargaan ini diberikan atas dasar keberhasilan presiden dalam menjaga toleransi
kehidupan masyarakat Indonesia.
Namun
demikian, ada sebagian elemen masyarakat (LSM) yang keberatan dengan pemberian
penghargaan tersebut dengan alasan masih terjadi dan berlangsung intoleransi
yang dilakukan oleh masyarakat mayoritas terhadap minoritas. Bahkan, kelompok
mayoritas tersebut dianggap sebagai kelompok fundamentalis atau
ekstremis.
Ketidaksetujuan
mereka selanjutnya diberitakan di media televisi dengan menampilkan video
rekaman-rekaman kekerasan yang dilakukan oleh kelompok mayoritas. Video-video
tersebut di putar secara berulang-ulang seolah sedang menggiring opini
masyarakat tentang intoleransi yang terjadi di Indonesia.
Ketika melihat pemberitaan di media televisi Indonesia, kita akan melihat tiga hal utama yang selalu diberitakan secara berulang-ulang dari dulu hingga sekarang.
Ketika melihat pemberitaan di media televisi Indonesia, kita akan melihat tiga hal utama yang selalu diberitakan secara berulang-ulang dari dulu hingga sekarang.
Yang
pertama adalah tentang intoleransi pendirian tempat ibadah. Masyarakat
mayoritas Indonesia dianggap sebagai masyarakat yang intoleran terhadap
pembangunan tempat ibadah. Salah satu yang selalu dimunculkan dalam media
pemberitaan media televisi adalah sulitnya mendirikan gereja. Masalah ini sudah
lama menjadi polemik dan selalu ditampilkan di media televisi. Masyarakat
mayoritas selalu diposisikan sebagai elemen yang tidak toleran terhadap
pembangunan tempat ibadah.
Kalau
melihat persentase jumlah tempat ibadah di Indonesia, mungkin orang akan
bertanya mengapa media masih memberitakan intoleransi di Indonesia.
Berdasarkan data, pertumbuhan tempat ibadah umat Islam hanya 64,22 persen,
rumah ibadah Katolik sebesar 153 persen, rumah ibadah umat Hindu sebesar 368,9
persen, dan rumah ibadah umah Buddha sebesar 475,25 persen.
Apakah
media televisi pernah memberitakan tentang persentase perkembangan tempat
ibadah tersebut? Saya yakin pasti tidak. Inilah salah satu intoleransi media
televisi kita dalam memberitakan kasus intoleransi di Indonesia. Kalau melihat
permasalahan secara lebih komprehensif, sebenarnya masalah intoleransi juga
terjadi tidak hanya untuk pendirian gereja.
Masyarakat
Muslim juga mengalami kesulitan mendirikan tempat ibadah di Bali dan Papua.
Namun, mengapa yang diberitakan hanya intoleransi masyarakat mayoritas? Kalau
melihat permasalahan secara jernih dan berdasar asas hukum, permasalahan
tersebut bukan terkait dengan intoleransi, melainkan lebih kepada status hukum
pendirian.
Selanjutnya,
masalah kedua adalah tentang intoleransi masyarakat mayori tas terhadap
minoritas Syiah di Indonesia, khususnya kasus di Jawa Timur. Banyak elemen
masyarakat yang menganggap keberadaan kaum Syiah terancam karena adanya
intoleransi. Media televisi Indonesia selalu memberitakan bahwa kaum
minoritas Syiah adalah kaum tertindas karena mereka tidak dapat menjalankan
ibadah dengan bebas.
Pemberitaan ini selalu diulang untuk sekian lama, namun
media tidak pernah memberitakan tentang asal-usul terjadinya polemik
tersebut. Bukankah akibat selalu didahului oleh sebab? Mengapa media tidak
pernah melihat dan memberitakan tentang alasan apa masyarakat mayoritas
sedemikian intoleran terhadap minoritas Syiah?
Ini bukan
hanya menjadi tanggung jawab pihak-pihak yang berwenang, melainkan juga menjadi
tanggung jawab kita semua sebagai bagian dari masyarakat Indonesia, termasuk
media televisi. Pemberitaan yang tidak menampilkan informasi yang seimbang
dan mendidik dapat menciptakan permasalahan yang tak berujung. Bukankah dengan
pemberitaan tersebut sebenarnya masyarakat mayoritas juga tertindas secara
teologis kalau kita mau melihat permasalahan secara lebih teliti?
Permasalahan
yang ketiga yang selalu menjadi pemberitaan media televisi adalah kasus Ahmadiyah.
Media televisi selalu menampilkan adegan-adegan kekerasan yang dilakukan oleh
masyarakat mayoritas terhadap jemaat Ahmadiyah, seperti pemukulan, perusakan
rumah, penyerangan terhadap tempat ibadah Ahmadiyah, dan sebagainya.
Sekali lagi,
media lalai untuk melihat sebuah permasalahan secara komprehensif, yakni
melihat permasalahan yang menjadi penyebab intoleransi mayoritas terhadap
minoritas. Masyarakat Indonesia butuh berita yang seimbang sehingga akan
meningkatkan kualitas pemahaman terhadap berita yang ditampilkan media
televisi.
Kita
berharap media bisa menjadi salah satu elemen untuk menciptakan toleransi
kehidupan masyarakat Indonesia dengan menampilkan berita-berita yang mendidik
dan seimbang. Janganlah menjadi bagian intoleransi tersebut layaknya negara
Amerika yang selalu mendikte kasus HAM di seluruh negara di dunia, termasuk di
Indonesia, namun Amerikalah salah satu negara pelanggar HAM terberat di dunia. Semoga media televisi tidak memiliki agenda
tersendiri dengan pemberitaan-pemberitaan tersebut. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar