|
KORAN TEMPO, 07 Juni 2013
Kenapa, setelah reformasi, diskursus dan kajian pedesaan
perlahan menghilang dari agenda para intelektual Indonesia? Atau, kenapa
politik kemakmuran desa meredup, menghilang, dan seperti tak terhiraukan lagi
dalam ruang publik media massa pada era reformasi ini (yang entah sampai
kapan!)? Setelah Soeharto lengser, diskursus desa dalam arus sosial, politik,
budaya, dan ekonomi praktis sepi-senyap dan hampir menghilang, serta hanya
segelintir orang yang masih membicarakan dan meneliti perihal desa.
Hal ini berbeda jauh khususnya dengan masa Soeharto, yang
menghasilkan begitu banyak penelitian, penerbitan buku, pemberitaan media massa
yang bahkan menyediakan rubrik desa, dan ada proyek koran masuk desa, dan tentu
saja banyak intelektual dari yang terkemuka sampai yang berada di kampus-kampus
yang memperhatikan, mengadakan penelitian, dan menerbitkan pemikiran mereka,
juga membuat mata kuliah tentang desa.
Bisa dikatakan, sejak zaman Belanda sampai zaman Seoharto,
semua intelektual yang memasuki masalah kebudayaan dan ekonomi mau tidak mau
harus memikirkan dan menulis perihal desa. Kita masih bisa membaca karya-karya
mereka di perpustakaan dalam bidang sosiologi pedesaan, ekonomi pembangunan,
antropologi, kebudayaan, sastra, filsafat, teknologi, dan sebagainya.
Ada atau tiada
Kalau kita membaca buku-buku atau hasil penelitian, kita
bisa sedikit berkesimpulan bahwa desa sudah tidak lagi menjadi diskursus utama
para ilmuwan Indonesia. Desa hampir tidak ada. Tapi, menurut data terbaru, pada
2001 jumlah desa di Indonesia mencapai 61.562. Dan sepuluh tahun berikutnya,
atau 2012, jumlahnya menjadi 72.944 desa dengan tingkat pertumbuhan rata-rata
2,4 persen per tahun. Desa terus bertambah, bahkan jauh melebihi pertambahan
area perkotaan dengan/seiring adanya pemekaran wilayah yang terjadi di beberapa
daerah.
Selain itu, yang dulu juga menjadi salah satu alasan utama
kajian-kajian pedesaan, pada Maret 2011, angka kemiskinan di pedesaan mencapai
15,72 persen, sedangkan di perkotaan sebesar 9,23 persen (BPS, 2011). Dan data
per September 2012 mencatat bahwa 63,25 persen penduduk miskin di Indonesia
tinggal di pedesaan.
Data ini juga harus dicermati dengan melihat perkembangan
teknologi transportasi yang melanda pedesaan hampir di seluruh Indonesia:
sepeda motor. Perkembangan ini belum pernah terjadi sebelumnya dalam sejarah
ekonomi Indonesia. Bisa dibilang, sebagian penduduk desa bisa leluasa
keluar-masuk kota dengan berbagai alasan, khususnya ekonomi, yang dimungkinkan
oleh mobilitas yang cepat dan efisien. Inilah yang bisa disebut urbanisasi
nomadik. Hal ini bisa dilihat di pedesaan Madura setelah beroperasinya Jembatan
Suramadu, dan beberapa daerah lainnya.
Dan yang tak kalah penting, sampai saat ini kriteria area
desa sering dan semakin kabur akibat perkembangan dan pembangunan kota yang
semakin menyentuh area yang sebelumnya disebut desa. Pembangunan jalan raya,
pemekaran wilayah menjadi kota-kota baru, merangseknya pembangunan
cabang-cabang bank ke desa-desa, perkembangan teknologi informasi yang melanda
desa, dan sebagainya. Sederhananya: "urbanisasi" area, bukan manusia
yang berpindah ke kota.
Maka, pertanyaannya: desa masih ada atau sudah bisa kita
anggap tiada? Secara umum, kalau kita melihat tanggapan pemerintah yang sedang
menyiapkan pengesahan RUU Desa, kita bisa dengan pasti mengatakan bahwa desa
masih memiliki eksistensi. Begitu juga perangkat administrasi-birokratis desa,
masih tetap ada di seluruh Indonesia. Dan tentu saja, penduduk desa masih
banyak seperti data di atas. Tapi, secara akademis, desa kehilangan daya
tariknya untuk jadi kajian.
Akhir pembangunanisme
Setidaknya ada dua penyebab untuk hal ini. Pertama,
runtuhnya apa yang sering disebut "pembangunanisme", yang menjadi
kata kunci utama selama masa Soeharto berkuasa, dan dipakai hampir dalam semua
kajian akademis dalam berbagai bidang ilmu, khususnya ilmu terapan. Tapi, secara
umum, kritik terhadap "pembangunanisme" pada awalnya bukan dari
kajian yang dihasilkan dari Indonesia sendiri, melainkan dari kajian yang
datang dari Amerika Latin, atau dunia ketiga lainnya, yang gagal menerapkan
"pembangunanisme".
Ini artinya, seperti dikatakan Ignas Kleden, kajian
teoretis sendiri di Indonesia memang tidak menjadi hal yang begitu penting.
Ilmuwan Indonesia lebih sering hanya mengoper atau mengadopsi dengan berbagai
modifikasi, dari berbagai teori yang dikembangkan, khususnya di dunia pertama,
dan ilmuwan kita berguru pada mereka. Sayangnya, inilah salah satu politik ilmu
pengetahuan yang mereka jalankan. Dan semakin tajam kritiknya saat kita,
lagi-lagi, mendapati kritik terhadap "pembangunanisme" dari
lingkungan di mana teori-teori itu dikembangkan di Eropa dan Amerika.
Kedua, terjadi pergeseran area kajian dalam dunia akademis,
dari yang dulu banyak difokuskan pada desa, sekarang kajian perkotaan menjadi
sangat mendominasi. Kita bisa mengatakan, untuk menyebut beberapa, cultural
studies, kajian media, sosiologi perkotaan, kajian religi, antropologi
perkotaan, termasuk kajian tentang lingkungan yang masih lebih difokuskan pada
kota.
Maka, secara umum kita bisa mengatakan bahwa, meski desa
adalah permasalahan kita sendiri, secara keilmuan-kedesaan kita tidak membuat
ilmunya sendiri. Masih ada ketergantungan. Akibatnya, saat pusat pengembangan
keilmuan mengalami pergeseran dan perubahan paradigma, kita terpaksa
mengikutinya, bahkan tanpa melihat realitas obyektif yang terjadi di lapangan.
Yang tampak kemudian adalah ambivalensi dalam menyikapi
perubahan yang terjadi di desa-desa. Dalam politik kemakmuran desa, kita itu
mau membangun desa agar tetap menjadi desa (agraris) atau mau membangun desa
agar menjadi kota, atau apa? Bahwa telah terjadi modernisasi desa dengan tiga
modus, yakni rasionalisasi kebudayaan, teknologisasi warga, dan birokratisasi
politik desa, itu terjadi karena globalisasi yang melanda desa yang tidak
terbendung, bukan atas perencanaan yang matang.
Begitu juga, sebenarnya sangat mencolok bagaimana RUU Desa
sampai sekarang masih tetap belum disahkan, bukan karena dukungan keilmuan yang
masih ingin menundanya, baik karena masalah paradigma pembangunan desa maupun
masalah teknis operasional. Melainkan lebih disebabkan oleh masalah politis
terkait dengan pengalokasian dana desa. Dengan pengesahan RUU Desa, setiap desa
akan mendapatkan rata-rata Rp 922 juta. Ini angka yang bisa sarat kepentingan
politis, baik di kalangan elite desa maupun pada Pemilu 2014 nanti.
Maka, semangat mengembalikan otonomi dan demokrasi desa
dalam politik dan ekonomi dalam RUU Desa tampaknya masih akan menyisakan satu
pertanyaan penting: pada akhirnya, sebagai basis politik kemakmuran
desa-Indonesia, kita mau menghilangkan desa dengan membuat kota-kota baru, atau
akan tetap mempertahankan desa, atau membangun manusia kota tapi tetap
mempertahankan desa-desa terutama terkait dengan politik pangan-bahan. Ah,
sayang ilmuwan dan intelektual kita tampaknya masih belum tertarik memikirkan
desa lagi. Mereka sudah telanjur jadi manusia kota. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar