|
KOMPAS, 07 Juni 2013
Sudah cukup lama diwacanakan apakah uang BUMN, termasuk badan
hukum yang didirikan negara, seperti Lembaga Penjamin Simpanan atau universitas
berstatus badan hukum, merupakan uang negara.
Bagi aparat penegak hukum, kerugian keuangan badan usaha milik
negara adalah kerugian keuangan negara. Karena itu, mereka kerap mendakwa
pengurus BUMN dengan UU Tindak Pidana Korupsi bila terjadi kerugian di BUMN.
Pertentangan
Menurut UU Keuangan Negara, keuangan BUMN merupakan keuangan
negara. Ini terlihat dalam Pasal 2 huruf (g) yang menentukan keuangan negara
termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah.
Selanjutnya, Pasal 2 huruf (i) menentukan keuangan negara meliputi kekayaan
pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.
Demikian pula menurut Pasal 1 angka (1) UU Perbendaharaan
Negara. Dinyatakan, perbendaharaan negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi dan kekayaan yang
dipisahkan. Bahkan, dalam Penjelasan UU Tipikor disebutkan bahwa keuangan
negara adalah seluruh kekayaan negara dalam bentuk apa pun, yang dipisahkan
atau yang tidak dipisahkan.
Namun, di sisi lain, Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN menyebutkan,
modal BUMN merupakan dan berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Di
sinilah terjadi pertentangan antar-UU.
Secara doktrin, jika telah dipisahkan, tidak tepat menganggap
keuangan BUMN sebagai keuangan negara. Paling tidak ada tiga alasan yang
mendasari pemikiran ini. Pertama, uang yang telah dipisahkan menjadi milik BUMN
dan negara memperoleh saham atas modal yang telah disetorkan. Saham inilah yang
dicatatkan sebagai kekayaan negara. Namun, apabila uang yang disetor ke BUMN
tetap dinyatakan sebagai uang negara, secara akuntansi akan ada dua kali
penghitungan atas obyek yang sama.
Ini berlaku ketika negara melakukan penyetoran modal tidak
berupa uang tunai, tetapi berupa barang, semisal tanah. Tanah yang dimiliki dan
sertifikatnya atas nama negara apabila disetor menjadi modal BUMN, maka negara
akan mendapatkan saham. Sementara tanah menjadi milik BUMN dan dapat
dibalik-namakan dari negara ke BUMN. Dalam konteks demikian tidak terjadi dua
kali penghitungan atas obyek yang sama karena negara tidak mencatatkan saham
dan tanah yang telah disetorkan sebagai aset dalam neracanya.
Kedua, keuangan BUMN tidak bisa diperlakukan sebagai keuangan
negara karena secara alamiah mengelola keuangan negara beda dengan mengelola
keuangan BUMN. Dalam pengelolaan uang, negara bukanlah entitas yang mencari
untung dan bisa menderita kerugian atas suatu keputusan bisnis. Apa yang telah
dialokasikan di APBN secara teoretis harus diserap penuh.
Ini berbeda dengan BUMN. Layaknya sebuah badan usaha, BUMN
bisa mendapatkan keuntungan, tetapi juga bisa merugi. BUMN bisa rugi karena
wanprestasi atau perbuatan melawan hukum dari mitranya. Bila ini terjadi, penyelesaiannya
dilakukan secara perdata. Bila kerugian dikarenakan masalah administratif dari
pengurus dan pegawainya, diselesaikan secara administratif.
Namun, jika dalam kerugian BUMN terdapat niat jahat (criminal
intent) dari pengurus atau pegawainya, wajib diselesaikan secara pidana. Adalah
ganjil apabila kerugian karena perdata ataupun administratif diselesaikan
secara pidana.
Ketiga, secara doktrin, mengategorikan keuangan BUMN sebagai
keuangan negara sudah bertentangan dengan konsep ”uang publik” dan ”uang
privat”. Konsep pemisahan uang publik dan uang privat dikenal dalam pengadaan
barang dan jasa oleh pemerintah, diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 54 Tahun
2010.
Sepanjang uang berasal dari APBN atau APBD, Perpres No 54/2010
berlaku. Namun, tidak demikian bagi entitas yang didirikan oleh negara yang
mendapatkan dana dari negara, tetapi telah dipisahkan. Dalam proses pengadaan
barang dan jasa, entitas itu tidak tunduk pada perpres. Dalam pengadaan barang
dan jasa di lingkungan BUMN, ketentuan yang berlaku adalah surat keputusan
direksi.
Niat jahat
Aparat penegak hukum kerap menyidik, menuntut, bahkan memvonis
bersalah pengurus BUMN karena adanya kerugian negara tanpa melihat dan
membuktikan unsur ”niat jahat”. Padahal, niat jahat (mens rea) dan perbuatan
jahat (actus reus) untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi
sangat penting dalam menentukan proses pidana.
Memperkaya orang lain atau korporasi pun tak cukup sekadar ”harga
yang menguntungkan”. Tentu harus ditelusuri dan dibuktikan keuntungan yang
didapat adalah hasil konspirasi jahat dengan pihak yang memberikan keuntungan
tersebut.
Harus diakui, dalam Pasal 2 dan 3 UU Tipikor tidak tercermin
keharusan membuktikan adanya niat jahat. Dalam kedua pasal tersebut tidak
ditemukan istilah ”dengan sengaja”. Kata ”dengan sengaja” dalam hukum mempunyai
makna harus adanya niat dan perbuatan jahat. Namun, harus dipahami dalam tindak
pidana korupsi tanpa niat jahat tak mungkin ada korupsi.
Meski UU Tipikor tidak mencantumkan kata-kata ”dengan
sengaja”, dalam tindak pidana korupsi harus tetap dibuktikan adanya niat jahat
untuk memperkaya secara tidak sah. Jika tidak, kelalaian bahkan kerugian karena
keputusan bisnis dalam BUMN akan berujung pada adanya tindak pidana korupsi.
Inilah yang terjadi pada sejumlah pengurus BUMN meski sebagian dari mereka
mendapat putusan bebas dari pengadilan.
Fenomena ini tentu tidak kondusif bagi pengurus BUMN karena
mereka tidak akan berani mengambil keputusan bisnis dengan risiko komersial
karena selalu dibayang-bayangi kekhawatiran tuduhan korupsi. Pada gilirannya
BUMN bila dibandingkan dengan perusahaan swasta sejenis akan tidak kompetitif.
Tinjau kembali
Guna menghentikan wacana yang telah memakan korban, sudah
waktunya UU Keuangan Negara dan UU Perbendaharaan Negara ditinjau kembali,
termasuk penjelasan dalam UU Tipikor. Peninjauan bisa dilakukan melalui proses
Mahkamah Konstitusi (uji materi) yang saat ini telah ada pemohonnya atau
melalui pembentuk UU (legislative review).
Tentu semangat antikorupsi wajib terus didengungkan. Korupsi
harus diberantas. Hanya saja, jangan sampai seseorang harus mendekam di lembaga
pemasyarakatan semata-mata ada kerugian negara, sementara niat jahat untuk
merugikan keuangan negara tidak ada.
Perlu dipahami, oknum yang memiliki niat jahat untuk
memperkaya secara tidak sah sebenarnya tidak hanya ada di sektor pemerintahan.
Di sektor swasta pun bisa terjadi. Oleh karena itu, Konvensi PBB Antikorupsi
dalam Pasal 21 dan 22 mengamanatkan kepada negara-negara peserta untuk
mengkriminalkan pelaku korupsi di sektor swasta. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar