|
TEMPO.CO, 07 Juni 2013
Untuk yang kedua kalinya, Tun Dr
Mahathir Mohamad menyambangi sivitas akademika Universitas Muhammadiyah
Yogyakarta pada Senin (3 Juni 2013) dalam acara pembukaan dan kuliah umum
“Mahathir Global Peace School”. Tahun lalu, tepatnya pada 4 September 2012,
mantan Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Perdana
Global Peace Foundation (PGPF) ini pernah menyampaikan orasi ilmiah yang
bertajuk “Kedamaian Sejagat dan Kriminalisasi Perang: Inisiatif Serantau”.
Topik orasi tersebut relevan dengan
kondisi mutakhir dunia dewasa ini yang masih diwarnai konflik dan
peperangan—dengan segala akibat dan dampak destruktifnya--baik yang berupa
potensi di kawasan Asia maupun yang sudah termanifestasi seperti di belahan
Asia Tengah dan Asia Barat serta Afrika. Mengutip pandangan Mahathir Mohamad,
perang tidak lagi menjadi solusi untuk menyelesaikan pertikaian di antara dua
negara. Perang juga tidak bisa menjamin terwujudnya keadilan bagi pihak yang
semula dirugikan. Perang hanya berarti pembunuhan manusia secara besar-besaran.
Karena itu, lebih baik perang itu diharamkan dan diberikan ancaman hukuman
berat bagi mereka yang sengaja mencetuskan peperangan.
Selama satu dekade terakhir,
sebagaimana pernah dilansir dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (Dephan
RI, 2008), isu keamanan kawasan yang menonjol adalah isu terorisme, ancaman
keamanan lintas negara, dan konflik komunal. Sementara itu, dalam skala
terbatas, di beberapa negara masih terdapat konflik antarnegara yang berbasis
pada klaim territorial, seperti perselisihan wilayah Kashmir antara India dan
Pakistan, permasalahan di Semenanjung Korea, konflik antara Libanon dan Israel,
masalah perdamaian Israel dengan Palestina, serta persoalan Cina-Taiwan.
Belum juga konflik dan potensi
peperangan tersebut menemukan jalan damai, konflik dan penindasan terhadap
etnik Rohingya di Myanmar, paling tidak selama dua tahun terakhir, menambah
panjang daftar kasus konflik dan kekerasan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan
eskalasi yang memanas dan bisa mengancam kawasan Asia dan perdamaian dunia, di
samping ikut mempengaruhi perubahan peta kekuatan dunia dari bipolar menjadi
multipolar dan merusak stabilitas keamanan sebagai ikutannya.
Perubahan peta kekuatan dan
stabilitas keamanan tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat bukan lagi
satu-satunya kekuatan dunia dan pemegang kendali sebagai polisi dunia. Kendati
Rusia belum bisa menunjukkan taringnya secara optimal, kehadiran Cina, Iran,
dan India (untuk menyebut beberapa negara) dengan kekuatan besar militernya
semakin memperjelas terbentuknya multipolaritas. Perubahan peta ini juga
kemudian menciptakan pola-pola hubungan dan dinamika yang berbeda-beda.
Perkembangan selama sepuluh tahun
belakangan ini, dituliskan Rizal Sukma (2007), menunjukkan bahwa dinamika
hubungan di antara kekuatan-kekuatan besar, khususnya antara AS, Cina, dan
Rusia, ditandai oleh pola-pola hubungan kompetitif dan kooperatif sekaligus.
Proses transisi dari unipolar moment pasca-Perang Dingin
merupakan alasan utama dari berimpitnya dua karakter kontradiktif ini. Struktur
politik internasional yang senantiasa mengalami penyesuaian-penyesuaian
struktural global (global structural adjustments) merupakan
bagian dari sebuah proses atau siklus rise and fall of great
powers (kemunculan dan kejatuhan kekuatan-kekuatan besar).
Perang dan peperangan merupakan
antitesis dari damai dan perdamaian. Setiap negara dan bangsa di belahan mana
pun, termasuk dunia internasional, pada dasarnya tidak ada yang menyukai
peperangan. Bagi bangsa Indonesia sendiri, istilah perdamaian global atau
perdamaian dunia bukan hanya bernilai historis, tapi juga telah menjadi salah
satu amanat konstitusi dan cita-cita yang harus diwujudkan, baik dalam
berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat internasional.
Berkenaan dengan hal itu pula,
Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak
ringan untuk menampilkan perannya dalam perdamaian dunia guna memperkokoh
stabilitas kawasan yang menguntungkan semua negara. Masalah dan tantangan
tersebut, baik yang bersifat internal maupun eksternal, perlu segera dicarikan
jalan penyelesaiannya bagi kepentingan dalam negeri dan luar negeri.
Secara internal, banyak hal bisa
dilakukan oleh pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya
masyarakat, institusi pendidikan, dan segenap komponen bangsa lainnya untuk memperkuat
aksentuasi gerakan perdamaian global. Dimulai dari struktur dan lingkup sosial
yang kecil, kemudian didiseminasikan ke dalam berbagai kalangan dan institusi.
Salah satu pilihan yang bisa diambil adalah dengan menghidupkan kembali program
pendidikan perdamaian secara intensif di jalur formal, informal, dan nonformal.
Pendidikan perdamaian pada dasarnya
merupakan bagian atau subsistem dari civic education karena
salah satu tujuan khusus dari pendidikan kewarganegaraan ini—mengutip Zamroni (2007)—adalah
mengembangkan jiwa dan semangat untuk membangun perdamaian dengan segala
tindakan dan ekspresi yang diperlukan. Di samping memberikan stressing pada
pembangunan karakter bangsa secara partisipatoris, pendidikan perdamaian juga
menggarisbawahi pentingnya pemekaran pikiran dan tindakan yang toleran,
humanis, dan sadar kemajemukan. Pendidikan perdamaian adalah juga untuk
mengelola konflik, membudayakan dialog, dan mengaliskan peperangan agar harkat
dan martabat umat manusia menjadi terjaga.
Pilihan tersebut sangat strategis
karena konflik dan peperangan sebagai sebuah aksi atau tindakan pada mulanya
berasal dari cara berpikir atau isi pikiran seseorang dan kelompok. Karena itu,
benar apa yang pernah diungkapkan oleh Teuku Jacob (2004), perang lahir dalam
otak manusia, dan di situlah perang harus diakhiri dan perdamaian dimulai.
Mencegah perang, atau lebih jauh lagi, mencapai perdamaian, bukanlah dengan
melarang pembicaraan tentang sebab-sebab perang atau konflik. Untuk mencapai
perdamaian, kita harus berani mendedah dan membedah gangguan perdamaian berupa
perang, konflik, kekerasan, dan penderitaan. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar