Minggu, 09 Juni 2013

Aksentuasi (Pendidikan) Perdamaian Global

Aksentuasi (Pendidikan) Perdamaian Global
Asep Purnama Bahtiar ;    Wakil Dekan FAI Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
TEMPO.CO, 07 Juni 2013


Untuk yang kedua kalinya, Tun Dr Mahathir Mohamad menyambangi sivitas akademika Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Senin (3 Juni 2013) dalam acara pembukaan dan kuliah umum “Mahathir Global Peace School”. Tahun lalu, tepatnya pada 4 September 2012, mantan Perdana Menteri Malaysia yang sekarang menjadi pucuk pimpinan Perdana Global Peace Foundation (PGPF) ini pernah menyampaikan orasi ilmiah yang bertajuk “Kedamaian Sejagat dan Kriminalisasi Perang: Inisiatif Serantau”.

Topik orasi tersebut relevan dengan kondisi mutakhir dunia dewasa ini yang masih diwarnai konflik dan peperangan—dengan segala akibat dan dampak destruktifnya--baik yang berupa potensi di kawasan Asia maupun yang sudah termanifestasi seperti di belahan Asia Tengah dan Asia Barat serta Afrika. Mengutip pandangan Mahathir Mohamad, perang tidak lagi menjadi solusi untuk menyelesaikan pertikaian di antara dua negara. Perang juga tidak bisa menjamin terwujudnya keadilan bagi pihak yang semula dirugikan. Perang hanya berarti pembunuhan manusia secara besar-besaran. Karena itu, lebih baik perang itu diharamkan dan diberikan ancaman hukuman berat bagi mereka yang sengaja mencetuskan peperangan.

Selama satu dekade terakhir, sebagaimana pernah dilansir dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia (Dephan RI, 2008), isu keamanan kawasan yang menonjol adalah isu terorisme, ancaman keamanan lintas negara, dan konflik komunal. Sementara itu, dalam skala terbatas, di beberapa negara masih terdapat konflik antarnegara yang berbasis pada klaim territorial, seperti perselisihan wilayah Kashmir antara India dan Pakistan, permasalahan di Semenanjung Korea, konflik antara Libanon dan Israel, masalah perdamaian Israel dengan Palestina, serta persoalan Cina-Taiwan.

Belum juga konflik dan potensi peperangan tersebut menemukan jalan damai, konflik dan penindasan terhadap etnik Rohingya di Myanmar, paling tidak selama dua tahun terakhir, menambah panjang daftar kasus konflik dan kekerasan. Kasus-kasus tersebut menunjukkan eskalasi yang memanas dan bisa mengancam kawasan Asia dan perdamaian dunia, di samping ikut mempengaruhi perubahan peta kekuatan dunia dari bipolar menjadi multipolar dan merusak stabilitas keamanan sebagai ikutannya.

Perubahan peta kekuatan dan stabilitas keamanan tersebut menunjukkan bahwa Amerika Serikat bukan lagi satu-satunya kekuatan dunia dan pemegang kendali sebagai polisi dunia. Kendati Rusia belum bisa menunjukkan taringnya secara optimal, kehadiran Cina, Iran, dan India (untuk menyebut beberapa negara) dengan kekuatan besar militernya semakin memperjelas terbentuknya multipolaritas. Perubahan peta ini juga kemudian menciptakan pola-pola hubungan dan dinamika yang berbeda-beda.

Perkembangan selama sepuluh tahun belakangan ini, dituliskan Rizal Sukma (2007), menunjukkan bahwa dinamika hubungan di antara kekuatan-kekuatan besar, khususnya antara AS, Cina, dan Rusia, ditandai oleh pola-pola hubungan kompetitif dan kooperatif sekaligus. Proses transisi dari unipolar moment pasca-Perang Dingin merupakan alasan utama dari berimpitnya dua karakter kontradiktif ini. Struktur politik internasional yang senantiasa mengalami penyesuaian-penyesuaian struktural global (global structural adjustments) merupakan bagian dari sebuah proses atau siklus rise and fall of great powers (kemunculan dan kejatuhan kekuatan-kekuatan besar).

Perang dan peperangan merupakan antitesis dari damai dan perdamaian. Setiap negara dan bangsa di belahan mana pun, termasuk dunia internasional, pada dasarnya tidak ada yang menyukai peperangan. Bagi bangsa Indonesia sendiri, istilah perdamaian global atau perdamaian dunia bukan hanya bernilai historis, tapi juga telah menjadi salah satu amanat konstitusi dan cita-cita yang harus diwujudkan, baik dalam berbangsa dan bernegara maupun bermasyarakat internasional.

Berkenaan dengan hal itu pula, Indonesia saat ini tengah menghadapi berbagai masalah dan tantangan yang tidak ringan untuk menampilkan perannya dalam perdamaian dunia guna memperkokoh stabilitas kawasan yang menguntungkan semua negara. Masalah dan tantangan tersebut, baik yang bersifat internal maupun eksternal, perlu segera dicarikan jalan penyelesaiannya bagi kepentingan dalam negeri dan luar negeri.

Secara internal, banyak hal bisa dilakukan oleh pemerintah, organisasi kemasyarakatan, lembaga swadaya masyarakat, institusi pendidikan, dan segenap komponen bangsa lainnya untuk memperkuat aksentuasi gerakan perdamaian global. Dimulai dari struktur dan lingkup sosial yang kecil, kemudian didiseminasikan ke dalam berbagai kalangan dan institusi. Salah satu pilihan yang bisa diambil adalah dengan menghidupkan kembali program pendidikan perdamaian secara intensif di jalur formal, informal, dan nonformal.

Pendidikan perdamaian pada dasarnya merupakan bagian atau subsistem dari civic education karena salah satu tujuan khusus dari pendidikan kewarganegaraan ini—mengutip Zamroni (2007)—adalah mengembangkan jiwa dan semangat untuk membangun perdamaian dengan segala tindakan dan ekspresi yang diperlukan. Di samping memberikan stressing pada pembangunan karakter bangsa secara partisipatoris, pendidikan perdamaian juga menggarisbawahi pentingnya pemekaran pikiran dan tindakan yang toleran, humanis, dan sadar kemajemukan. Pendidikan perdamaian adalah juga untuk mengelola konflik, membudayakan dialog, dan mengaliskan peperangan agar harkat dan martabat umat manusia menjadi terjaga.


Pilihan tersebut sangat strategis karena konflik dan peperangan sebagai sebuah aksi atau tindakan pada mulanya berasal dari cara berpikir atau isi pikiran seseorang dan kelompok. Karena itu, benar apa yang pernah diungkapkan oleh Teuku Jacob (2004), perang lahir dalam otak manusia, dan di situlah perang harus diakhiri dan perdamaian dimulai. Mencegah perang, atau lebih jauh lagi, mencapai perdamaian, bukanlah dengan melarang pembicaraan tentang sebab-sebab perang atau konflik. Untuk mencapai perdamaian, kita harus berani mendedah dan membedah gangguan perdamaian berupa perang, konflik, kekerasan, dan penderitaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar