|
SUARA
KARYA, 12 Juni 2013
Terminologi alih daya (outsourcing) sebenarnya tidak pernah
secara gamblang disebutkan dalam regulasi ketenagakerjaan yang ada di
Indonesia. Banyak kalangan menilai dan berpendapat bahwa UU No 13 Tahun 2003
dan Kepmen No 220/Men/X/2004 menjadi titik tolak basis regulasi praktik alih
daya di Indonesia. Sejak saat itu, praktik alih daya menjadi trend baru
korporasi di Tanah Air. Baik instansi pemerintah, korporasi swasta, hingga BUMN
berlomba-lomba meningkatkan produktivitas dan efisiensi dengan menggunakan jasa
tenaga alih daya (outsourcing).
Pada awalnya tenaga alih daya
diperuntukkan bagi pekerjaan-pekerjaan penunjang (non core job), namun dalam perjalanannya tenaga alih daya juga
digunakan pada kegiatan inti perusahaan (produksi).
Pada instansi pemerintah tenaga
alih daya biasa disebut pegawai honorer, pada perusahaan multi nasional (MNC)
kerap menggunakan terminologi kontraktor. Namun, pada prinsipnya sama, baik
honorer, kontraktor, maupun tenaga alih daya (outsourcing). Mereka adalah pekerja yang pada intinya mengandung
pengertian sama, yaitu pekerja yang dipekerjakan dengan kontrak kerja dalam
waktu tertentu. Regulasi terbaru tentang alih daya ialah Permenakertrans
(Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi) No 19 Tahun 2012 yang
mengatur mengenai jenis pekerjaan yang boleh menggunakan jasa outsourcing (alih
daya) dan jenis pola hubungan kerja. Berdasarkan regulasi ini, terdapat lima
jenis pekerjaan yang boleh menggunakan tenaga alih daya meliputi: jasa
keamanan, jasa transportasi, jasa katering, jasa pembersihan, serta jasa migas
dan pertambangan. Dari segi substansi sebenarnya aturan baru mengenai alih daya
ini tidak membawa perubahan signifikan dan substansial dari pangkal persoalan
tenaga alih daya, yaitu kesejahteran tenaga kerja.
Beberapa waktu lalu, di depan
kantor Kementerian BUMN, Serikat Pekerja 'Outsourcing' BUMN yang menamankan
diri Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI) melakukan aksi demonstrasi
besar-besaran dengan mengerahkan sekitar 15 ribu orang. Aksi tersebut menuntut
dua hal penting.
Pertama, masalah pendapatan atau
upah tenaga outsourcing di BUMN saat
ini, yang dinilai terjadi gap yang
sangat jauh dibandingkan dengan karyawaan tetap (permanent employee). Padahal, di lapangan beban kerja dan tanggung
jawab karyawan outsourcing kadangkala sama atau bahkan melebihi dari pegawai
tetap. Tentu, hal ini menimbukan kecemburuan dan kegelisahaan di antara para
karyawan outsourcing.
Kesenjangan
pendapatan mengakibatkan pemenuhan hak-hak tenaga alih daya terhadap
pendidikan, kesehatan dan hak-hak dasar lainnya menjadi sangat terbatas. Kedua,
jenjang karier para tenaga outsourcing
di banyak BUMN juga sering tidak ada kejelasan, karena tidak adanya sistem
promosi bagi para tenaga outsourcing untuk menjadi karyawaan tetap (permanent employee). Tentu, tak seorang
pun ingin menjadi karyawan outsourcing
sepanjang hidupnya. Di banyak BUMN dapat kita jumpai banyak karyawan outsourcing dengan masa kerja sudah
tahunan dan bahkan puluhan tahun, namum tak kunjung diangkat menjadi karyawan
tetap.
Kedua soal utama ini oleh Menteri
BUMN Dahlan Iskan juga diamini dan akhirnya masalah ini dibawanya ke Senayan
dalam kesempatan bersidang dengan anggota DPR. Tujuan Menteri Dahlan Iskan
tentu agar terbit regulasi baru dari dewan soal polemik outsourcing BUMN.
Tidak Adil
Pancasila adalah salah satu pilar
penting dalam berbangsa dan bernegara. Pancasila juga menjadi norma dasar (ground norm) yang mengatur segala
tindak-tanduk kita sebagai manusia Indonesia. Bila kita renungkan secara lebih
mendalam, Pancasila dan praktik alih daya sesungguhnya sangat berjarak dan bisa
dikatakan saling menjauh.
Sila kelima Pancasila
mengamanatkan kita semua untuk senantiasa mengusahaan 'keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia'. Tanpa memandang apakah dia pegawai tetap atau tenaga
alih daya, mamun jika ia tercatat sebagai warga Indonesia wajib memperoleh
keadian sosial (kesejahteraan). Praktik alih daya memang tidak memiliki
argumentasi logis yang cukup kuat untuk dihapuskan karena praktik alih daya
telah menjadi kebiasaan internasional yang dipraktikkan oleh
perusahaan-perusahaan internasioal di seluruh dunia. Tetapi, kiranya upaya
korektif yang substansial perlu terus-menerus diupayakan para pemangku
kepentingan demi keadilan sosial rakyat Indonesia.
Praktik MNC
Di sejumlah perusahaan multi
nasional (MNC) pun, pihak manajemen banyak menggunakan jasa tenaga alih daya.
Mereka pada umumnya disebut sebagai kontraktor (contractor), baik yang masuk melalui pihak ketiga (vendor) ataupun masuk secara mandiri (independent contractor).
Ada dua perbedaan mendasar antara
praktik alih daya pada MNC dan BUMN/instansi pemerintah lainnya.
Pertama, tenaga alih daya pada MNC
memiliki penghasilan yang layak untuk memenuhi hak-hak dasarnya dan gap penghasilan antara tenaga alih
daya/kontraktor dan karyawan tetap (permanent
employee) tidaklah terlampau jauh. Dengan demikian kesenjangan sosial di
MNC tidaklah terlalu mencolok.
Kedua, pada MNC kinerja (performance) para tenaga alih daya
dimonitor secara berkala oleh perusahaan. Sehingga, tenaga alih daya yang punya
track record performa yang dinilai baik oleh perusahaan, dapat dipromosikan
untuk menjadi karyawaan tetap. Model pengelolaan alih daya pada MNC dapat
dikatakan cukup baik dan harusnya bisa menjadi pelajaran penting bagi BUMN dan
perusahaan swasta lainnya. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar