|
KOMPAS, 05 Juni 2013
Banyak
hal menggembirakan, tetapi tidak sedikit yang perlu mendapat perhatian serius
pada kondisi lingkungan hidup Indonesia saat ini.
Selama
tahun 2012, lingkungan fisik kita mengalami tekanan yang konstan karena
kombinasi faktor pertumbuhan penduduk, eksplorasi dan eksploitasi lingkungan,
serta limbah sebagai hasil sampingannya.
Pemantauan
kualitas udara oleh Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) sejak tahun 2005 di 243
kabupaten dan ibu kota provinsi menunjukkan peningkatan konsentrasi nitrogen
oksida (NO2) melampaui ambang batas yang ditetapkan WHO, yaitu 40 µg/N m3.
Kenaikan ini menunjukkan peningkatan aktivitas pemakaian bahan bakar fosil,
khususnya kendaraan bermotor. Nilai sulfur oksida (SO2) yang pada umumnya
berasal dari industri masih di bawah ambang batas.
Hasil
pemantauan kualitas udara jalan raya di beberapa kota besar pada tahun 2012 menunjukkan
beberapa parameter pencemaran udara meningkat. Selain menyebabkan asap hitam,
bau tidak sedap, iritasi mata, dan infeksi pernapasan, pencemaran udara juga
dapat memicu risiko kematian dini, berkurangnya produktivitas kerja, dan
gangguan produksi pertanian. Emisi kendaraan bermotor menjadi penyumbang
terbesar konsentrasi NO2,SO2, CO, dan particulate matter sehingga melampaui 50
persen.
Masalah
lain yang harus mendapatkan perhatian adalah hujan asam atau lebih tepat
disposisi asam. Data air hujan di lima kota selama 10 tahun menunjukkan,
tingkat keasaman air hujan di bawah normal, yaitu 5,6, dan bahkan di beberapa
tempat pH-nya 4. Fenomena ini dapat merusak bangunan, badan air, tanah, dan
kematian pada hewan tanah mikroskopis yang berperan dalam degradasi dan
dekomposisi.
Kondisi
air
Untuk
air yang sangat penting bagi kehidupan kita, Indonesia masih mengalami 3T,
yaitu too much, too little, dan too dirty. Di beberapa tempat, air
berlebihan tetapi tidak dikelola baik, di tempat lain air sangat sedikit
sehingga akses masyarakat terhadap air sangat rendah. Ketersediaan air ternyata
tidak diikuti dengan kualitas baik karena tingkat pencemaran air di Indonesia
relatif tinggi (too dirty).
Sekitar
119 juta penduduk Indonesia tidak memiliki akses terhadap air bersih. Mereka
yang memiliki akses sebagian besar mendapatkan air bersih dari PAM, penyalur
air komersial, dan sumur air dalam. Tingginya jumlah masyarakat tanpa akses air
antara lain disebabkan semakin bertambahnya daerah aliran sungai (DAS) yang
kritis dengan cepat.
Selama
1984-2005, jumlah DAS kritis bertambah dari 22 menjadi 62 karena alih fungsi
lahan di kawasan hulu. Hasil pemantauan air sungai tahun 2008-2012 menunjukkan
penurunan kualitas air, terutama di Pulau Jawa dan Sumatera. Sebagian besar provinsi
memiliki kualitas air sungai dengan nilai kandungan organik melebihi baku mutu
25 mg/l.
Aktivitas
yang tidak terkelola pada tanah dan hutan membuat lahan kritis bertambah di
Indonesia. Menurut Statistik Kehutanan 2011, luas lahan kritis di Indonesia
mencapai 27,29 juta hektar. Pada lahan kritis terjadi kehilangan unsur hara dan
air sehingga merusak tanah dan membutuhkan biaya pemulihan tinggi.
Tekanan
lingkungan juga terjadi di pesisir dan laut. Meskipun Indonesia memiliki luas
terumbu karang 75.000 km persegi atau sekitar 12-15 persen dari luas terumbu
dunia, kualitasnya tidak menggembirakan.
Menurut penelitian LIPI tahun 2012 di
1.133 lokasi, hanya 5,30 persen kondisi terumbu karang Indonesia yang sangat
baik; 27,19 persen baik; sekitar 37,25 persen cukup baik; tetapi dalam kondisi
kurang baik mencapai 30,45 persen.
Dari
sisi keanekaan hayati, jumlah spesies yang terancam berbanding lurus dengan
tingginya biodiversitas Indonesia. Pada tahun 2010, Kementerian Kehutanan
menetapkan 127 jenis mamalia, 382 jenis burung, 31 reptilia, 9 ikan, 20
serangga, 2 krustasea, 1 anthozoa, dan 121 jenis bivalvia masuk daftar fauna
dilindungi.
Ini
gambaran status lingkungan hidup Indonesia selama tahun 2012 yang memerlukan
respons kebijakan dan tindakan yang tepat untuk memulihkan kualitas bagi
kesejahteraan bersama. Kegiatan pengawasan lingkungan yang intensif melalui
mekanisme Proper dan sistem perizinan telah berhasil menurunkan beban
pencemaran lingkungan.
Selama
periode 2010-2012, beban pencemaran air limbah yang bisa diturunkan dari
kegiatan industri mencapai 19,9 miliar kg atau 52,3 persen dari total limbah
organik. Sementara emisi gas rumah kaca dari kegiatan industri, beban
pencemarannya berhasil diturunkan 51 juta kg atau setara 1,32 persen karbon
dioksida. Tantangan terbesar adalah penurunan beban pencemaran dari rumah
tangga yang saat ini baru berhasil diturunkan sekitar 140 juta kg atau hanya
5,4 persen.
Proklim
kurangi emisi
KLH
juga melaksanakan Program Kampung Iklim (Proklim) sebagai upaya mengurangi
emisi gas rumah kaca pada level komunitas. Belasan kampung menjadi peserta
Proklim dan ditargetkan mencapai 1.000 kampung. Hal yang menggembirakan,
partisipasi yang semakin tinggi dari berbagai lapisan masyarakat dalam kegiatan
lingkungan hidup, termasuk publikasi isu-isu lingkungan di media massa.
Apa
pelajaran dari sejumlah data itu? Pertama, penurunan kualitas lingkungan
membawa dampak jangka pendek, menengah, dan panjang terhadap kehidupan
masyarakat Indonesia. Beberapa dampak akan membutuhkan biaya pemulihan yang
sangat tinggi dan berpotensi menurunkan daya saing manusia Indonesia.
Kedua,
ada kebutuhan sangat mendesak untuk menginternalisasikan nilai, pemahaman, dan
pengetahuan pengelolaan lingkungan hidup dalam setiap sektor secara mandiri.
Ketiga,
semua ini adalah bagian dari komitmen kita semua untuk terus memperbaiki
kualitas lingkungan hidup secara berkelanjutan, berkeadilan, dan
menyejahterakan rakyat Indonesia. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar