|
KOMPAS, 05 Juni 2013
Diksi
kitab suci sering menyebut agama dengan ungkapan jalan. Al Quran, misalnya,
merumuskannya dalam kata din, thariq, syariat, shirath, sabil. Semua kata ini
bermakna jalan: jalan menuju Tuhan. Nurcholish Madjid alias Cak Nur menulis
buku sangat bagus yang semakna dengan itu, Pintu-pintu Menuju Tuhan.
Tuhannya
Esa, tetapi jalannya banyak dan Dia bisa disapa dari berbagai sisi, bisa
didekati dari sudut mana pun. ”Ke mana pun kalian menghadap, engkau akan
temukan wajah Tuhan,” demikian firman-Nya.
Tuhan
yang berada di luar kategori manusia dan pada saat yang sama ”bersama” manusia.
Tuhan yang membubuhkan atribut jauh sekaligus dekat, bahkan diteguhkannya lebih
dekat daripada urat leher. Tuhan yang batin sekaligus lahir. Tuhan yang awal
sekaligus akhir. Tuhan dengan sifat feminin sekaligus maskulin. Tuhan yang
menampik dan menerima. Huwal awwalu wal akhiru wazdahiru wal bathinu.
Jalan
tersebut diandaikan dapat menyelamatkan para penempuhnya menuju Tuhan, meraih
kebahagiaan hakiki. Nabi-nabi Ibrani menerakannya dalam epos yang disampaikan
kepada umatnya tentang jalan seperti ini, menggambarkan jalan yang niscaya
ditempuh manusia agar dapat bertemu kebenaran. Tidak hanya sebagai informan
wahyu Tuhan, mereka juga melakoni hidup yang mencerminkan tentang pribadi yang
istikamah berada di garis jalan lurus itu.
Memburu
kebenaran yang bisa jadi tak ditemukan, tetapi dengan kesediaan berjalan pun
jadi satu kebenaran yang bernilai kebaikan selama kebenaran itu tidak
ditahbiskan sebagai sesuatu yang mutlak. Tentu adalah sebuah jalan bidah
sebidah-bidahnya apabila mendaku dan mengabsolutkan jalan sendiri seraya
menuduh keliru terhadap jalan yang lain. Lebih keliru lagi ketika diturunkan
dalam tindakan kekerasan.
Kita
jadi para peziarah yang tidak pernah berhenti berada di jalan menafsir
kebenaran itu. Tidak saja agar diri menemukan eksistensinya, tetapi juga
difantasikan hidup menemukan martabatnya. Di jalan iman yang berujung pada
kebenaran beragam.
”Tatal
33” yang ditulis budayawan Goenawan Mohamad menarik direnungkan. Katanya, ”Yang
menyangka ada jalan pintas dalam iman akan menemukan jalan buntu dalam sejarah.
Tiap masa selalu ada orang yang mengembara dan membuka kembali pintu ke gurun
pasir tempat Musa—yang tak diperkenankan melihat wajah Tuhan—mencoba menebak
kehendak-Nya terus-menerus. Di sana tanda-tanda tetap merupakan tanda-tanda,
bukan kebenaran itu sendiri. Di sana banyak hal belum selesai. Gurun pasir tak
sepenuhnya dikalahkan dan cadar selalu kembali seperti kabut. Manusia bisa
tersesat, tetapi sejarah menunjukkan bahwa iman tak pernah jera justru ketika
Tuhan tak jadi bagian benda-benda yang terang.”
Falsafah
Para
filsuf pada titik tertentu adalah mereka yang dengan mengerahkan kekuatan
nalarnya meretas pintu lain untuk menemukan kebijaksanaan, merengkuh kebenaran.
Maka,
misalnya disimpulkanlah ”jalan” itu dalam term yang beragam, terbentang mulai
wacana roh yang harus terbebas dari penjara tubuh jika ingin meraih bahagia
(Plato) sampai Nietzsche yang memfatwakan kewajiban manusia mengerahkan semua
kuasa dan potensi dirinya supaya dapat meraih kesempurnaannya, ia harus menjadi
tuan atas naluri dan nafsu primitifnya, bukan sebaliknya.
Juga
Immanuel Kant yang memaklumkan menautkan antara akal budi dan pengalaman
inderawi demi meraih hakikat sesuatu; Edmund Husserl yang menekankan dimensi
intuisi yang tersambung dengan realitas, dan masih banyak yang lainnya.
Para
mistikus Muslim (dan mistikus agama lain) tentu lebih concern lagi. Tidak hanya nalar dan intuisi, seluruh napasnya
justru diwakafkan dalam upaya menyatu dengan jalan yang dilakoninya. Tidak lagi
ilmu, tetapi ngelmu. Bukan lagi kerja, tetapi laku. Bukan sekadar untuk
dirinya, melainkan membangun sebuah ”kekeluargaan spiritual” untuk belajar
bersama meniti jalan menuju Tuhan yang kita kenal dengan tarekat yang jumlahnya
sangat banyak itu.
Para
mistikus itu, berangkat dari pengalaman spiritual masing-masing, merumuskan
maqamat rohaniah yang harus ditempuh dalam ungkapan yang berbeda. Al-Ghazali
dalam Ihya Ulumudin memetakannya dalam langkah-langkah berikut: tobat-
sabar-sederhana-asketik-tawakal-cinta-makrifat dan rida. At-Thusi dalam
Al-Taaruf Li Madzhab Ahl Tasawuf menjelaskan ada 10 tahapan kebenaran: tobat,
asketik, sabar, sederhana, dipercaya, rendah hati, tawakal, rida, cinta, dan
makrifat.
Belum
lagi pencarian yang dilakukan para penyair. Dengan kekuatan kata yang menukik
sampai ”tulangnya”, mereka menggali makna guna menemukan jalan kebenaran. Puisi
menjadi sebuah munajat dan ratapan dalam memanggil Tuhan walaupun temanya bisa
saja sangat beragam. Puisi menjadi ”rajah” untuk menyelesaikan ”politik kotor”
dan membangun visi kehidupan yang penuh kebaikan.
Dalam
keragaman, Tuhan sesungguhnya bertakhta biarpun tidak harus disebut secara
nyata. ”Di pintu-Mu aku mengetuk/aku tak bisa berpaling,” kata Chairil Anwar.
Tuhan yang menyuntikkan optimisme sekaligus merasukkan rasa daif sehingga
segala watak tinggi hati tidak mendapatkan tempat dalam medan kehidupan.
Seperti
dibilang Goenawan Mohamad, ”Puisi, bahkan
dalam pernyataannya yang tersuram, adalah rasa hampa, tetapi juga sikap
bersyukur yang tak diakui.... Tiap doa mengandung ketegangan. Doa selalu
bergerak antara ekspresi yang berlimpah dan sikap diam, antara hasrat ingin
mengerti dan rasa takjub yang juga takzim. Di depan Ilahi, Yang Maha
Tak-Tersamai, lidah tak bisa bertingkah. Bila ada agama yang memusuhi syair,
itu karena ia lupa bahwa puisi juga sejenis doa.”
Mi’raj
Nabi
Mi’raj
Muhammad SAW tentu saja dalam tradisi spiritualisme Islam merupakan mata air
dari perjalanan rohaniah ini. Mi’raj sebagai simbol dari sebuah perjalanan
batin yang telah dilakoni sang Nabi.
Mi’raj
yang dilakukannya tidak kemudian berhenti di langit Sidratul Muntaha dalam
keheningan kudus yang puncak, bersikap eskapis dan soliter. Akan tetapi, justru
kembali pulang bergulat dalam kegaduhan dunia yang penuh muslihat, membenahi
politik yang penuh khianat, tengik, dan sampah.
Spirit
mi’raj jadi daya untuk membersihkan urusan dunia dalam terang nilai-nilai
Ilahiah. Spirit itu tak lain adalah demi menyambut fajar kehidupan yang penuh
adab, mewujudkan kohesivitas sosial yang otentik. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar