|
KOMPAS, 05 Juni 2013
Sungguh
menjadi ironi. Di tengah gencarnya gerakan pemberantasan korupsi, kebijakan
yang diambil Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat justru berbanding terbalik.
Kebijakan
Kejati Sumbar yang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan (SP3)
terhadap 22 kasus korupsi yang menunggak di kejaksaan menjadi bukti tidak
seriusnya kejaksaan menangani kasus korupsi.
Bak
galodo yang menghanyutkan semua yang ada di alirannya, SP3 yang dikeluarkan
Kejati Sumbar menutup hampir setengah kasus yang sedang mereka tangani.
Terlebih lagi, di dalam 22 kasus korupsi yang dihentikan penyidikannya itu
terdapat kasus yang justru menjadi perhatian khusus, seperti kasus yang
menyangkut kepala daerah. Jumlah kasus yang di-SP3-kan hampir separuh kasus
korupsi yang sedang ditangani itu tentu menjadi perhatian nasional, dan tidak
hanya masyarakat Minangkabau.
Kinerja
lemah
Dengan
keputusan ini, patut dipertanyakan kinerja kejaksaan dalam mengungkap kasus
korupsi yang ditanganinya. Dengan di-SP3-kan 22 kasus korupsi ini, tentu
masyarakat dapat berasumsi, kejaksaan lemah dalam melakukan pemberantasan
korupsi. Padahal, kejaksaan juga seharusnya menjadi ujung tombak, di samping
KPK, dalam usaha memberangus korupsi.
Kejaksaan
merupakan lembaga negara yang diberi wewenang melakukan penuntutan terhadap
kejahatan yang terjadi di masyarakat. Kasus korupsi yang merupakan salah satu
extraordinary crime (kejahatan luar biasa) mestinya juga menjadi agenda besar
kejaksaan. Selain penuntutan, dalam penanganan kasus korupsi, kejaksaan justru
diberi wewenang semenjak penyidikan. Dengan kewenangan itu, seharusnya
kejaksaan dapat menjadikannya sebagai kekuatan yang difungsikan sepenuhnya
untuk tujuan pemberantasan korupsi.
Artinya, kejaksaan harusnya menjadi
pemberantas korupsi, bukan malah menjadi pengampun melalui SP3.
SP3
yang dikeluarkan Kejati Sumbar menggunakan alasan-alasan klise yang tidak dapat
dibuktikan. Terlebih lagi, terlihat dari upaya kejaksaan menutup-nutupi proses
penetapan SP3 dengan tidak memberikan akses kepada masyarakat agar dapat
menilai kebenaran SP3.
Salah
satu alasan pemberian SP3 adalah kurangnya bukti. Padahal, beberapa kasus yang
termasuk di-SP3-kan justru telah memiliki tersangka. Selain itu, dari data yang
dimiliki pelapor dan mengawal jalannya kasus itu, juga dapat disimpulkan tidak
ada alasan untuk menyatakan kasus korupsi itu dapat di-SP3-kan. Andai memang
belum cukup bukti, kejaksaan tidak dapat seenaknya menutup kasus begitu saja.
Sebab, kejaksaan merupakan alat negara yang ditujukan untuk menjamin
tercapainya rasa keadilan masyarakat.
Seharusnya,
kejaksaan berupaya lebih keras dalam menggali fakta-fakta hukum agar dapat
membuktikan kasus-kasus korupsi itu. Bukan malah menyerah dan lepas tanggung
jawab, kemudian penyelesaian terhadap menumpuknya tugas penanganan kasus
korupsi tersebut dilakukan dengan cara mengambil jalan pintas, yakni dengan
meng-SP3-kan kasus-kasus itu.
Selain
itu, tindakan tersebut juga tidak dapat dibenarkan karena butuh waktu lama
dalam proses penyelidikan dan penyidikan sebelum kasus korupsi di-SP3-kan.
Sebab, di dalam UU Tindak Pidana Korupsi tidak diatur batas waktu penyelidikan
dan penyidikan. Artinya, meski butuh waktu yang cukup lama dalam penyelidikan
dan penyidikan, hal itu tak dapat dijadikan alasan untuk membenarkan keputusan
SP3 Kejati Sumbar.
Sisi
hitam
Sikap
kejaksaan yang menerbitkan SP3 massal telah menimbulkan stigma bahwa kejaksaan
telah menentang arus pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi yang menjadi
agenda prioritas bangsa ini justru diwarnai dengan kemalasan kejaksaan dalam
bekerja menjalankan tugasnya. Kasus korupsi telah merugikan keuangan negara
yang secara tidak langsung menimbulkan kesengsaraan bagi rakyat di negeri ini.
Padahal,
kita tahu, negara kewalahan dalam menyelesaikan permasalahan kesejahteraan
rakyat. Ironisnya, masih ada saja pihak-pihak yang dengan enaknya mengantongi
kekayaan negara yang bukan haknya melalui tindakan koruptif.
Karena
itu, keputusan kejaksaan yang meng-SP3-kan 22 kasus tersebut tidak hanya
menyangkut hubungan antara kejaksaan dan para terduga koruptor. Namun, hal itu
juga merupakan permasalahan yang sangat mengganggu rasa keadilan dalam
masyarakat. Pertanyaannya, apabila kejaksaan memang tidak sanggup untuk
menangani kasus-kasus tersebut, haruskah pengadilan rakyat yang akan
menghukumnya?
Jawabannya
tentulah tidak karena negara ini adalah negara hukum. Karena itu, segala
tindak-tanduk perbuatan haruslah sesuai dengan hukum. Namun, dengan kinerja
aparat penegak hukum seperti yang terpapar, rakyat tentu tidak akan tinggal
diam. Boleh jadi, sewaktu-waktu pengadilan rakyat yang akan menghukum para terduga
koruptor karena ketidakmampuan kejaksaan dalam memenuhi rasa keadilan dalam
masyarakat.
Kebijakan
SP3 kasus korupsi yang mengejutkan ini juga menimbulkan kecurigaan bahwa
keputusan untuk meng-SP3-kan kasus korupsi itu tidak sesuai prosedur dan
menyisakan sejumlah pertanyaan. Karena itu, kebijakan Kejati Sumbar yang tidak
pro pemberantasan korupsi ini seyogianya dievaluasi dan diaudit sehingga dapat
membuka tabir yang menutupi kebenaran. Dengan dasar itu, apabila kecurigaan
adanya tindakan koruptif di balik kewenangan kejaksaan memang benar terjadi,
hukum juga harus bergerak untuk membersihkan oknum-oknum kejaksaan yang bermain
dalam kebijakan yang tidak pro pemberantasan korupsi ini.
Dengan
demikian, kekuasaan yang diberikan kepada kejaksaan sebagai penuntut umum
haruslah dijalankan dengan sungguh-sungguh dalam menegakkan keadilan. Terlebih
lagi, dalam pemberantasan korupsi, karena korupsi secara nyata telah membebani
negara ini, kejaksaan tidak mampu mewujudkan tujuannya dalam menyejahterakan
rakyat. Dalam kaitan tersebut, kejaksaan seharusnya menjadi pendekar
pemberantas korupsi, bukan malah menjadi pahlawan bagi langgengnya kehidupan
koruptor di Tanah Air Indonesia ini. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar