|
KOMPAS, 05 Juni 2013
Ketika
Inggris menjajah India, Mahatma Gandhi mengajak rakyat India untuk tidak meniru
pola konsumsi pemerintahan kolonial dan masyarakatnya. Sebab, untuk
memenuhinya, perlu dukungan banyak negeri jajahan di Asia-Afrika.
Dengan
pola konsumsi seperti Inggris ketika itu, jumlah penduduk India akan memerlukan
sumber daya dari hampir semua negara di bumi ini. Karena itu, Gandhi
menganjurkan agar pola hidup India berpedoman to prefer less rather than more, menggantikan nafsu konsumsi
masyarakat penjajah Inggris to prefer
more rather than less.
Menurut
Gandhi, nafsu konsumsi yang menggebu-gebu mengejar senantiasa ”lebih” ini
menjadi pendorong utama semangat penjajahan dan memacu kolonialisme dan
imperialisme. Karena itu, perlu dibangkitkan gerakan Ahimsa, mengendalikan diri
kembali pada keasrian hidup secukupnya.
Kenyataan
hidup dunia menunjukkan bahwa pandangan hidup Gandhi tidak bergaung luas di
dunia internasional. Dan, nafsu ”mengejar lebih” menjadi dorongan utama dalam
pola hidup dunia global sekarang ini. Padahal, dunia akan semakin melampaui
ambang batang bio-kapasitas menopang pola hidup manusia sekarang ini.
Para
ahli menghitung, pola hidup yang ditempuh manusia bisa meninggalkan ”jejak
ekologi” yang seimbang dengan ambang batas kemampuan daya dukung bio-kapasitas
bila jumlah penduduk sekitar 4,7 miliar jiwa. Kini jumlah penduduk sudah
melewati 7 miliar jiwa dan menuju ke 9 miliar jiwa pada 2050.
Maka,
secara kasar, bisa dihitung bahwa pola hidup yang ditempuh manusia sekarang
memerlukan bio-kapasitas serupa dengan 1,5 Planet bumi dan dua Planet Bumi pada
2050. Oleh karena hal ini tidak mungkin, yang terjadi adalah bahwa sumber daya
alam dan bio-kapasitas Planet Bumi dikuras 1,5-2 kali lebih intensif dari
sediakala. Hal ini berakibat kondisi lingkungan alam dengan bio-kapasitasnya
semakin memburuk.
Menurut
perhitungan Kementerian Pekerjaan Umum, pada 2010 jumlah provinsi yang
pembangunannya meninggalkan ”jejak ekologi” melebihi bio-kapasitas alamnya
adalah Riau, Jambi, Bengkulu, Lampung, Sulawesi Utara, Bali, dan seluruh
provinsi di Pulau Jawa. Akibatnya, di provinsi-provinsi ini, apabila musim
hujan sering diiringi banjir besar, dan musim kemarau kekeringan beserta
gangguan alam lainnya.
Dimensi
lingkungan
Pembangunan
perlu dilaksanakan, terutama untuk mengurangi jumlah penduduk di bawah garis
kemiskinan. Majalah The Economist edisi Juni 2013 mengaitkan ”pertumbuhan
pendapatan setiap 1 persen menurunkan tingkat kemiskinan dengan 0,6 persen”.
Apabila disertai kebijakan pemerataan, akan dapat menurunkan kemiskinan 4,3
persen. Artinya, kebijakan pembangunan yang bermanfaat menurunkan kemiskinan
adalah kebijakan pertumbuhan pendapatan dengan pemerataan aktif.
Pembangunan
menaikkan pendapatan dengan pemerataan adalah penting, tetapi itu tidak cukup.
Kita perlu memperhitungkan pula dimensi lingkungan alam. Pembangunan mengelola
sumber daya alam tidak boleh melampaui ambang batas bio-kapasitas alam supaya
pembangunan tidak merusak sistem penopang hidup yang diemban lingkungan alam.
Dalam
ruang lingkup pembatas ambang batas bio-kapasitas, pembangunan menaikkan nilai
tambah dari sumber daya alam yang tersedia, seperti kelapa sawit, cokelat,
kopi, dan karet, sehingga tidak terbatas hanya pada hasil primer. Produk kelapa
sawit, juga tumbuhan perkebunan lain, misalnya, harus bisa diproses berupa
produk kosmetik, farmasi, dan produk industri lainnya.
Begitu
pula produk tambang kita, seperti tembaga, nikel, dan timah, bisa dinaikkan
nilai tambahnya dengan injeksi sains dan teknologi untuk menghasilkan barang
jadi. Dengan kata lain, pembangunan yang memperhitungkan ambang batas
bio-kapasitas berpeluang luas untuk dapat dinaikkan nilai tambahnya dengan cap made in Indonesia.
Dengan
begitu, tampillah pola pembangunan berkelanjutan yang mencakup tiga sasaran
sekaligus. Pertama, sasaran ekonomi melaksanakan pertumbuhan kenaikan
pendapatan. Kedua, sasaran sosial pemerataan dengan pengurangan kemiskinan.
Ketiga, sasaran lingkungan hidup membangun dengan mengurangi jejak ekologi di
bawah ambang batas bio-kapasitas alam.
Pola
pembangunan berkelanjutan tiga jalur ini masih memerlukan pembangunan jalur
keempat, yakni tata kelola good
governance dengan demokrasi.
Tiga
jalur pembangunan berkelanjutan memerlukan sinkronisasi dan koordinasi
memperkuat peranan pemerintah dalam fungsi intervensinya di pasar. Pasar yang
selama ini digunakan hanya menampung isyarat harga dan nilai ekonomi, tetapi
tidak menampung isyarat dan nilai sosial serta nilai lingkungan.
Pasar
menderita kegagalan pasar (market failure)
jika menghadapi barang-jasa sosial dan lingkungan alam. Oleh karena itu,
diperlukan intervensi aktif pemerintah dalam mengarahkan mekanisme pasar agar
bisa ikut menampung isyarat dan sinyal sosial dan lingkungan hidup.
Untuk
memungkinkan ini terwujud, perlu ditingkatkan kemampuan kapasitas aparat
pemerintah terjun dalam pasar dengan kebijakan fiskal, anggaran, perbankan,
persuasi, dan insentif untuk menampung kepentingan sosial dan lingkungan.
Peranan
pemerintah berintervensi dalam pasar ini perlu sikap dan perilaku pelaku
birokrasi yang berkemampuan dan berkapasitas menjalankan fungsi intervensi ini.
Penting dalam kaitan ini melaksanakan intervensi secara terbuka dan transparan
agar bisa diikuti secara demokratis oleh masyarakat luas.
Peran
pemerintah penting sebagai ”agen pembaru” dalam melaksanakan pola pembangunan
berkelanjutan, menggantikan pola pembangunan konvensional. Ini disertai usaha
menjungkirbalikkan pola hidup manusia Indonesia agar tidak terbenam dalam norma
prefer more rather than less, tetapi
lebih mengandalkan pola hidup solidaritas gotong royong ”mengejar yang cukup bagi semua”. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar