Sabtu, 01 Juni 2013

Pemuda dan Daya Saing Bangsa

Pemuda dan Daya Saing Bangsa
M Hariman Bahtiar ;  Direktur Center for Leadership and Youth Entrepreneurship Studies (CLYES), pengurus Departemen Kaderisasi Cendekiawan Muda ICMI Pusat
SUARA KARYA, 31 Mei 2013


Indonesia masih menghadapi tantangan berat. Salah satunya posisi daya saing Indonesia yang kembali turun. Dalam laporan The Global Competitiveness Index 2012-2013, Indonesia menempati posisi ke-50 dari 144 negara di dunia dengan skor 4,4, atau turun 4 level dari tahun lalu yang berada di posisi 46.

The Global Competitiveness Index yang dirilis oleh World Economic Forum (28/5/2013) menempatkan Swiss sebagai negara yang paling kompetitif dengan skor 5,72. Sementara itu, posisi kedua ditempati oleh Singapura dengan skor 5,67.

Penurunan posisi daya saing itu menegaskan bahwa Indonesia masih menghadapi masalah serius. Di tengah kompetisi global, Indonesia perlu mematangkan strategi baru untuk meningkatkan daya saing sebagai prasyarat mutlak kemajuan.

Peran Pemuda

Pemuda adalah pewaris masa depan bangsa. Berdasarkan proyeksi Badan Pusat Statistik (BPS), tahun 2013 ini jumlah pemuda mencapai 62,6 juta orang. Itu artinya, rata-rata jumlah pemuda 25 persen dari proporsi jumlah penduduk secara keseluruhan. Oleh karenanya, strategi terhadap pembangunan pemuda memiliki arti penting.

Jika menggunakan basis data proyeksi jumlah pemuda versi BPS di atas, maka secara umum persebaran jumlah pemuda di Pulau Jawa menempati posisi pertama dengan persentase 57,94 persen. Kemudian, Pulau Sumatera dan sekitarnya memiliki persentase 21,71 persen, Pulau Sulawesi dan sekitarnya (8,13 persen), Pulau Kalimantan (5,78 persen), Pulau Bali dan Nusa Tenggara (5,2 persen) dan Papua (1,2 persen). Persebaran pemuda di setiap wilayah itu harus menjadi landasan dalam menggulirkan kebijakan pemuda di setiap wilayah.

Berdasarkan proyeksi BPS di atas, pada rentang tahun 2010-2030 Indonesia juga diproyeksikan mendapat 'bonus demografi' (demografic divident). Dalam istilah demografi disebut sebagai 'jendela kesempatan' (window of opportunity). Pada rentang tahun 2020-2030, jumlah penduduk usia kerja (15-64 tahun) akan mencapai 70 persen. Sisanya 30 persen adalah penduduk tidak produktif (di bawah 15 tahun dan di atas 65 tahun). Dilihat dari jumlahnya, penduduk usia produktif mencapai 180 juta jiwa dan penduduk tidak produktif hanya 60 juta jiwa.

Proyeksi di atas dapat diartikan telah terjadi penurunan persentase penduduk sebagai beban pembangunan (dependency ratio). Sementara di sisi lain, dengan jumlah penduduk usia kerja yang besar diharapkan tidak menjadi beban pembangunan, justru seharusnya menguntungkan pembangunan. Periode Bonus Demografi itu diharapkan membawa dampak sosial dan ekonomi yang positif karena penduduk yang produktif akan menanggung penduduk tidak produktif. Harapannya adalah jumlah penduduk produktif dapat menjadi modal pembangunan ekonomi, termasuk pemuda di dalamnya.

Untuk itulah, dalam konteks daya saing bangsa, bonus demografi itu harus dilihat sebagai peluang untuk mencapai visi 'Indonesia Maju' di era 2020-2030. Intervensi kebijakan yang tepat, antara lain melalui penciptaan lapangan kerja, pertumbuhan ekonomi yang signifikan, pencapaian stabilitas sosial dan politik yang menunjang serta menguatnya peran masyarakat, swasta dan stakeholders lainnya diharapkan mampu mengungkit kemajuan Indonesia. Momentum mendapatkan bonus demografi itu wajib dimanfaatkan secara cerdas, khususnya dalam konteks pemberdayaan pemuda.

Fokus terhadap pemuda mesti menjadi prioritas. Misalnya, bagaimana menekan angka pengangguran pemuda, menciptakan ide-ide kreatif agar para sarjana dapat semakin besar memiliki minat menjadi wirausaha serta mampu melakukan inovasi kebijakan lainnya. Berbagai tantangan di tingkat regional, seperti era Komunitas ASEAN 2015, misalnya, harus diantisipasi. Bagaimana menyiapkan pemuda yang mampu bersaing dan jeli mengambil peluang bagi Indonesia.

Menurut hemat saya, kita harus memiliki grand design pembangunan pemuda yang jelas. Tidak bisa program kepemudaan berlangsung secara instrumentatif. Kegiatan-kegiatan kepemudaan mestinya bukan semata diposisikan sebagai event sesaat, namun harus berangkat dari kerangka kebijakan serta arah pembangunan pemuda yang konkrit, jelas dan visioner. Karena, jika tidak, kita akan terus menghadapi permasalahan kepemudaan yang kompleks dan bersifat klasik. Program kepemudaan harus dirancang secara komprehensif, terpadu dan sinergis serta memiliki alur yang berkesinambungan (sustainable).


Menghadapi berbagai tantangan di atas, kita menaruh harapan terhadap kaum muda sebagai pewaris masa depan. Intervensi kebijakan yang tepat bagi pemuda hari ini akan memberi dampak bukan hanya 20 atau 30 tahun ke depan, namun bisa memberikan pengaruh bagi satu generasi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar