|
KORAN TEMPO, 31 Mei 2013
Kalau di sektor ekonomi seperti forum Tampak Siring bisa,
kenapa di bidang hukum, khususnya untuk pemberantasan korupsi dan pencucian
uang, tidak mungkin?
Salah satu tujuan penting reformasi pada 1998 adalah
memberantas korupsi. Berbagai langkah dilakukan untuk memerangi dan menutup
pintu-pintu terjadinya korupsi. Itu karena krisis multidimensi di Indonesia
pada 1997/1998 terjadi akibat parahnya korupsi. Selama masa Orde Baru, korupsi
terjadi di berbagai bidang kehidupan.
Maka, untuk memberantas korupsi, berbagai produk hukum
kemudian disempurnakan. Di antaranya, lahir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999
tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme.
Lantas, ada UU No. 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada lagi UU No. 15 Tahun 2002,
yang diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Pencucian Uang.
Bersamaan dengan itu, dibentuk berbagai institusi hukum,
yang diharapkan dapat mengefektifkan pemberantasan korupsi dengan cara-cara
luar biasa, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga dilahirkan Komisi
Yudisial serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dus,
dari segi struktur (lembaga) hukum dan substansi (aturan) hukum, sesungguhnya
sudah lebih dari cukup untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi, baik penindakan
hukum maupun pencegahan.
Persoalannya tinggal pada kultur (budaya) hukum. Kultur
hukum mencakup sikap mental, perilaku, dan keberanian aparat penegak hukum
untuk mengganyang korupsi. Dibandingkan dengan struktur dan substansi, justru
budaya hukum paling signifikan untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi.
Tetap merebak
Kini, reformasi 1998 telah berlangsung selama 15 tahun.
Ternyata korupsi tetap merajalela. Boleh jadi, perkembangan itu juga karena
keparahan korupsi warisan Orde Baru. Sepertinya, upaya memberantas korupsi
masih jauh dari harapan reformasi. Salah satu indikatornya adalah Indeks
Persepsi Korupsi (IPK), yang dirilis oleh Transparency International Indonesia
(TII). Menurut TII, laju peningkatan IPK Indonesia amat lambat. Pada 2002, IPK Indonesia
1,9. Lantas, pada 2006, IPK sebesar 2,4. Dan pada 2012, hanya sebesar 3,2.
Yang jelas, korupsi terus merebak. Bahkan, dari beberapa
kasus korupsi yang terbongkar, terbukti bahwa aneka modus korupsi menggurita,
dimulai di birokrasi pemerintahan, pada mekanisme pembahasan anggaran di DPR,
sampai dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Berbagai bentuk korupsi pun
terbukti diliputi dengan ragam pencucian uang.
Sudah begitu, korupsi juga meruyak di berbagai daerah.
Akibatnya, indeks pembangunan manusia di daerah terus melorot. Tujuan otonomi
daerah, yakni untuk efektivitas pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan
kemandirian daerah, semakin jauh dari harapan. Ujungnya, lagi-lagi pemerintah
pusat, melalui dana APBN, harus terus "menghidupi" daerah-daerah
otonomi baru.
Perkembangan amat buruk itu dapat menimbulkan bencana bagi
perekonomian negara. Bila saja triliunan rupiah uang negara tak hilang karena
dikorupsi, tentu dana amat besar itu dapat digunakan untuk menyejahterakan
rakyat, baik untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan, membangun jalan dan
jembatan, maupun menciptakan lapangan kerja.
Terobosan drastis
Karena itu, harus dilakukan gebrakan bersama secara
progresif untuk memberantas korupsi, termasuk usaha pencegahan korupsi secara
sistemik dengan mengubah mental budaya dan praktek birokrasi. Kalau tidak,
tujuan negara untuk kesejahteraan rakyat semakin sulit diwujudkan.
Untuk itu, harus dilakukan terobosan secara mendasar dan
total guna mempercepat reformasi mental atau budaya birokrasi, khususnya pada
institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK juga mesti
diperkuat, baik menyangkut organisasi, personel, maupun anggarannya. Bersamaan
dengan itu, sinergi, kerja sama, dan koordinasi antara kepolisian, kejaksaan,
serta KPK harus benar-benar efektif. Sinergi dimaksud harus berlangsung secara
harmonis, kondusif, dan mewujudkan counter partner dinamis.
Perlu juga diupayakan pemberantasan korupsi, berikut
pemberantasan pencucian uang, yang tak konvensional atau ala kadarnya atau pas
banderol, seperti yang selama ini dilakukan. Harus dilakukan terobosan untuk
menggencarkan efektivitas pemberantasan korupsi.
Salah satu caranya, Presiden melalui Menteri Koordinator
Politik, Hukum, dan Keamanan membuat semacam kamar khusus untuk pemberantasan korupsi
dan pencucian uang. Kamar khusus ini terdiri atas sub-sub kamar untuk
penindakan hukum, eksekusi, dan pencegahan. Sub-kamar penindakan hukum
dimaksudkan agar akselerasi pemberantasan korupsi dan pencucian uang bisa
dimaksimalkan. Aksi penindakan hukum terhadap pelaku korupsi harus mampu
menimbulkan deterrent effect, baik efek jera maupun efek pencegahan, yang
besar.
Pada tahap inilah pentingnya gebrakan untuk memiskinkan
koruptor melalui perampasan aset pelaku korupsi. Dan di persidangan, dengan menerapkan
UU Anti-Korupsi serta UU Anti-Pencucian Uang, hukuman penjara dan ganti rugi
terhadap terdakwa kasus korupsi diupayakan seberat-beratnya.
Akan halnya sub-kamar eksekusi, ia dimaksudkan untuk
menggencarkan efektivitas pelaksanaan hukuman terhadap koruptor. Kasus alotnya
eksekusi terpidana korupsi, yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap,
tidak boleh lagi terjadi. Upaya pemburuan aset koruptor di luar negeri juga
mesti dioptimalkan.
Adapun sub-kamar pencegahan ditujukan untuk menutup
berbagai celah ataupun peluang yang memungkinkan terjadinya korupsi serta
pencucian uang. Upaya ini bisa dilakukan dengan perbaikan sistem, mekanisme
kerja, regulasi, penyempurnaan pelayanan publik dan praktek birokrasi, serta
pemilihan pimpinan yang berintegritas, kompeten, dan berani.
Negeri makmur
Di kamar khusus anti-korupsi dan anti-pencucian uang
tersebut ada kepolisian, kejaksaan, MA, KPK, PPATK, Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban, BPK, BPKP, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri
Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri, serta inspektorat jenderal
di kementerian-kementerian dan Badan Pengawas Daerah di pemerintah daerah.
Kamar khusus punya road
map, crash program, dan rencana aksi konkret untuk pemberantasan korupsi
dan pencucian uang. Semua itu senantiasa dilaksanakan, dimonitor, dievaluasi
pada rapat khusus setiap tiga bulan, untuk kemudian selalu direvisi. Forum
untuk mengevaluasi dan merevisi bisa seperti rapat kerja nasional bidang
ekonomi, yang pernah dilaksanakan di Istana Tampak Siring, Bali, pada April
2010.
Kalau di sektor ekonomi seperti forum Tampak Siring bisa,
kenapa di bidang hukum, khususnya untuk pemberantasan korupsi dan pencucian
uang, tidak mungkin? Pemberantasan korupsi dan pencucian uang tak kalah
pentingnya dengan upaya memajukan ekonomi. Sejarah buruk semasa Orde Baru telah
membuktikan bahwa "kemajuan" ekonomi ternyata menjadi tidak berarti,
bahkan kemudian menimbulkan hal sebaliknya, yakni kerugian besar, manakala
korupsi demikian akut menggerogoti negara. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar