Sabtu, 01 Juni 2013

Kamar Khusus Anti-Korupsi

Kamar Khusus Anti-Korupsi
Happy Sulistyadi ;  Pemerhati Hukum
KORAN TEMPO, 31 Mei 2013


Kalau di sektor ekonomi seperti forum Tampak Siring bisa, kenapa di bidang hukum, khususnya untuk pemberantasan korupsi dan pencucian uang, tidak mungkin? 
Salah satu tujuan penting reformasi pada 1998 adalah memberantas korupsi. Berbagai langkah dilakukan untuk memerangi dan menutup pintu-pintu terjadinya korupsi. Itu karena krisis multidimensi di Indonesia pada 1997/1998 terjadi akibat parahnya korupsi. Selama masa Orde Baru, korupsi terjadi di berbagai bidang kehidupan. 
Maka, untuk memberantas korupsi, berbagai produk hukum kemudian disempurnakan. Di antaranya, lahir Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme. Lantas, ada UU No. 31 Tahun 1999, yang diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Ada lagi UU No. 15 Tahun 2002, yang diganti dengan UU No. 8 Tahun 2010 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Bersamaan dengan itu, dibentuk berbagai institusi hukum, yang diharapkan dapat mengefektifkan pemberantasan korupsi dengan cara-cara luar biasa, misalnya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Juga dilahirkan Komisi Yudisial serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Dus, dari segi struktur (lembaga) hukum dan substansi (aturan) hukum, sesungguhnya sudah lebih dari cukup untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi, baik penindakan hukum maupun pencegahan.
Persoalannya tinggal pada kultur (budaya) hukum. Kultur hukum mencakup sikap mental, perilaku, dan keberanian aparat penegak hukum untuk mengganyang korupsi. Dibandingkan dengan struktur dan substansi, justru budaya hukum paling signifikan untuk mengefektifkan pemberantasan korupsi.
Tetap merebak
Kini, reformasi 1998 telah berlangsung selama 15 tahun. Ternyata korupsi tetap merajalela. Boleh jadi, perkembangan itu juga karena keparahan korupsi warisan Orde Baru. Sepertinya, upaya memberantas korupsi masih jauh dari harapan reformasi. Salah satu indikatornya adalah Indeks Persepsi Korupsi (IPK), yang dirilis oleh Transparency International Indonesia (TII). Menurut TII, laju peningkatan IPK Indonesia amat lambat. Pada 2002, IPK Indonesia 1,9. Lantas, pada 2006, IPK sebesar 2,4. Dan pada 2012, hanya sebesar 3,2.
Yang jelas, korupsi terus merebak. Bahkan, dari beberapa kasus korupsi yang terbongkar, terbukti bahwa aneka modus korupsi menggurita, dimulai di birokrasi pemerintahan, pada mekanisme pembahasan anggaran di DPR, sampai dalam proyek pengadaan barang dan jasa. Berbagai bentuk korupsi pun terbukti diliputi dengan ragam pencucian uang.
Sudah begitu, korupsi juga meruyak di berbagai daerah. Akibatnya, indeks pembangunan manusia di daerah terus melorot. Tujuan otonomi daerah, yakni untuk efektivitas pelayanan publik, kesejahteraan rakyat, dan kemandirian daerah, semakin jauh dari harapan. Ujungnya, lagi-lagi pemerintah pusat, melalui dana APBN, harus terus "menghidupi" daerah-daerah otonomi baru.
Perkembangan amat buruk itu dapat menimbulkan bencana bagi perekonomian negara. Bila saja triliunan rupiah uang negara tak hilang karena dikorupsi, tentu dana amat besar itu dapat digunakan untuk menyejahterakan rakyat, baik untuk meningkatkan pendidikan, kesehatan, membangun jalan dan jembatan, maupun menciptakan lapangan kerja.
Terobosan drastis
Karena itu, harus dilakukan gebrakan bersama secara progresif untuk memberantas korupsi, termasuk usaha pencegahan korupsi secara sistemik dengan mengubah mental budaya dan praktek birokrasi. Kalau tidak, tujuan negara untuk kesejahteraan rakyat semakin sulit diwujudkan.
Untuk itu, harus dilakukan terobosan secara mendasar dan total guna mempercepat reformasi mental atau budaya birokrasi, khususnya pada institusi penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. KPK juga mesti diperkuat, baik menyangkut organisasi, personel, maupun anggarannya. Bersamaan dengan itu, sinergi, kerja sama, dan koordinasi antara kepolisian, kejaksaan, serta KPK harus benar-benar efektif. Sinergi dimaksud harus berlangsung secara harmonis, kondusif, dan mewujudkan counter partner dinamis.
Perlu juga diupayakan pemberantasan korupsi, berikut pemberantasan pencucian uang, yang tak konvensional atau ala kadarnya atau pas banderol, seperti yang selama ini dilakukan. Harus dilakukan terobosan untuk menggencarkan efektivitas pemberantasan korupsi.
Salah satu caranya, Presiden melalui Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan membuat semacam kamar khusus untuk pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Kamar khusus ini terdiri atas sub-sub kamar untuk penindakan hukum, eksekusi, dan pencegahan. Sub-kamar penindakan hukum dimaksudkan agar akselerasi pemberantasan korupsi dan pencucian uang bisa dimaksimalkan. Aksi penindakan hukum terhadap pelaku korupsi harus mampu menimbulkan deterrent effect, baik efek jera maupun efek pencegahan, yang besar.
Pada tahap inilah pentingnya gebrakan untuk memiskinkan koruptor melalui perampasan aset pelaku korupsi. Dan di persidangan, dengan menerapkan UU Anti-Korupsi serta UU Anti-Pencucian Uang, hukuman penjara dan ganti rugi terhadap terdakwa kasus korupsi diupayakan seberat-beratnya.
Akan halnya sub-kamar eksekusi, ia dimaksudkan untuk menggencarkan efektivitas pelaksanaan hukuman terhadap koruptor. Kasus alotnya eksekusi terpidana korupsi, yang putusannya telah berkekuatan hukum tetap, tidak boleh lagi terjadi. Upaya pemburuan aset koruptor di luar negeri juga mesti dioptimalkan.
Adapun sub-kamar pencegahan ditujukan untuk menutup berbagai celah ataupun peluang yang memungkinkan terjadinya korupsi serta pencucian uang. Upaya ini bisa dilakukan dengan perbaikan sistem, mekanisme kerja, regulasi, penyempurnaan pelayanan publik dan praktek birokrasi, serta pemilihan pimpinan yang berintegritas, kompeten, dan berani.
Negeri makmur
Di kamar khusus anti-korupsi dan anti-pencucian uang tersebut ada kepolisian, kejaksaan, MA, KPK, PPATK, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, BPK, BPKP, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara, Menteri Dalam Negeri, serta inspektorat jenderal di kementerian-kementerian dan Badan Pengawas Daerah di pemerintah daerah.
Kamar khusus punya road map, crash program, dan rencana aksi konkret untuk pemberantasan korupsi dan pencucian uang. Semua itu senantiasa dilaksanakan, dimonitor, dievaluasi pada rapat khusus setiap tiga bulan, untuk kemudian selalu direvisi. Forum untuk mengevaluasi dan merevisi bisa seperti rapat kerja nasional bidang ekonomi, yang pernah dilaksanakan di Istana Tampak Siring, Bali, pada April 2010.

Kalau di sektor ekonomi seperti forum Tampak Siring bisa, kenapa di bidang hukum, khususnya untuk pemberantasan korupsi dan pencucian uang, tidak mungkin? Pemberantasan korupsi dan pencucian uang tak kalah pentingnya dengan upaya memajukan ekonomi. Sejarah buruk semasa Orde Baru telah membuktikan bahwa "kemajuan" ekonomi ternyata menjadi tidak berarti, bahkan kemudian menimbulkan hal sebaliknya, yakni kerugian besar, manakala korupsi demikian akut menggerogoti negara.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar