|
SUARA KARYA, 31 Mei 2013
Air merupakan sumber kehidupan.
Kita mampu bertahan hidup tanpa makan dalam beberapa minggu, namun tanpa air
kita akan mati dalam beberapa hari saja. Dalam kacamata ekonomi, air menduduki
peran utama bagi berbagai kepentingan seperti budidaya pertanian, industri,
hingga penyediaan air bersih dan bahan baku air minum. Air juga memberi manfaat
sebagai sumber penghasil listrik maupun sebagai sarana transportasi.
Begitu asasinya kebutuhan akan air
maka negara mengemban tanggung jawab untuk menjamin dan menyelengarakan
penyediaan air yang menjangkau setiap individu warga negara. Sayangnya, problem
kelangkaan air masih saja terdengar. Masyarakat desa di negara tropis, seperti
Indonesia harus berjalan puluhan kilometer untuk mencari sumber air di musim
kemarau. Sementara masyarakat perkotaan belum semuanya mendapatkan pelayanan
air bersih, baik kuantitas maupun kualitas.
Di dunia saat ini, pasokan air
berkurang hampir sepertiganya dibandingkan dengan tahun 1970 ketika bumi baru
dihuni 1,8 miliar penduduk. Para ahli meramalkan, dunia yang diperkirakan
berpenduduk 8,3 miliar pada 2025 akan menghadapi kelangkaan air bersih yang
cukup parah. Tak hanya problem kelangkaan, pencemaran pun telah menjadi agenda
tambahan yang turut memperumit problem seputar air ini. Semua orang berharap
seharusnya air diperlakukan sebagai bahan yang sangat bernilai, dimanfaatkan
secara bijak, dan dijaga terhadap cemaran. Namun, kenyataannya air selalu
dihamburkan, dicemari, dan disia-siakan.
Akibatnya, hampir separo penduduk
dunia (hampir seluruhnya di negara-negara berkembang) dikabarkan menderita
berbagai penyakit akibat kekurangan air, atau oleh air yang tercemar.
Hingga kini, hak atas air bagi
setiap individu terancam dengan adanya agenda privatisasi dan komersialisasi
air. Sejak lama agenda ini didorong oleh lembaga keuangan (World Bank, ADB, dan
IMF) di sejumlah negara sebagai persyaratan pinjaman. Ini merupakan bagian dari
kepentingan kapitalis global sektor air untuk menguasai sumber-sumber air dan
badan penyedia air bersih (PDAM) milik pemerintah.
Baik World Bank dan ADB dalam
kebijakannya soal air mendorong diterapkannya mekanisme harga yang mengadopsi
apa yang disebut sebagai Full Cost Recovery. Artinya, konsumen membayar harga
yang meliputi seluruh biaya. Dengan demikian privatisasi, sebagaimana yang
telah terjadi di sejumlah negara, identik dengan kenaikan harga tarif air. Pada
kenyataanya, justru kelompok masyarakat miskin yang semakin jauh dari akses
terhadap air dengan meningkatnya tarif air.
Telah lama World Bank menyatakan
bahwa manajemen sumber daya air yang efektif haruslah memperlakukan air sebagai
'komoditas ekonomis' dan partisipasi swasta dalam penyediaan air umumnya
menghasilkan hasil yang efisien, peningkatan pelayanan, dan mempercepat
investasi bagi perluasan jasa penyediaan. (World Bank, 1992) Privatisasi air di
sini meliputi jasa penyediaan air di perkotaan, maupun pengelolaan
sumber-sumber air di pedesaan oleh swasta. vPBB, World Bank, dan IMF
mempopulerkan konsep good governance
sebagai dasar kriteria negara-negara 'yang baik' dan 'berhasil dalam
pembangunan'. Konsep ini menjadi semacam kriteria untuk memperoleh bantuan
berupa hibah ataupun utang. Namun, konsep ini sebenarnya masih samar.
World Bank menambahkan
karakteristik normatif good governance.
Yaitu, pelayanan publik yang efisen, sistem hukum independen bebas intervensi
kekuasaan, kerangka kerja legal untuk mendorong kontrak (perlindungan hak milik
pribadi), administrasi akuntabel dari pembiayaan publik (transparasi), auditor
publik yang independen, bertanggungjawab kepada lembaga perwakilan legislatif,
respek terhadap hukum dan hak asasi manusia pada semua level pemerintahan
(pencegahan diskriminasi terhadap kaum minoritas), struktur institusi yang
pluralistik, dan kebebasan pers (hak kebebasan berbicara). Istilah-istilah
kenegaraan ini sering dipakai untuk membungkus substansi dan maksud tersembunyi
di dalamnya. Negara-negara seluruh dunia lalu mengadopsi konsep ini dengan
harapan pelaksanaannya melibatkan pemerintah, badan usaha dan lembaga nirlaba
yang dikelola secara profesional-komersial layaknya perusahaan.
Kampanye Hari Air Sedunia dengan
tema "International Years of Water
Cooperation" jelas merupakan upaya untuk membuka kran lebar-lebar bagi
setiap negara, terutama negara yang memiliki bargaining posisi lemah seperti
Indonesia untuk menyediakan diri atas masuknya berbagai perusahaan swasta dan
investor asing di sektor penyediaan air bersih di negaranya. Dengan berlindung
di balik kemasan "kerja sama internasional", air yang merupakan
kebutuhan asasi manusia tidak lagi dipandang sebagai barang publik melainkan
dilihat sebagai komoditas ekonomi semata.
Selanjutnya kebutuhan rakyat akan
air bersih dikelola dengan mekanisme pasar. Rakyat akhirnya dipaksa membeli air
bersih di rumah sendiri dengan tarif yang ditentukan oleh pasar. Ironis, fungsi
negara yang seharusnya sebagai pelayan dan pengatur urusan rakyatnya malah
bergeser menjadi fasilitator kepentingan-kepentingan bisnis dengan mengorbankan
hajat hidup orang banyak.
Soal intervensi asing yang
dibungkus indah ini, ada sejumlah indikasi bahwa puluhan RUU kita mengakomodir
kepentingan asing. Keterlibatan Bank Dunia antara lain sebagai konsultan dalam
sejumlah program pemerintah di sektor pendidikan, kesehatan, infrastruktur,
pengelolaan sumber daya alam dan pembangunan berbasis masyarakat, telah membuat
pemerintah mengubah sejumlah UU antara lain, UU Pendidikan Nasional, UU
Kesehatan, UU Kelistrikan, dan UU Sumber Daya Air.
Dengan
demikian akankah kita membiarkan bangsa kita menjadi korban kerja sama
internasional? ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar