|
KOMPAS,
20 Juni 2013
Hasil studi Jared Diamond memperlihatkan
bahwa suatu masyarakat dapat mematikan masa depannya sendiri dengan bunuh diri
ekologis (Collapse: How Societies Choose
to Fail or Survive, 2005).
Ekosida terjadi karena masyarakat dan
pemimpinnya membiarkan perusakan lingkungan, alih fungsi hutan tak terkendali,
perusakan habitat hewan yang jadi konsumsi warga, pengurasan populasi ikan,
kegagalan manajemen air bersih, dan kegagalan pengendalian pertumbuhan jumlah
penduduk. Salah satu tujuan Republik berdiri: mencegah ekosida suatu bangsa.
Sengaja dibentuk pemerintahan berkedaulatan rakyat yang dipimpin presiden. Ada
pemimpin, ada yang dipimpin, kepemimpinan, dan keterpimpinan. Negara bukan
republik massa. Hak asasi setiap warga harus terlindung baik dari ancaman
massa. Bangunan Republik harus kokoh, sistem ketatanegaraan maupun eksekusinya.
Hambatan atas eksekusi, indikasi problem disfungsi negara, dalam jangka panjang
berarti pelemahan Republik.
Indikasi pelemahan
Tanda-tanda Republik lemah tampak dari
ketakmampuan negara melakukan yang seharusnya demi kebaikan jangka panjang.
Kini pers diakui sebagai pilar demokrasi keempat. Namun, kasus kekerasan
terhadap wartawan, bahkan kantor media, terus berulang. Keseriusan pemerintah
menangani memperlihatkan apakah Republik prodemokrasi. Subsidi BBM dibiarkan
meski kebijakan politik itu mempersempit ruang fiskal pemerintah untuk
membangun kebutuhan infrastruktur yang mendesak. Malah pemerintah memilih
menambah utang untuk subsidi BBM, sementara jumlah utang luar negeri sudah
terbesar sepanjang sejarah. Minim ikhtiar berantas penyelundupan BBM yang tak
di luar pengetahuan aparat.
Pemborosan BBM tak disinergikan dengan
manajemen mengurangi kemacetan. Malah, kemacetan dilihat sebagai indikasi
geliat ekonomi. Segala pelanggaran berlalu lintas penyebab kemacetan dibiarkan,
bahkan oleh polisi. Republik bisanya hanya memasang rambu-rambu lalu lintas dan
membuat peraturan, tetapi lemah dalam penegakan hukum. Padahal, triliunan
rupiah dapat dihemat jika manajemen kemacetan berjalan baik. Dalam bidang
ekonomi, rakyat hanya menjadi penonton melihat sumber daya alam Republik
terkuras dan mereka hanya jadi pasar untuk produk asing yang melimpah.
Konstitusi memberikan amanat kepada pemerintah untuk melindungi hak asasi yang
lebih lemah. Korban paling menderita akibat kerusakan lingkungan adalah rakyat
bawah yang minim perlindungan diri dari bencana.
Pemerintah wajib membangun jembatan sosial
untuk mencegah kesenjangan sosial ekstrem di antara masyarakat berpenghasilan
tinggi dan rendah. Pemerintah wajib menjamin ketersediaan pangan dan papan yang
terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah demi generasi masa depan
berkualitas. Dulu, penguasa kolonial menaklukkan Nusantara dengan senjata.
Kini, Republik ditaklukkan dengan lobi dan perjanjian internasional. Lembaga
internasional pemeringkat ekonomi negara seperti memiliki palu penentu nasib
suatu negeri. Dalam cengkeraman kapitalisme global, kini banjir penghargaan
tertuju kepada penguasa kita yang mudah puas diri.
Pemimpin berjiwa gembala
Pada saat sama, panggung politik kekurangan
pemimpin berkualitas. Panggung kita riuh oleh teriakan orang yang merasa
dizalimi, padahal dengan kekuasaannya ia telah berbuat sewenang-wenang dan
terjerat korupsi. Persoalan sederhana jadi rumit karena pemimpin dikuasai
mentalitas pejabat. Pejabat sibuk dengan citra dan hitung-hitungan politik:
mengamankan posisi dan keluarganya. Keutamaan politik kalah oleh kalkulasi
politik praktis.
Demokrasi Indonesia sedang tanpa kepemimpinan
yang berintegritas. Ekses demokrasi bergerak liar menjadi tirani mayoritas
dalam bentuk ekonomi (kapitalisme), keagamaan (fundamentalisme), kesukuan
(tribalisme), dan massa (anarkisme). Institusi-institusi negara menjadi
pulau-pulau tanpa integritas dan tak terintegrasi untuk mencapai tujuan luhur
Republik. Kelemahan manajerial terus dibiarkan kendati jelas menyebabkan
korupsi tak terkendali. Sesama pejabat saling menghibur dan memaafkan. Tak ada
sanksi sosial untuk salah urus yang merugikan rakyat dan keuangan negara.
Penguasa sedang mengkhianati panggilannya sebagai pengawal Republik. Negara ini
menjadi ajang uji coba petualang politik.
Akibatnya, polisi dan tentara berulang kali
terlibat bentrokan. Sekelompok tentara melakukan eksekusi ekstra-yudisial di LP
yang seharusnya sangat aman. Sesama aparat penegak hukum berhadap-hadapan: satu
melakukan eksekusi, yang lain menghalang-halangi. Republik dibangun di atas
konstitusi kerakyatan yang merobohkan dinding sekat-sekat primordial. Sebagai
negara hukum, sejatinya hukum ada untuk melindungi warga dari potensi
penindasan oleh yang lebih kuat, termasuk negara. Jika suatu hukum terbukti
berulang-ulang merugikan kaum yang lebih lemah, demi spirit keutamaan hukum,
hukum itu harus dibatalkan.
Pendirian rumah ibadah umat yang lebih lemah
seharusnya difasilitasi pemerintah. Negeri akan lebih baik dengan lebih banyak
warga berdoa untuk negeri. Ironisnya, pemerintah justru menghambat izin
membangun rumah ibadah, menyegel atau membongkar bangunan yang ada. Saat yang
sama, begitu banyak bangunan untuk kegiatan komersial yang menyalahi izin dan
peruntukan tak mampu ditertibkan. Pemerintah lebih perkasa dengan rumah ibadah.
Salah satu metafora kepemimpinan di Timteng
kuno adalah gembala. Tradisi Ibrani mengenal istilah nagid untuk raja sebagai
pemimpin dengan model gembala. Nabi mengkritik pemimpin yang menggembalakan
diri sendiri, memikirkan kepentingan sendiri. Mereka hanya memanfaatkan susu,
bulu, dan daging domba. Domba makan rumput yang telah diinjak-injak dan minum
air yang telah dikeruhkan gembala. Domba yang lemah tak dipelihara, sakitnya
tak diobati, lukanya tak dibalut. Yang tercerai-berai tak dikumpulkan, dibiarkan
jadi mangsa hewan buas. Sebaliknya, domba merasa aman di tangan gembala yang
baik dan mengenali suaranya. Gembala menuntun kawanan domba ke padang rumput
yang hijau untuk makan dan berbaring, juga ke air yang tenang. Ketika serigala
datang mengancam keselamatan domba, ia tak lari meninggalkan, tetapi siap
mempertaruhkan nyawanya menghalau pergi serigala itu. Ia berdiri di depan
sebagai pemimpin, pembela, dan penunjuk arah. Dalam keadaan aman, ia berdiri di
belakang mereka.
Sekelompok massa mendesak pemerintah untuk
mengusir sekelompok rakyat hanya karena identitas keagamaan. Pemerintah pun
tunduk pada aspirasi inkonstitusional. Rakyat tak dididik untuk menjunjung
konstitusi. Pemerintah menjalankan politik mayoritas-minoritas dan toleran atas
intoleransi. Pelemahan Republik hanya bisa diselamatkan oleh kehadiran pemimpin
berjiwa gembala. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar