Minggu, 16 Juni 2013

Korupsi dan Tanggung Jawab Korporasi

Korupsi dan Tanggung Jawab Korporasi
Hasbullah F Sjawie ;   Doktor Ilmu Hukum, Anggota Pusat Studi Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Trisakti, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 14 Juni 2013


PEMBERITAAN menarik belakangan ini dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mengenai dugaan anggota Direksi PT Indoguna Utama menyuap seorang petinggi partai. Tujuannya agar petinggi partai itu bisa mengondisikan kepada salah satu kementerian guna memberikan izin tambahan kuota impor sapi kepada perseroan terbatas (PT) tersebut. Selain itu, ada dugaan beberapa pejabat Kabupaten Bogor menerima suap dari petinggi PT Garindo Perkasa agar mereka mau menyesuaikan peruntukan ribuan hektare tanah dengan keinginan si pengusaha.

Terhadap kedua dugaan kasus tindak pidana itu, sampai sejauh ini, diberitakan bahwa KPK hanya menetapkan beberapa orang petinggi di PT Indoguna Utama sebagai tersangkanya. Padahal, dugaan tindak pidana korupsi itu dilakukan para pengurus PT untuk kepentingan dan keuntungan PT dan dalam lingkup operasional PT-nya.

Langkah-langkah yang lebih progresif perlu dijalankan KPK, yang salah satunya dengan cara menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi. Kalau selama ini belum dicatat adanya suatu korporasi yang diduga terlibat korupsi dan dituntut secara pidana, pertanyaannya, apakah legal basis untuk menjadikan korporasi sebagai subjek yang juga harus bertanggung jawab masih diperdebatkan sehingga KPK belum ‘bersedia’ melaksanakannya?

PT dan pengurusnya

Organ PT yang oleh Undang-Undang No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yakni kekuasaan dalam kesehariannya diserahkan untuk mengurus dan mewakili PT di depan ataupun di luar pengadilan dan untuk kepentingan dan tujuan PT adalah direksi. Manajemen PT itu dikelola direksi. Untuk pengawasannya, diberikan kepada dewan komisaris. Adapun rapat umum pemegang saham (RUPS) mempunyai kewenangan (sisa) yang tidak diberikan kepada direksi ataupun dewan komisaris. Kewenangan tiap-tiap organ itu bukan merupakan kewenangan yang timbul dari pemberian kuasa oleh RUPS kepada mereka, melainkan merupakan kewenangan yang bersumber kepada UU dan anggaran dasar.

UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo No 20 Tahun 2001 (UU TPK) melalui Pasal 20 Ayat (1)-nya memungkinkan penjeratan pidana bagi korporasi sebagai pelaku. Ayat ini memang membuka pilihan bagi penuntutan dan penjatuhan hukuman atas tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, yaitu, pertama kepada pengurusnya saja; kedua, kepada korporasinya saja; atau, ketiga, kepada pengurus dan korporasinya.

Pilihan itu tentu bukan hanya sekadar `pilihan' bagi KPK, yang bisa dipilih sekadarnya. Rasanya tidak ditemukan alasan yang bisa ditimang-timang sebagai dasar bagi KPK untuk tidak meminta tanggung jawab korporasi yang diduga melakukan pidana korupsi. Pembumihangusan kejahatan korupsi akan semakin lama tercapai, di samping akan sangat tidak adil bila yang dijerat hanya pengurusnya saja. Sementara itu, korporasinya terbebaskan dari permintaan tanggung jawab pidana. Karena itu, baik dari segi UU maupun dari teori hukum, penjeratan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi sangat dimungkinkan.

Setidaknya ada tiga teori hukum yang menunjang hal tersebut. Pertama, sesuai teori Organ, yaitu suatu PT itu diurus dan diwakili pengurusnya. Sebab, PT itu bukan `makhluk' yang secara fisik terdiri dari darah dan daging layaknya manusia. Maka, PT yang merupakan salah satu bentuk badan hukum, yang bersama dengan manusia merupakan subjek hukum, didudukkan sebagai penjelmaan yang benar-benar ada dalam kehidupan hukum. Itu seperti halnya manusia, mempunyai organ-organ, dan cakap bertindak dalam lalu lintas hukum. Apa yang dilakukan organnya itu dianggap sama dengan apa yang dilakukan oleh PT-nya.

Kedua, pengurus suatu PT bisa diidentikkan dengan PTnya, sebagaimana pemikiran teori identifikasi. Direksi ditempatkan sebagai organ PT yang bisa diidentikkan sebagai PT itu sendiri. Tindakannya dianggap directing mind and will suatu PT.

Dengan meminjam pengertian yang disampaikan Simon Goulding (1999), identifikasi teori ini, proceeds on the basis that there is a person or a group of person within the company who are not just agents or employees of the company but who are to be identified with the company and whose thoughts and actions are the very actions of the company itself. Jika pengurus PT memiliki mens rea (kesalahan), mens rea-nya bisa dianggap sebagai mens rea korporasinya. Dalam hal demikian, korporasinya bisa diminta pertanggungjawaban pidana.

Ketiga, menurut teori pelaku fungsional, bila pegawai suatu PT melaku kan suatu tindak pidana, itu merupakan tindak pidana yang dilakukan korporasi. Pembuat (korporasi) tidak perlu melakukan perbuatan itu secara fisik, tetapi bisa saja perbuatan itu dilakukan pegawainya, asal masih dalam ruang lingkup fungsi dan kewenangan korporasi.

Pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini menjadi perbuatan korporasi dapat dilakukan, apabila perbuatan tersebut sesuai anggaran dasarnya, dan dalam masyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasinya.
Jika pegawai itu melakukan tindak pidana, sesungguhnya tindak pidana itu dilakukan korporasinya.

Unsur mutlak

Dalam hukum pidana, dikenal asas geen straf zonder schuld (actus non facit reum nisi mens sir rea). Adanya suatu tindak pidana bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban pidana, karena sangat bergantung dari apakah kepada pelakunya ada kesalahan atau tidak. Kesalahan merupakan unsur yang mutlak ada untuk bisa dimintakannya pertanggungjawaban pidana dari si pelaku, karena suatu tindak pidana itu terdiri atas a criminal act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea). Jadi, perbuatan itu dipisahkan dari kesalahan, dan apabila ada perbuatan dan kesalahan, kepada si pelaku dapat dimintai pertanggungan jawab pidananya.

Setidaknya ada tiga elemen untuk bisa meminta pertang gung jawaban pidana korpo rasi, yaitu pertama, pengurus atau wakil korporasi itu harus mempunyai kewenangan dalam bertindak untuk kepentingan korporasinya dalam lingkup kewenangannya. Kedua, tindakan pengurus atau wakil itu adalah untuk kepentingan korporasinya. Ketiga, tindak pidana yang dilakukan tersebut ditoleransi korporasinya.

Di sini terjadi persinggungan antara UU PT dan UU TPK. Tindak pidana yang dilakukan korporasi hanya bisa terjadi jika termasuk dalam lingkup kewenangan korporasi yang bersangkutan (intra vires). Perbuatan yang dilakukan pengurus, yang bersifat ultra vires tidak akan menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidananya.

Pertanyaannya sekarang, apakah yang dimaksud dengan pengurus PT itu hanya sebatas anggota direksinya? Berbagai putusan pengadilan di beberapa negara ternyata menempatkan tidak hanya anggota direksi yang dianggap sebagai wakil korporasi, tetapi juga sampai kepada karyawannya. Misalnya, putusan perkara HL Bolton (Enginering) Co Ltd vs TJ Graham & Sons Ltd (1957) 1 QB 159 (Court of Appeal, England), menentukan bahwa posisi terendah yang bisa dianggap sebagai pikiran dan kehendak PT adalah manajer. Bukan dalam arti nama jabatan, melainkan titik tekannya kepada fungsinya, yaitu in actual control of the operations of a company or part of them.

Terkait dengan mens rea di atas, Pasal 20 Ayat (2) UU TPK mengikuti berbagai teori tersebut di atas dengan tindak pidana korupsi yang dianggap dilakukan korporasi, yaitu bilamana tindak pidana itu dilakukan orang/orang-orang yang erat berhubungan dengan korporasi yang bersangkutan. Dengan perluasan pengertian `pengurus', KPK akan lebih banyak diberi peluru.

Dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan suatu PT, menurut hemat penulis, yang harus diajukan tuntutan ke pengadilan adalah PT itu bersama-sama dengan pengurus atau pembuatnya yang nyata. Ini akan lebih adil dan membawa efek jera yang lebih maksimal mengingat baik keduanya tidak bisa saling berlindung di belakang punggung satu sama lain. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar