|
MEDIA
INDONESIA, 14 Juni 2013
PEMBERITAAN menarik belakangan ini
dari Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) adalah mengenai dugaan anggota Direksi
PT Indoguna Utama menyuap seorang petinggi partai. Tujuannya agar petinggi
partai itu bisa mengondisikan kepada salah satu kementerian guna memberikan
izin tambahan kuota impor sapi kepada perseroan terbatas (PT) tersebut. Selain
itu, ada dugaan beberapa pejabat Kabupaten Bogor menerima suap dari petinggi PT
Garindo Perkasa agar mereka mau menyesuaikan peruntukan ribuan hektare tanah
dengan keinginan si pengusaha.
Terhadap kedua dugaan kasus tindak pidana itu, sampai
sejauh ini, diberitakan bahwa KPK hanya menetapkan beberapa orang petinggi di
PT Indoguna Utama sebagai tersangkanya. Padahal, dugaan tindak pidana korupsi
itu dilakukan para pengurus PT untuk kepentingan dan keuntungan PT dan dalam
lingkup operasional PT-nya.
Langkah-langkah yang lebih progresif perlu dijalankan KPK,
yang salah satunya dengan cara menjerat korporasi sebagai pelaku korupsi. Kalau
selama ini belum dicatat adanya suatu korporasi yang diduga terlibat korupsi
dan dituntut secara pidana, pertanyaannya, apakah legal basis untuk menjadikan
korporasi sebagai subjek yang juga harus bertanggung jawab masih diperdebatkan
sehingga KPK belum ‘bersedia’ melaksanakannya?
PT dan pengurusnya
Organ PT yang oleh Undang-Undang
No 40 tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), yakni kekuasaan dalam
kesehariannya diserahkan untuk mengurus dan mewakili PT di depan ataupun di
luar pengadilan dan untuk kepentingan dan tujuan PT adalah direksi. Manajemen
PT itu dikelola direksi. Untuk pengawasannya, diberikan kepada dewan komisaris.
Adapun rapat umum pemegang saham (RUPS) mempunyai kewenangan (sisa) yang tidak
diberikan kepada direksi ataupun dewan komisaris. Kewenangan tiap-tiap organ itu
bukan merupakan kewenangan yang timbul dari pemberian kuasa oleh RUPS kepada
mereka, melainkan merupakan kewenangan yang bersumber kepada UU dan anggaran
dasar.
UU No 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi jo No 20 Tahun 2001 (UU TPK) melalui Pasal 20 Ayat (1)-nya memungkinkan
penjeratan pidana bagi korporasi sebagai pelaku. Ayat ini memang membuka
pilihan bagi penuntutan dan penjatuhan hukuman atas tindak pidana korupsi yang
dilakukan oleh atau atas nama suatu korporasi, yaitu, pertama kepada
pengurusnya saja; kedua, kepada korporasinya saja; atau, ketiga, kepada
pengurus dan korporasinya.
Pilihan itu tentu bukan hanya sekadar `pilihan' bagi KPK,
yang bisa dipilih sekadarnya. Rasanya tidak ditemukan alasan yang bisa
ditimang-timang sebagai dasar bagi KPK untuk tidak meminta tanggung jawab
korporasi yang diduga melakukan pidana korupsi. Pembumihangusan kejahatan
korupsi akan semakin lama tercapai, di samping akan sangat tidak adil bila yang
dijerat hanya pengurusnya saja. Sementara itu, korporasinya terbebaskan dari
permintaan tanggung jawab pidana. Karena itu, baik dari segi UU maupun dari
teori hukum, penjeratan korporasi sebagai pelaku tindak pidana korupsi sangat
dimungkinkan.
Setidaknya ada tiga teori hukum yang menunjang hal tersebut.
Pertama, sesuai teori Organ, yaitu suatu PT itu diurus dan diwakili
pengurusnya. Sebab, PT itu bukan `makhluk' yang secara fisik terdiri dari darah
dan daging layaknya manusia. Maka, PT yang merupakan salah satu bentuk badan
hukum, yang bersama dengan manusia merupakan subjek hukum, didudukkan sebagai
penjelmaan yang benar-benar ada dalam kehidupan hukum. Itu seperti halnya
manusia, mempunyai organ-organ, dan cakap bertindak dalam lalu lintas hukum.
Apa yang dilakukan organnya itu dianggap sama dengan apa yang dilakukan oleh
PT-nya.
Kedua, pengurus suatu PT bisa diidentikkan dengan PTnya, sebagaimana
pemikiran teori identifikasi. Direksi ditempatkan sebagai organ PT yang bisa
diidentikkan sebagai PT itu sendiri. Tindakannya dianggap directing mind and will suatu PT.
Dengan meminjam pengertian yang disampaikan Simon Goulding
(1999), identifikasi teori ini, proceeds
on the basis that there is a person or a group of person within the company who
are not just agents or employees of the company but who are to be identified
with the company and whose thoughts and actions are the very actions of the
company itself. Jika pengurus PT memiliki mens rea (kesalahan), mens rea-nya
bisa dianggap sebagai mens rea
korporasinya. Dalam hal demikian, korporasinya bisa diminta pertanggungjawaban
pidana.
Ketiga, menurut teori pelaku fungsional, bila pegawai suatu
PT melaku kan suatu tindak pidana, itu merupakan tindak pidana yang dilakukan
korporasi. Pembuat (korporasi) tidak perlu melakukan perbuatan itu secara
fisik, tetapi bisa saja perbuatan itu dilakukan pegawainya, asal masih dalam
ruang lingkup fungsi dan kewenangan korporasi.
Pelimpahan pertanggungjawaban dari perbuatan manusia ini
menjadi perbuatan korporasi dapat dilakukan, apabila perbuatan tersebut sesuai
anggaran dasarnya, dan dalam masyarakat berlaku sebagai perbuatan korporasinya.
Jika pegawai itu melakukan tindak pidana, sesungguhnya tindak pidana itu dilakukan korporasinya.
Jika pegawai itu melakukan tindak pidana, sesungguhnya tindak pidana itu dilakukan korporasinya.
Unsur mutlak
Dalam hukum pidana, dikenal asas geen straf zonder schuld (actus
non facit reum nisi mens sir rea). Adanya
suatu tindak pidana bukan berarti sudah pasti akan ada suatu pertanggungjawaban
pidana, karena sangat bergantung dari apakah kepada pelakunya ada kesalahan
atau tidak. Kesalahan merupakan unsur yang mutlak ada untuk bisa dimintakannya
pertanggungjawaban pidana dari si pelaku, karena suatu tindak pidana itu
terdiri atas a criminal act (actus reus) dan a criminal intent (mens rea).
Jadi, perbuatan itu dipisahkan dari kesalahan, dan apabila ada perbuatan dan
kesalahan, kepada si pelaku dapat dimintai pertanggungan jawab pidananya.
Setidaknya ada tiga elemen untuk bisa meminta pertang gung
jawaban pidana korpo rasi, yaitu pertama, pengurus atau wakil korporasi itu
harus mempunyai kewenangan dalam bertindak untuk kepentingan korporasinya dalam
lingkup kewenangannya. Kedua, tindakan pengurus atau wakil itu adalah untuk
kepentingan korporasinya. Ketiga, tindak pidana yang dilakukan tersebut
ditoleransi korporasinya.
Di sini terjadi persinggungan antara UU PT dan UU TPK.
Tindak pidana yang dilakukan korporasi hanya bisa terjadi jika termasuk dalam
lingkup kewenangan korporasi yang bersangkutan (intra vires). Perbuatan yang dilakukan pengurus, yang bersifat
ultra vires tidak akan menempatkan korporasi sebagai pelaku tindak pidananya.
Pertanyaannya sekarang, apakah yang dimaksud dengan
pengurus PT itu hanya sebatas anggota direksinya? Berbagai putusan pengadilan
di beberapa negara ternyata menempatkan tidak hanya anggota direksi yang
dianggap sebagai wakil korporasi, tetapi juga sampai kepada karyawannya. Misalnya,
putusan perkara HL Bolton (Enginering)
Co Ltd vs TJ Graham & Sons Ltd (1957) 1 QB 159 (Court of Appeal, England), menentukan bahwa posisi terendah yang
bisa dianggap sebagai pikiran dan kehendak PT adalah manajer. Bukan dalam arti
nama jabatan, melainkan titik tekannya kepada fungsinya, yaitu in actual control of the operations of a
company or part of them.
Terkait dengan mens
rea di atas, Pasal 20 Ayat (2) UU TPK mengikuti berbagai teori tersebut di
atas dengan tindak pidana korupsi yang dianggap dilakukan korporasi, yaitu
bilamana tindak pidana itu dilakukan orang/orang-orang yang erat berhubungan
dengan korporasi yang bersangkutan. Dengan perluasan pengertian `pengurus', KPK
akan lebih banyak diberi peluru.
Dalam hal terjadi tindak pidana korupsi yang dilakukan
suatu PT, menurut hemat penulis, yang harus diajukan tuntutan ke pengadilan
adalah PT itu bersama-sama dengan pengurus atau pembuatnya yang nyata. Ini akan
lebih adil dan membawa efek jera yang lebih maksimal mengingat baik keduanya
tidak bisa saling berlindung di belakang punggung satu sama lain. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar