|
TEMPO.CO, 31 Mei 2013
Keberhasilan mempertahankan kemerdekaan RI, yang berklimaks
dengan pengakuan kedaulatan oleh lawan pada akhir 1949, segera diiringi
apresiasi yang luar biasa marak terhadap Pancasila. Konstitusi sudah silih
berganti, terakhir UUDS 1950, Pancasila tetap dikukuhkan. Pidato Bung Karno 1
Juni 1945, yang telah diberi tajuk Lahirnja Pantjasila, dicetak
ulang sampai berkali-kali. Terbit pula sejumlah buku khusus membahas Pancasila,
salah satunya ditulis oleh tak kurang dari Ki Hadjar Dewantara. Dan Sukarno,
sang penggali Pancasila, dianugerahi doktor honoris causa oleh
sederet universitas di dalam maupun luar negeri. Tapi justru di tengah
gelombang pasang itulah Sutan Takdir Alisjahbana menyentak. Bahkan terasa
mementahkan semuanya.
Dalam forum ahli pendidikan di
Bandung, Takdir bilang: Pancasila belum memenuhi syarat sebuah sistem filsafat.
Ide-ide di dalamnya saling bertentangan, tidak koheren. Misalnya sila I, yang
mengamanatkan warga untuk bertuhan dan beragama, itu bertentangan dengan
demokrasi dalam sila IV, yang menjamin hak asasi warga untuk bebas beragama
maupun tidak. “Sila-sila itu laksana pasir yang tercerai-berai di pantai!”
demikian kesimpulan sang pujangga, yang memang dikenal menekuni filsafat.
Penyatuan ide-ide yang bertentangan
memang tak selesai dengan merumuskannya dalam satu kata majemuk. Misalnya
penyatuan sosialisme dan demokrasi (sila V dan IV Pancasila). Baik untuk
menangkal ekses ketidakadilan sosial dalam demokrasi sebagaimana ditempuh Jean
Jaures (yang dituruti Sukarno dengan rumusan “sosio-demokrasi”-nya) maupun buat
sebaliknya, menangkal ekses totaliteristik dalam sosialisme sebagaimana
dianjurkan Bernstein dengan “sosialis-demokrat”-nya (yang dituruti Hatta dan
terutama Sjahrir di Indonesia). Bahkan, puluhan tahun sesudahnya, ketika pada
1990-an Prof Anthony Giddens mengusahakan revitalisasi sosialisme-demokrasi
dengan jalan yang kendati sudah ternilai sangat radikal, sosiolog asal Inggris
tersebut masih dicibir sebagai orang yang kurang mengerti sejauh mana kuasa dan
kejinya kapitalisme.
Sistem kesatuan antar-sila
Sejak pernyataan Takdir itulah,
dimulai upaya serius untuk mencari rumusan sistem filsafat buat Pancasila.
Upaya epistemologis, walau lebih sering dirancui oleh upaya politis. Tercatat
yang pertama ialah Prof Hamka dan Pdt. Rosin. Buya Hamka, sastrawan dan ulama,
mengajukan teori “urat tunggal” atau “akar tunggang” Pancasila. Sila I,
Ketuhanan, adalah akar dari semua sila lainnya. Para politikus pro-komunisme
berang, merasa diusir dari legitimasi ideologi negara. Polarisasi politik
mereka dengan umat muslim inilah yang berkembang mengekstrem sampai dalam
sidang-sidang Konstituante. Sementara teori akar tunggal itu sendiri ternilai
kurang memadai, kurang rinci mempedomani. Sejarah di banyak negara menyaksikan
betapa politik berlatar keagamaan melahirkan sistem sosialisme maupun kapitalisme.
Adapun Dr H. Rosin, dosen Sekolah
Tinggi Theologia Jakarta, menyatukan lima sila dalam bangunan pentagram,
seperti lima sudut bintang. Setiap sudut terhubung dengan sudut lainnya: setiap
sila harus dimaknai berdasarkan semua sila lainnya. Logika formalnya sudah
tepat sebagai tujuan. Tapi, tanpa pedoman memadai untuk mencapai tujuan
tersebut, hanya dihasilkan rumusan kata-kata tanpa makna yang dibutuhkan.
Itulah yang dialami Prof Notonagoro di kemudian hari. Misalnya ketika
merumuskan “arti” sila I: Ketuhanan YME yang berkemanusiaan yang adil dan
beradab, berpersatuan Indonesia, berkerakyatan… dan seterusnya. Rumusan begini
tentu saja harus tergulung dalam lingkaran tak berujung-pangkal, karena bila
selanjutnya ditanya arti dari “berkemanusiaan” atau “berpersatuan” yang
menyifati sila Ketuhanan itu, maka masing-masingnya pun harus dijelaskan
sebagai: kemanusiaan yang berketuhanan, berpersatuan Indonesia, dan
seterusnya…. Dan seterusnya tanpa bisa henti!
Hingga sekarang, sudah tak
terhitung literatur yang berpretensi sebagai “Filsafat Pancasila”, namun
umumnya hanya silat kata-kata tanpa pengertian yang terkonstruksi secara logis,
apalagi yang koheren.
Malah ada yang lucu-lucu. Misalnya,
Prof Moh. Yamin dalam Seminar Pancasila 1959. Pancasila dinilainya sah sebagai
filsafat karena sesuai dengan falsafah Hegel yang mengajarkan dialektika atau
serba-pertentangan. Padahal sebuah falsafah justru memiliki paradigma serta
sistem nilainya sendiri. Seorang filsuf Pancasilais justru harus dapat menilai
kekurangan Hegelianisme.
Banyak rumusan yang terperangkap
pada ambisi menemukan apa yang oleh ilmuwan sosial mutakhir dikritik sebagai
monokausal. Meski dengan catatan aneh-aneh, seperti “mono-dualisme” ala P-4
atau “mono-pluralis” dari konseptor lainnya. Monokausal--seperti “Ekasila
Gotong-Royong” dari Sukarno, “Eka Prasetya Pancakarsa” dari P-4, dan
“Bersamaisme” dari Prof Soediman Kartohadiprodjo--cenderung mengalami kesulitan
seperti teori akar tunggal, yakni buah-buah implikasi serta implementasi yang
bisa tak koheren. Begitu pula bila diakarkan pada eksistensi manusia
sebagaimana dianjurkan H. Sidhi Gazalba dan kemudian Dr Drijarkara, jika tanpa
penjelasan bahwa Pancasila adalah falsafah desisionik (bukan keniscayaan
alamiah) dan tanpa pedoman cukup rinci.
Ketika pada 1960-an Sukarno
mengajukan “Panca Azimat” Revolusi Indonesia, di mana Pancasila cuma sebagai
salah satu elemennya, itu adalah penegasan bahwa Pancasila bukan falsafah
dasar. Tak beda dengan 4 Pilar Kebangsaan yang sekarang jadi mode. Mengira sedang
mengagungkan Pancasila, padahal sudah menafikan kefilsafatan Pancasila.
Ironis! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar