|
SUARA
MERDEKA, 20 Juni 2013
SEJAK awal kasus Cebongan mendapat perhatian serius dari
banyak kalangan. Kekhawatiran demi kekhawatiran muncul hambatan dalam proses
penegakan hukum bisa dilampaui, dan hari ini mulai memasuki fase yang
menentukan. Dalam hukum acara pidana, tahap pemeriksaan saksi pada persidangan
menjadi pengujian sejumlah proses pemeriksaan pendahuluan.
Pihak penuntut umum akan berusaha semaksimal mungkin
membuktikan dakwaan dengan menghadirkan barang bukti dan saksi. Sebaliknya,
pihak terdakwa bersama penasihat hukum akan mengajukan bukti-bukti, seandainya
ada, yang sekiranya bisa meringankan hukuman.
Dalam norma hukum, baik pihak jaksa penuntut umum maupun
terdakwa, secara bersama-sama akan mencari kebenaran material atas materi yang
disidangkan. Kedudukan alat bukti, salah satunya adalah saksi, merupakan hal
yang sangat sentral, bahkan ibarat jantung dalam peradilan pidana.
Keterangan para saksi diharapkan bisa merangkai gambaran
yang mengilustrasikan peristiwa senyatanya. Karena itu, sedari awal harus ada
jaminan bahwa ketika memberikan keterangan para saksi itu terbebas dari rasa
takut ataupun tertekan. Saksi harus benar-benar ''merdeka'' sehingga siap
memberikan keterangan demi kebenaran semata.
Dari awal pengungkapan kasus Cebongan, para saksi
mendapatkan perlindungan khusus dari Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
(LPSK). Salah satu alasannya adalah sebagian besar dari para saksi tersebut
merupakan tahanan LP Cebongan Sleman DIY, yang saat kejadian berada dalam satu
ruangan dengan empat korban penembakan. Berdasarkan hal itu pula, LPSK sejak
awal meminta perlunya pemeriksaan saksi dengan cara konferensi jarak jauh (teleconference)
Penerapan kali pertama telekonferensi dalam persidangan di
Indonesia dilakukan tahun 2002. Ketika itu mantan presiden BJ Habibie
memberikan kesaksian dari Hamburg Jerman untuk persidangan kasus korupsi
pengadaan beras di Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan. Sidang itu
diselenggarakan terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Cara bersaksi seperti itu debatable mengingat dalam
pengertian kesaksian di persidangan, seharusnya saksi hadir secara fisik
(syarat material). Bila saksi tidak hadir langsung dan hanya memberikan
keterangan secara tertulis maka pembuktiannya menjadi ''tidak bernilai'' karena
tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam KUHAP.
Demikian pula kesaksian hasil telekonferensi bisa
mengakibatkan nilai keterangan saksi berubah hanya menjadi alat bukti
petunjuk, atau bahkan sebatas keterangan tambahan, tidak sebagai keterangan
pokok, dan hal itu tentu tidak kita harapkan.
Berbiaya Murah
Kesaksian dengan cara telekonferensi, selain mempunyai
kelemahan menyangkut nilai pembuktian, juga bertentangan dengan asas peradilan
yang antara lain menyaratkan berbiaya murah. Biaya telekonferensi sangat
mahal, yakni Rp 18 juta per 6 jam (SM, 14/6/13), atau Rp 3 juta per jam. Selain
itu, berisiko muncul kendala teknis berupa gangguan jaringan internet yang
menjadi andalan pelaksanaan telekonferensi.
Kendala itu harus benar-benar diantisipasi mengingat pada
umumnya pemeriksaan terhadap saksi didominasi oleh hakim.
Sang pengadil akan menghabiskan banyak waktu untuk mengorek
keterangan dari saksi, menyusul jaksa penuntut umum. Adapun porsi pertanyaan
dari pihak terdakwa kemungkinan sangat kecil. Kesiapan teknis itu amat diperlukan mengingat besarnya
biaya yang harus ditanggung negara dari persidangan telekonferensi. Bila hanya
mendalihkan efisiensi atau keamanan tapi keterangan saksi tidak tuntas, dan ada
gangguan jaringan tak bisa cepat diatasi maka peradilan tidak bisa berjalan cepat.
Bahkan hakim perlu menunda persidangan terkait kondisi, yang seharusnya tidak
terjadi bila pemeriksaan saksi dilakukan secara langsung.
Merujuk teori persidangan yang baik maka harus dipenuhi
unsur persidangan yang berjalan adil, saksi memberikan keterangan secara bebas,
proses persidangan yang bisa menemukan kebenaran material atas tindak pidana
yang disidangkan, persidangan terbuka untuk umum, dan ada bantuan hukum.
Semua pihak berharap sidang kasus Cebongan menjadi contoh
persidangan yang baik sehingga bisa menjadi pelajaran supaya tak ada lagi kasus
serupa pada kemudian hari. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar