Jumat, 21 Juni 2013

Nilai Pembuktian Telekonferensi

Nilai Pembuktian Telekonferensi
Hibnu Nugroho ;   Dosen Program Pascasarjana Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Purwokerto
SUARA MERDEKA, 20 Juni 2013


SEJAK awal kasus Cebongan mendapat perhatian serius dari banyak kalangan. Kekhawatiran demi kekhawatiran muncul hambatan dalam proses penegakan hukum bisa dilampaui, dan hari ini mulai memasuki fase yang menentukan. Dalam hukum acara pidana, tahap pemeriksaan saksi pada persidangan menjadi pengujian sejumlah proses pemeriksaan pendahuluan.

Pihak penuntut umum akan berusaha semaksimal mungkin membuktikan dakwaan dengan menghadirkan barang bukti dan saksi. Sebaliknya, pihak terdakwa bersama penasihat hukum akan mengajukan bukti-bukti, seandainya ada, yang sekiranya bisa meringankan hukuman.

Dalam norma hukum, baik pihak jaksa penuntut umum maupun terdakwa, secara bersama-sama akan mencari kebenaran material atas materi yang disidangkan. Kedudukan alat bukti, salah satunya adalah saksi, merupakan hal yang sangat sentral, bahkan ibarat jantung dalam peradilan pidana.

Keterangan para saksi diharapkan bisa merangkai gambaran yang mengilustrasikan peristiwa senyatanya. Karena itu, sedari awal harus ada jaminan bahwa ketika memberikan keterangan para saksi itu terbebas dari rasa takut ataupun tertekan. Saksi harus benar-benar ''merdeka'' sehingga siap memberikan keterangan demi kebenaran semata.

Dari awal pengungkapan kasus Ce­bongan, para saksi mendapatkan perlindungan khusus dari Lembaga Perlindung­an Saksi dan Korban (LPSK). Salah satu alasannya adalah sebagian besar dari para saksi tersebut merupakan tahanan LP Cebongan Sleman DIY, yang saat kejadian berada dalam satu ruangan dengan empat korban penembakan. Berdasarkan hal itu pula, LPSK sejak awal meminta perlunya pemeriksaan saksi dengan cara konferensi jarak jauh (teleconference)

Penerapan kali pertama telekonferensi dalam persidangan di Indonesia dilakukan tahun 2002. Ketika itu mantan presiden BJ Habibie memberikan kesaksian dari Hamburg Jerman untuk  persidangan kasus korupsi pengadaan beras di Bulog dengan terdakwa Rahardi Ramelan. Sidang itu diselenggarakan terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.

Cara bersaksi seperti itu debatable mengingat dalam pengertian kesaksian di persidangan, seharusnya saksi hadir secara fisik (syarat material). Bila saksi tidak hadir langsung dan hanya memberikan keterangan secara tertulis maka pembuktiannya menjadi ''tidak bernilai'' karena tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam KUHAP.

Demikian pula kesaksian hasil te­le­konferensi bisa mengakibatkan nilai ke­terangan saksi berubah hanya menjadi alat bukti petunjuk, atau bahkan sebatas kete­rangan tambahan, tidak sebagai keterangan pokok, dan hal itu tentu tidak kita harapkan.

Berbiaya Murah

Kesaksian dengan cara telekonferensi, selain mempunyai kelemahan menyang­kut nilai pembuktian, juga bertentangan dengan asas peradilan yang antara lain me­nyaratkan berbiaya murah. Biaya tele­konferensi sangat mahal, yakni Rp 18 juta per 6 jam (SM, 14/6/13), atau Rp 3 juta per jam. Selain itu, berisiko muncul kendala teknis berupa gangguan jaringan internet yang menjadi andalan pelaksanaan telekonferensi.
Kendala itu harus benar-benar di­antisipasi mengingat pada umumnya pemeriksaan terhadap saksi didominasi oleh hakim.

Sang pengadil akan menghabiskan banyak waktu untuk mengorek kete­rangan dari saksi, menyusul jaksa pe­nuntut umum. Adapun porsi pertanyaan dari pihak terdakwa kemungkinan sangat kecil. Kesiapan teknis itu amat diperlukan mengingat besarnya biaya yang harus ditanggung negara dari persidangan telekonferensi. Bila hanya mendalihkan efisiensi atau keamanan tapi keterangan saksi tidak tuntas, dan ada gangguan jaringan tak bisa cepat diatasi maka peradilan tidak bisa berjalan cepat. Bahkan hakim perlu menunda persidangan terkait kondisi, yang seharusnya tidak terjadi bila pemeriksaan saksi dilakukan secara langsung.

Merujuk teori persidangan yang baik maka harus dipenuhi unsur persidangan yang berjalan adil, saksi memberikan keterangan secara bebas, proses persidangan yang bisa menemukan kebenaran material atas tindak pidana yang disidangkan, persidangan terbuka untuk umum, dan ada bantuan hukum.

Semua pihak berharap sidang kasus Cebongan menjadi contoh persidangan yang baik sehingga bisa menjadi pelajaran supaya tak ada lagi kasus serupa pada kemudian hari. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar