Jumat, 21 Juni 2013

Demokratisasi Parpol

Demokratisasi Parpol
Andrinof Chaniago ;   Pengamat Politik UI
SUARA KARYA, 20 Juni 2013


Sejauh ini, sebagian besar partai politik (parpol) di Indonesia boleh disebut belum demokratis. Ketika prinsip demokrasi hendak ditegakkan, ada sesuatu yang aneh. Elite politik membuat aturan internal yang berujung demokratisasi tidak berkembang. Sebagai antisipasi, perlu diatur dalam UU Pemilu, agar demokratisasi di internal parpol sejalan dengan proses demokrasi di Indonesia. Oleh karena itu, harus ada klausul yang memaksa demokratisasi di tubuh parpol.

Demokratisasi di parpol harus terus dikawal, misalnya dengan mengembangkan konvensi, dan hal itu harus diatur dalam undang-undang. Perlunya dimasukkan ajang konvensi dalam undang-undang karena konvensi merupakan bagian dari demokratisasi dalam internal parpol. Sebab, demokratisasi melalui konvensi akan memunculkan para calon pemimpin yang berkualitas. Bahkan, bisa jadi calon pemimpin yang benar-benar dikehendaki rakyat.

Selama ini, ketika parpol menentukan calon pemimpin, kebanyakan tidak dibuka secara terang-terangan. Partai bisa melakukan konvensi untuk menentukan calon pemimpin yang akan diusung pada pemilu. Apalagi, konvensi membuka kompetisi capres di internal partai sehingga capres tidak dibajak elite partai yang akan memutuskan dengan membatasi jumlah kandidat.

Keputusan membatasi jumlah kandidat itu menunjukkan bahwa partai belum melakukan kaderisasi dengan baik. Kaderisasi di parpol tidak berjalan sehingga ketika akan mencalonkan kepala daerah, banyak yang tidak siap. Kesannya, figur calon pemimpin ditentukan asal comot saja. Seharusnya, parpol menyiapkan kader sesuai dengan proses perekrutan calon pemimpin sehingga teruji secara kualitas.
Begitu juga dalam menentukan calon anggota legislatif, harus dilakukan secara terbuka. Ironisnya, cara parpol dalam menentukan bakal calon anggota legislastif sangat misterius. Masyarakat banyak yang tidak tahu kinerja atau latar belakang seorang caleg.

Pengisian jabatan publik di parpol juga sangat eksklusif sehingga menghilangkan demokratisasi. Seharusnya partai menjelaskan secara mendetail mengapa memilih seseorang untuk duduk di jabatan publik tertentu.
Bagi anggota DPR yang kembali maju dalam penca-lonan legislatif, misalnya, maka masyarakat harus mengetahui bagaimana kinerjanya selama menjadi anggota dewan. Kalau memang sering bolos, tentu tak layak dipilih lagi karena sama saja sudah mengingkari kepercayaan masyarakat.

Fungsi kontrol di DPR juga sangat lemah sehingga masyarakat banyak yang tidak tahu kinerja anggota dewan. Untuk itu, penyebarluasan produk undang-undang yang dihasilkan DPR dan juga masalah absensi menjadi sangat penting dilakukan.

Suatu "tradisi" yang melekat di parpol adalah bahwa parpol tidak siap menghadapi masalah. Terkesan parpol kurang persiapan atau kurang perencanaan. Seperti dalam penentuan batas akhir pendaftaran caleg tempo hari, terbukti mereka hampir selalu memenuhinya pada detik-detik sebelum penutupan di setiap tenggat yang diberikan.

Pemanfaatan waktu pada detik-detik terakhir sudah pasti akan menjadikan sangat terburu-buru. Risikonya, akan banyak kesalahan dilakukan. Walaupun, misalnya, hanya kesalahan registrasi, tetapi hal itu tetap saja akan membuat suasana pendaftaran menjadi kacau.

Bayangkan, orang berbondong-bondong datang bersama-sama ke KPU untuk mendaftar dan memuat tanda terima. Padahal, sudah diberikan waktu cukup lama. Oleh karena itu, parpol harus berbenah, parpol harus mengubah manajemen kepemimpinannya. Kalau tidak, tentu saja citra parpol akan makin terpuruk. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar