|
KOMPAS,
14 Juni 2013
Dengan
modal keilmuan, pengalaman hidup, dan kepedulian pada persoalan bangsa dan
kemanusiaan, kalangan intelektual Indonesia dihadapkan pada dilema: apakah akan
turut berjuang melalui jalur kepartaian dan birokrasi pemerintah ataukah akan
tetap berada di luar. Sebuah pilihan yang sulit dijawab dan masing-masing memiliki
risiko serta kelemahan.
Muncul
kesan dalam masyarakat bahwa parpol lebih banyak diisi oleh kalangan pengusaha,
aktivis sosial, dan selebritas. Sementara kalangan ilmuwan dan intelektual
lebih memilih sebagai pengamat atau berkarier di luar jalur parpol.
Pemberitaan
citra politisi yang selalu dikaitkan dengan skandal korupsi makin tak menarik
kalangan intelektual dan bahkan juga dari kalangan mahasiswa. Akibatnya, dunia
politik dipersepsikan sebagai dunia yang kelabu, korup, dan tidak bisa
diharapkan untuk memperbaiki bangsa. Bahkan, dinilai malah merusak cita-cita
luhur reformasi dan demokrasi yang bertujuan memajukan negeri dan
menyejahterakan rakyat.
Kalangan
politisi bisa saja melakukan klarifikasi dan bantahan terhadap persepsi
tersebut. Namun, fakta di lapangan dan gencarnya pemberitaan seputar korupsi
yang dilakukan kader partai, baik yang di DPR maupun pemerintah, sangat sulit
ditutupi untuk menghapus ingatan kolektif masyarakat.
Lebih
celaka lagi, skandal korupsi ini juga merata sampai di daerah. Jadi, persepsi
yang berkembang dalam masyarakat adalah bahwa pembangunan tak mengalami
kemajuan berarti, sementara korupsi justru kian menyebar dan angkanya semakin
membesar.
Prestasi
paling nyata di era reformasi tentu saja masyarakat memiliki ruang kebebasan
berekspresi dan berserikat yang semakin luas. Hanya saja, kebebasan tanpa
dikawal penegakan hukum yang tegas dan adil, pendidikan yang merata, serta
tersedianya lapangan kerja hanyalah menimbulkan kegaduhan yang lama-lama
mendevaluasi makna demokrasi dan reformasi. Dan, itu sudah terjadi.
Kalangan
intelektual sendiri merasa gamang. Mereka sadar akan tanggung jawab dan
tuntutan sosial untuk ikut memperbaiki pemerintahan yang ada demi bangsa dan
rakyat. Namun, mereka juga merasa waswas: apakah efektif dan pilihan tepat
bergabung lewat jalur parpol dan seterusnya merapat ke pemerintah. Betulkah
dunia politik menjanjikan perubahan? Ataukah dirinya yang tergilas dan diubah
oleh parpol dan birokrasi pemerintahan yang korup?
Kesadaran
kolektif
Sangat
disayangkan, yang lebih mengemuka sekarang ini adalah manuver kelompok—terutama
parpol—untuk memperjuangkan kepentingan masing-masing. Sementara kesadaran
kelompok untuk bersama-sama memperbaiki keadaan dan membangun hari esok yang
menjanjikan justru tak muncul.
Terjadi
krisis kepemimpinan, di level pusat dan daerah, yang menginspirasi dan
menggerakkan. Para politisi sibuk berwacana, seremoni, dan beriklan, tetapi tak
punya agenda yang mampu menarik dan menggerakkan massa untuk bangkit mengakhiri
era yang penuh dengan keluh kesah dan berita korupsi.
Para
elite politik terjun ke bawah hanya untuk menarik simpati dan mendulang suara,
bukan memimpin dan memberi contoh bagaimana mengubah dan memperbaiki keadaan
dengan program dan keteladanan nyata.
Oleh
karena itu, sangat logis kalau sampai hari ini rakyat bingung ketika ditanya
siapa calon presiden dan wakil presiden ke depan. Sementara itu, mereka yang
berambisi dan merasa mampu jadi capres-cawapres juga sibuk dan bingung
bagaimana caranya meyakinkan rakyat bahwa dirinya yang pas untuk dipilih.
Artinya,
baik rakyat maupun jajaran politisi sama-sama bingung. Bisa saja ini dilihat
sebagai hal yang wajar, bahwa dalam politik situasinya selalu gaduh dan tidak
nyaman. Namun, bukankah dalam pembangunan ada tuntutan dan indikator konkret
serta rasional untuk mengukur berhasil tidaknya sebuah rezim?
Melihat
situasi demikian kalangan aktivis-intelektual mesti membuat pilihan. Posisi
yang mudah dan tanpa risiko adalah berteriak mengkritik dari luar dengan
memberikan berbagai tawaran solusi. Ini pun suatu kemajuan dibandingkan masa
Orde Baru yang membungkam pikiran kritis terhadap penguasa.
Akan
tetapi, ternyata berbagai kritik tajam yang disertai data akurat pun tak banyak
berpengaruh. Korupsi, misalnya, tetap saja berkembang sekalipun media massa
rajin mengekspos wajah para pelakunya. Para wakil rakyat tetap saja membolos
sidang dan tetap rajin studi banding ke luar negeri meski para pengamat tidak
bosan menghujat. Jadi, sekadar menjadi pengamat dan pengkritik rupanya tidak
cukup efektif untuk mengubah keadaan.
Namun,
pilihan bergabung masuk gerbong politik juga berisiko. Misalnya, ikut
mencalonkan jadi calon anggota legislatif tetap perlu modal besar, Rp 500
juta-Rp 3 miliar. Belum lagi jika ingin maju jadi kepala daerah, biayanya lebih
mahal lagi.
Serba
gamang
Bagi
kalangan intelektual, di samping sejumlah uang itu sangat besar, tentu
nuraninya tidak mengizinkan mendulang suara mesti dengan cara transaksional
layaknya jual-beli. Lebih menakutkan lagi jika kultur politik dan birokrasi
yang akan dimasuki ternyata busuk. Mesti dipikirkan matang-matang, mau untung
atau mau buntung. Benarkah mereka mampu mengubah? Ataukah malah akan kandas
diubah atau tidak berdaya melakukan perbaikan apa-apa?
Faktor
lain yang membuat intelektual gamang masuk ke politik dan birokrasi
pemerintahan adalah kekecewaan mereka melihat para aktivis kampus yang semula
diyakini sebagai orang yang berintegritas, bersih, ternyata akhirnya jebol,
terperangkap korupsi dan berurusan dengan KPK. Kekecewaan ini ditambah lagi
melihat jajaran polisi dan hakim yang mestinya berperan sebagai penegak hukum
dan pemberantas korupsi, tetapi nyatanya menjadi biang korupsi.
Jadi,
bagi aktivis-intelektual yang sudah bertekad masuk politik dan merapat ke
pemerintah, semoga saja kuat godaan dan produktif untuk turut memperbaiki
bangsa. Mereka mengemban tugas berat guna mengembalikan kepercayaan publik
terhadap demokrasi dan reformasi yang awalnya dimotori kalangan intelektual dan
aktivis kampus.
Bagi
yang memilih berada di luar, di sana masih banyak jalan untuk berpartisipasi
aktif menggerakkan dan membangun masyarakat. Jalur politik dan birokrasi hanya
sebagian saja dari pilar berbangsa dan bernegara. Namun, yang pasti, jangan
bosan melakukan kritik terhadap politisi dan pejabat yang mengkhianati amanat
rakyat. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar