Senin, 17 Juni 2013

Mengintervensi Pasar Pangan

Mengintervensi Pasar Pangan
Arif Dwi Hartanto ;   Peneliti Muda pada Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Pendidikan (LP3), Universitas Brawijaya
SUARA KARYA, 15 Juni 2013


Isu pangan dalam negeri untuk beberapa waktu terakhir ini masih menjadi berita yang merisaukan. Indikasinya ditandai dengan lonjakan harga pangan dari ragam kebutuhan pokok, seperti cabe, bawang putih, daging sapi, dan lain-lain. Khusus untuk kenaikan harga komoditas daging sapi bahkan diperkirakan akan tetap tinggi hingga Juni/Juli mendatang. Meskipun daging bukan konsumsi utama, namun kondisi ini secara keseluruhan cukup menggambarkan betapa peran pemerintah dalam mengelola harga pangan belum optimal. Dampaknya, selalu terjadi lonjakan laju inflasi.

Jika kondisi macam ini terus dibiarkan maka sudah barang tentu akan berbahaya. Implikasi terbesar adalah semakin melonjaknya jumlah orang miskin akibat harga pangan. Dari total penduduk 237,6 juta jiwa, setidakya sebesar 65,34 juta jiwa atau 27,5% adalah mereka yang rentan rawan pangan. (Cahyono, 2011) Kondisi tahun 2011 tak jauh berbeda dengan sekarang. Karena, lebih dari 50% pengeluaran masyarakat Indonesia masih diperuntukkan bagi belanja pangan. Terlebih, menurut ADB (Asian Development Bank), masyarakat pedesaan Indonesia masih berada di urutan ketiga di Asia yang paling rentan jatuh miskin akibat 
kenaikan harga pangan.

Realitas ini jelas bertolak belakang dengan apa yang akan diberikan FAO kepada Presiden SBY pada pertengahan Juni ini. Di mana, Indonesia dianggap berhasil menurunkan populasi penduduk kekurangan gizi karena dapat mengkombinasikan program peningkatan produksi pangan. Sehingga, hal ini dinilai berhasil dalam menurunkan angka kemiskinan dan kelaparan serta keberhasilannya dalam produksi dan aksesbilitas pangan.

Terlepas dari penghargaan dari FAO, nyatanya Indonesia masih mengalami persoalan pangan. Dengan kelebihan sumberdaya alam dan tanah yang subur, serta mayoritas penduduknya berkecimpung di sektor pertanian, sangat aneh bila kemudian selalu terjadi gonjang-ganjing persoalan pangan. Apalagi, sejauh ini persoalan pangan belum menjadi kebijakan prioritas, dan umumnya memang demikian setelah era Soeharto.

Salah Urus

Realitas di atas tak dapat dilepaskan dari kebijakan pangan yang masih menjadi anak tiri, kalah perhatian dibanding pertumbuhan ekonomi yang mempunyai status sebagai lokus kekuasaan, apalagi dengan urusan kepartaian. Dampaknya, riuh gemuruh persoalan pangan selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari kata tuntas. Sehingga, sampai sekarang masih belum dicarikan jalan keluar dalam jangka panjang untuk menaklukkan kerasnya hantaman gelombang persoalan pangan.

Kondisi ini mengantarkan Indonesia semakin tak berdaulat dalam menangani sektor pangan. Contoh nyata ketidakberdaulatan ini adalah banyaknya impor dari negara lain. Seperti tahun 2012, komoditas gula 78% adalah dari Thailand; bawang putih 95% dari China dan India; daging sapi 18% dari Australia; dan susu 75% dari Australia. (Khudori, 2012) Selain itu, masih banyak komoditas lain yang diimpor, seperti kedelai, tepung terigu, gandum, kentang, singkong, bahkan sampai beras dan garam. Dari kondisi ini, wajar bila pemberian penghargaan dari FAO mendapat banyak kritik karena jauh dari realitas.
Kondisi di atas menggambarkan betapa masih kelabakannya pemerintah dalam menghadapi persoalan pangan. Jelas ada sesuatu yang salah.

Kondisi ini sebenarnya dapat ditelusur dari dua pendekatan, yakni faktor alam (input produksi), atau karena faktor sistem (distribusi dan regulasi). Penelusuran ini dapat dicari berdasarkan beberapa kasus di lapangan.
Pertama, seperti seringnya harga pangan tiba-tiba melonjak, padahal tidak ada tekanan permintaan (demand). Kedua, kenaikan harga pangan di pasar komoditas malah menurunkan harga gabah yang dibeli dari petani (berarti para petani tidak diuntungkan dari kenaikan harga pangan).

Ketiga, tata niaga saat ini dikuasai oleh segelintir korporasi, yang jelas-jelas untuk akumulasi keuntungan.
Keempat, kegemaran mengimpor namun malas untuk berproduksi (kebijakan yang tidak pro-produksi, seperti mahalnya sarana produksi dan gencarnya konversi lahan) berdampak pada disinsentif bagi petani. 

Beberapa contoh ini jelas menggambarkan bahwa sektor pangan didominasi oleh orientasi pasar, yang semakin menguatkan kebijakan neoliberal. Dengan demikian, faktor 'sistem' di sini menjadi persoalan. Maka, persoalan pangan memang karena lemahnya dalam mengurus soal pangan (baca: politik pangan). Publik semakin sinis akan kemampuan pemerintah dalam mengelola politik pangan.

Cita-cita ketahanan pangan nasional masih jauh panggang dari api. Gembar-gembor kesuksesan dalam meningkatkan produksi dan aksesbilitas pangan sekedar proforma yang diindikasikan hanya sebagai tujuan untuk pencitraan betapa makmurnya negeri ini.

Karena masalah pangan di Indonesia jelas bukanlah permasalahan perkara produksi (teknis pertanian), namun lebih kepada persoalan politik (political problem). Akar persoalan pangan juga bukanlah kelangkaan alami, melainkan kebijakan yang kurang kompeten. Maka, peran pemerintah disini menjadi sangat vital.

Pasar pangan harus benar-benar diintervensi secara penuh oleh pemerintah agar tidak dipermainkan oleh tangan-tangan tak terlihat. Sehingga, domain terbesar dalam mengelola pangan adalah kebijakan yang berdimensi kelembagaan. Namun demikian, dimensi non-harga juga masih sangat penting, seperti kebijakan pro-peningkatan produktivitas pertanian. Juga, penting untuk diingat, sektor pertanian harus menjadi kebijakan prioritas, karena akan percuma saja jika pertumbuhan ekonomi tinggi namun masyarakat yang masuk tipikal kemiskinan harga pangan adalah jenis kemiskinan yang masih kedap terhadap laju pertumbuhan ekonomi. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar