|
SUARA
KARYA, 15 Juni 2013
Isu pangan dalam negeri untuk
beberapa waktu terakhir ini masih menjadi berita yang merisaukan. Indikasinya
ditandai dengan lonjakan harga pangan dari ragam kebutuhan pokok, seperti cabe,
bawang putih, daging sapi, dan lain-lain. Khusus untuk kenaikan harga komoditas
daging sapi bahkan diperkirakan akan tetap tinggi hingga Juni/Juli mendatang.
Meskipun daging bukan konsumsi utama, namun kondisi ini secara keseluruhan
cukup menggambarkan betapa peran pemerintah dalam mengelola harga pangan belum
optimal. Dampaknya, selalu terjadi lonjakan laju inflasi.
Jika kondisi macam ini terus
dibiarkan maka sudah barang tentu akan berbahaya. Implikasi terbesar adalah
semakin melonjaknya jumlah orang miskin akibat harga pangan. Dari total
penduduk 237,6 juta jiwa, setidakya sebesar 65,34 juta jiwa atau 27,5% adalah
mereka yang rentan rawan pangan. (Cahyono,
2011) Kondisi tahun 2011 tak jauh berbeda dengan sekarang. Karena, lebih
dari 50% pengeluaran masyarakat Indonesia masih diperuntukkan bagi belanja
pangan. Terlebih, menurut ADB (Asian Development Bank), masyarakat pedesaan
Indonesia masih berada di urutan ketiga di Asia yang paling rentan jatuh miskin
akibat
kenaikan harga pangan.
Realitas ini jelas bertolak
belakang dengan apa yang akan diberikan FAO kepada Presiden SBY pada pertengahan
Juni ini. Di mana, Indonesia dianggap berhasil menurunkan populasi penduduk
kekurangan gizi karena dapat mengkombinasikan program peningkatan produksi
pangan. Sehingga, hal ini dinilai berhasil dalam menurunkan angka kemiskinan
dan kelaparan serta keberhasilannya dalam produksi dan aksesbilitas pangan.
Terlepas dari penghargaan dari
FAO, nyatanya Indonesia masih mengalami persoalan pangan. Dengan kelebihan
sumberdaya alam dan tanah yang subur, serta mayoritas penduduknya berkecimpung
di sektor pertanian, sangat aneh bila kemudian selalu terjadi gonjang-ganjing
persoalan pangan. Apalagi, sejauh ini persoalan pangan belum menjadi kebijakan
prioritas, dan umumnya memang demikian setelah era Soeharto.
Salah Urus
Realitas di atas tak dapat
dilepaskan dari kebijakan pangan yang masih menjadi anak tiri, kalah perhatian
dibanding pertumbuhan ekonomi yang mempunyai status sebagai lokus kekuasaan,
apalagi dengan urusan kepartaian. Dampaknya, riuh gemuruh persoalan pangan
selalu menjadi agenda rutin tahunan yang jauh dari kata tuntas. Sehingga,
sampai sekarang masih belum dicarikan jalan keluar dalam jangka panjang untuk
menaklukkan kerasnya hantaman gelombang persoalan pangan.
Kondisi ini mengantarkan Indonesia
semakin tak berdaulat dalam menangani sektor pangan. Contoh nyata
ketidakberdaulatan ini adalah banyaknya impor dari negara lain. Seperti tahun
2012, komoditas gula 78% adalah dari Thailand; bawang putih 95% dari China dan
India; daging sapi 18% dari Australia; dan susu 75% dari Australia. (Khudori, 2012) Selain itu, masih banyak
komoditas lain yang diimpor, seperti kedelai, tepung terigu, gandum, kentang,
singkong, bahkan sampai beras dan garam. Dari kondisi ini, wajar bila pemberian
penghargaan dari FAO mendapat banyak kritik karena jauh dari realitas.
Kondisi di atas menggambarkan
betapa masih kelabakannya pemerintah dalam menghadapi persoalan pangan. Jelas
ada sesuatu yang salah.
Kondisi ini sebenarnya dapat
ditelusur dari dua pendekatan, yakni faktor alam (input produksi), atau karena
faktor sistem (distribusi dan regulasi). Penelusuran ini dapat dicari
berdasarkan beberapa kasus di lapangan.
Pertama, seperti seringnya harga
pangan tiba-tiba melonjak, padahal tidak ada tekanan permintaan (demand).
Kedua, kenaikan harga pangan di pasar komoditas malah menurunkan harga gabah
yang dibeli dari petani (berarti para petani tidak diuntungkan dari kenaikan
harga pangan).
Ketiga, tata niaga saat ini
dikuasai oleh segelintir korporasi, yang jelas-jelas untuk akumulasi
keuntungan.
Keempat, kegemaran mengimpor namun
malas untuk berproduksi (kebijakan yang tidak pro-produksi, seperti mahalnya
sarana produksi dan gencarnya konversi lahan) berdampak pada disinsentif bagi
petani.
Beberapa contoh ini jelas menggambarkan bahwa sektor pangan didominasi
oleh orientasi pasar, yang semakin menguatkan kebijakan neoliberal. Dengan
demikian, faktor 'sistem' di sini menjadi persoalan. Maka, persoalan pangan
memang karena lemahnya dalam mengurus soal pangan (baca: politik pangan).
Publik semakin sinis akan kemampuan pemerintah dalam mengelola politik pangan.
Cita-cita ketahanan pangan
nasional masih jauh panggang dari api. Gembar-gembor kesuksesan dalam
meningkatkan produksi dan aksesbilitas pangan sekedar proforma yang
diindikasikan hanya sebagai tujuan untuk pencitraan betapa makmurnya negeri
ini.
Karena masalah pangan di Indonesia
jelas bukanlah permasalahan perkara produksi (teknis pertanian), namun lebih
kepada persoalan politik (political
problem). Akar persoalan pangan juga bukanlah kelangkaan alami, melainkan
kebijakan yang kurang kompeten. Maka, peran pemerintah disini menjadi sangat
vital.
Pasar pangan harus benar-benar
diintervensi secara penuh oleh pemerintah agar tidak dipermainkan oleh
tangan-tangan tak terlihat. Sehingga, domain terbesar dalam mengelola pangan
adalah kebijakan yang berdimensi kelembagaan. Namun demikian, dimensi non-harga
juga masih sangat penting, seperti kebijakan pro-peningkatan produktivitas
pertanian. Juga, penting untuk diingat, sektor pertanian harus menjadi
kebijakan prioritas, karena akan percuma saja jika pertumbuhan ekonomi tinggi
namun masyarakat yang masuk tipikal kemiskinan harga pangan adalah jenis
kemiskinan yang masih kedap terhadap laju pertumbuhan ekonomi. ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar