|
SUARA
KARYA, 15 Juni 2013
Bulan Juni 2013, yang berdasarkan
siklus iklim sudah mulai musim kemarau, hujan masih terus mengguyur Jakarta.
Sementara di bulan Mei, kota Oklahoma, AS, dua kali diterjang badai (tornado).
Awal Juni, Eropa Tengah dilanda banjir. Dua bulan sebelumnya, Filipina dan
China dilanda banjir dan longsor.
Indonesia sepanjang musim hujan
sampai hari ini, masih terus dilanda banjir dan longsor di berbagai daerah.
Semua itu merupakan dampak peningkatan suhu bumi (global warming). Jadinya, siklus iklim kacau dan bibit-bibit badai
di makin tumbuh subur.
Kenapa suhu bumi makin panas,
penyebabnya adalah meningkatnya kadar karbon (gas karbon dioksida) di atmosfer.
Dan, salah satu pemicunya adalah kerusakan hutan (deforestasi). Data
Kementerian Negara Lingkungan Hidup (KLH) mengungkapkan: selama kurun waktu
lima tahun, 2003-2008, total emisi karbon di Indonesia setara dengan 638,975
gigaton. Sumber emisi itu: konversi hutan dan lahan (36%), emisi pemakaian
energi (36%), emisi pertanian (8%), dan emisi proses industri (4%).
Wetlands dan Universitas Delft,
Belanda, merilis data yang cukup memprihatinkan: emisi gas rumah kaca di
Indonesia, terutama akibat pengeringan dan perusakan lahan gambut di Sumatera
dan Kalimantan. The Georgetown
International Environmental Review (1999) menunjukkan bahwa pada kurun
waktu 1997-1998 saja, sekitar 1,7 hektar hutan terbakar akibat cuaca panas
El-Nino.
Sedangkan WWF (World Wide Fund for Nature) tahun 2000
mengungkapkan data yang lebih besar, 2-3,5 juta hektar hutan terbakar pada
periode tersebut. Sementara deforestasi karena kebakaran dan penebangan hutan
di seluruh dunia menyumbang sebanyak 20% emisi karbon atau sekitar 7,5 milyar
ton gas asam arang. Dari jumlah itu, sumbangan Indonesia sekitar 2,5 miliar
ton.
Selain dampak deforestasi,
Indonesia juga menyuplai karbon dari pembakaran sumber energi fosil (minyak
bumi dan batubar), industri, sampah, dan pertanian. Lembaga Carbon Dioxide
Information Analysis Center (CDIAC) menyatakan: selain dampak deforestasi,
emisi karbon asal Indonesia di tahun 2006 mencapai 333,483 giga ton - peringkat
ke-19 dari 210 negara.
Emisi Karbon
Sementara itu emisi karbon dari
kendaraan bermotor di Indonesia - di mana sebagian besar dari kita (pemobil dan
pemotor) terlibat di dalamnya - ternyata cukup signifikan. Tahun 2005,
misalnya, emisi karbon diprediksi mencapai 70 metrik ton. Tahun 2030, emisi
karbon dari transportasi ini diperkirakan naik hingga 500 metrik ton. Ke depan
bisa kita bayangkan, berapa ribu metrik ton emisi karbon akibat kendaraan
bermotor ini.
Sepeda motor, yang jumlahnya naik
jutaan unit tiap tahun, nanti akan menjadi kontributor utama emisi karbon di
Indonesia. Tahun 2012 saja, penjualan sepeda motor di Indonesia mencapai
7,1-7,2 juta unit. Sementara penjualan mobil tahun 2012, menurut catatan
Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), mencapai 1,1 juta
unit. Dengan penjualan sepeda motor dan mobil sebanyak itu, apa yang akan
terjadi kelak? Padahal, tiap tahun penjualan sepeda motor dan mobil naik
sekitar 5 persen.
Kenaikan itu akan bertambah
mengingat perekonomian Indonesia terus bertambah - naik 6,5% tiap tahun -
sehingga makin banyak orang-orang yang status ekonominya naik ke kelas
menengan. Kelas menengah inilah yang membutuhkan kendaraan bermotor. Saat ini,
jumlah kelas menengah Indonesia, sudah mencapai lebih dari 60 juta orang - jauh
melebihi penduduk Malaysia. Bahkan menurut rilis Bank Dunia, tahun 2013 ini
jumlah kelas menengah Indonesia mencapai 130 juta. Sebuah jumlah yang amat
besar yang niscaya berkontribusi terhadap emisi karbon yang amat besar pula.
Mari kita bayangkan. Jika pemakaian
satu sepeda motor sehari rata-rata membutuhkan satu liter premium, itu artinya
tiap satu sepeda motor merilis karbon sebesar 3 kg karbon ke atmosfir. Bila
satu juta sepeda motor, berarti tiap hari 3.000.000 kg karbon terlepas di
udara. Ini belum termasuk emisi karbon dari mobil. Jika dikalikan satu tahun
(360 hari), berapa miliar ton jumlah karbon yang masuk atmosfir?
Karbon adalah pemicu terbesar
kenaikan suhu bumi. Dan, kita sebagai manusia yang punya tanggung jawab
terhadap lingkungan, bisa mengurangi emisi karbon tersebut. Mungkin kita sulit
berpartisipasi dalam mengurangi jumlah karbon yang berasal dari hutan karena
kita tinggal di kota besar. Tapi, sungguh tidak sulit untuk berpartisipasi
mengurangi emisi karbon bagi orang yang tinggal di kota-kota besar. Apalagi,
jika di kota anda, ada bus dan kereta api komuter seperti di Jakarta.
Sebagai contoh Jakarta, kota
berpenduduk sekitar 8,8 juta jiwa plus 9,7 juta penduduk Botabek (Bogor
Tangerang, Bekasi - belum termasuk Depok). Pada tahun 2000, tiap hari para
komuter yang memakai kendaraan bermotor (kerja pulang balik pakai sepeda motor
dan mobil dari Botabek) - menurut Wikipedia - jumlahnya mencapai 29,2 juta
perjalanan. Dari jumlah itu, persentase moda angkutan itu, menurut Wikipedia,
bus 52,7%, mobil pribadi 30,8%, sepeda motor 14,2%, kereta api 2%. Melihat
jumlah tersebut, jelas tidak 'hijau' - maksudnya tidak mencerminkan upaya
pengurangan emisi karbon. Kenapa?
Mungkin hanya sekadar meng-klik
sakelar listrik agar mati jika ruang itu tak terpakai. Itu pun sebuah langkah
untuk mengurangi emisi karbon. Sederhana memang, tapi dampaknya akan luar
biasa. Benar apa kata artis Nadine Chandrawinata, Klik locally, think globally. Ada niat, ada jalan. Dan, jalan di
depan adalah jalan menuju ke seluruh dunia! Jalan menuju perbaikan global.
Perbaikan dengan melakukan 'sesuatu' demi mengurangi emisi karbon! ●
Tidak ada komentar:
Posting Komentar